Citra menatap seseorang yang sedang di curigainya saat ini, dia tidak ingin ketinggalan jejak dari Airin yang sudah terlalu membuat rasa penasaran dalam dirinya. Kali ini dia jangan sampai ketahuan oleh siapapun, apalagi..., Reno. Cowok itu salah satu orang yang sangat di tentangi.
"Gue harus cepat pergi." sekiranya begitulah yang Citra dengar dari suara dan gelagat Airin yang tak jauh di depannya sekarang. Dia mendengar jelas kalau cewek itu ingin menjauh entah karena alasan apa, yang jelas Citra lebih penasaran lagi dengan cewek itu.
Airin apa sedang menghindar dari Reno? Bukan kah cowok itu adalah salah satu alasan pertama? Citra baru ingat persoalan nya, apa masalah Airin belum di selesaikan sampai saat ini juga? Tapi apa?
"Citra!" cewek itu buru-buru lari menghadap Cipto yang memanggilnya, hampir saja ketahuan Airin yang juga menengok ke belakangnya.
"Lagi ngapain?" Cowok itu benar-benar tidak tahu apapun, padahal Citra sudah sangat telaten mengikuti Airin yang sekarang sudah menaiki motornya dan melintas pergi.
Citra mentap tajam cowok di depannya, "Ga tau!!!!" pekiknya meninggalkan Cipto yang sedang kebingungan.
Baru pertama kali Citra memekik padanya, Apa Cipto ada salah?
"Padahal gue mau kasih tau soal layanan tadi. Kok, jadi ngambek gini?" cowok itu menjadi heran sendiri, salah juga ya dia memanggil dengan sedikit teriakan tadi? Bisa jadi sebabnya dari sana, Cipto memang tidak bisa sedikit saja dengan suara pelan.
"Jadi gue salah, nih?" dia menunjuk dan berucap pada dirinya, Cipto sendiri bingung apa salahnya selain memanggil Citra.
Saat tubuhnya berbalik dia meloto baru menyadari satu alasan lain, "Apa cewek itu lagi liat gelagat..., Airin?"
Citra mendengus sebal, lagi-lagi rencananya gagal oleh Cipto. Cowok itu kenapa selalu saja mengganggu? Padahal bisa nanti jika ada hal serius untuk di bicarakan, urusannya jauh lebih penting di banding dengan laporan. Jika bukan Cipto yang menghalang, mungkin saat ini dia ada sedikit rangkuman setelah dari kemarin rasa penasaran yang mengganjal pikiran.
"Apa, ya?" gumam cewek itu sambil mengambil tas slempangnya yang berada di atas meja kasir. Toko roti nya sudah mulai tutup, oleh karena itu Airin ingin segera cepat pulang atau menghindari Citra yang pasti akan terus bertanya.
"Apanya yang apa, Citra?" cewek itu segera memutar tubuhnya, dia melotot kaget.
"Bos."
Farrel menatap dingin, seperti biasanya. Citra harus bilang apa sekarang?
"Bos, belum pulang?" alibi Citra bertanya.
Farrel menghela napas halus, "Citra, apa kamu dekat dengan.., Reyna?"
Citra menautkan alis, apa Bos nya sedang ada kepentingan dengan si junior? Kenapa Reyna tidak pernah menceritkan apapun?
"Eum, memangnya ada apa, Bos?"
"Kamu cukup menjawab dengan jujur." kesan datar mulai terlihat.
Dengan ragu Citra akhirnya mengangguk, "I-iya, Bos."
"Bagus. Beritahu saya dimana letak tempat tinggal dia."
*****
"Rey, kamu ngerasa aneh ga selama kuliah disini?" Desty bertanya saat mereka semua terdiam lama. Atmosfer di sekitarnya mendadak dingin dan terkesan seram.
Reyna yang menjadi bahan tanyaan menggeleng cepat, "Aku rasa ga da yang buat..., takut."
"Bukan itu," Sari menyanggah cepat. "tapi rasain ada suara yang kamu ga denger jelas."
Reyna saja bingung, Sari bilang juga sama hal nya dengan Desty. Dia mendengar teriakan memanggil Reyna namun samar.., tidak jelas kalau itu raungan dari seseorang. Tidak mungkin juga kalau dua teman Reyna hanya salah dengar, sudah pasti mereka tidak berbohong.
"Ga pernah. Ini aja aku tau dari kalian." Reyna menjawab enteng. Sebenarnya dia tidak ingin membuat kedua temannya menjauh hanya karena ada suara yang entah muncul dari mana. Jujur saja Reyna sudah menahan tremor karena ngeri. Dia sudah berpikir jika hantu yang selama ini di tontonnya justru menghampiri Reyna untuk menakuti, namun pasalnya semua yang ada di dalam kaset itu sudah jelas tidak nyata alias fatka belaka.
"Kok, aneh banget. Kenapa suara nya cuma kita berdua aja, ya?"
Sari mengedikkan bahu sambil melirik Reyna yang bergeming. Mereka bertiga sampai menghampiri Mario yang kebetulan baru saja keluar dari kelasnya, lalu bertanya apakah cowok itu memanggil Reyna dari kejauhan?
Mario tentu tertawa mendengar pertanyaan dari Sari, sudah jelas mereka melihatnya tanpa mengigau. Mario tidak pernah keluar atau berkeliaran selama jam mata kuliah berlangsung, sedangkan teriakan itu memang sebelum melihat Mario yang datang tepat keluar saat mereka mendatangi.
Karena di kampus itu selain Mario tidak ada lagi yang tahu Reyna, begitu pun sebaliknya. Jadi, siapa yang sudah melakukan itu?
"Rey, kamu melamun lagi?" Sari menyadarkan Reyna yang menanggapinya dengan senyuman tipis.
"Engga, kok."
Sari dan Desty saling melirik, "Jadi..., waktu di kelas juga kamu melamunin apa?"
Reyna menjilat bibirnya, "Engga, serius. Aku emang ga ngerti aja sedikit, bukan karena ada masalah lain." dia kembali mengelak.
"Apa bukan karena hal ini? Mungkin kamu denger di lain tempat."
Reyna menggeleng, "Engga, Sar. Aku beneran belum pernah denger yang manggil sambil teriak samar sebelumnya. Kalian ga percaya, ya?" dia mulai merasa prustasi, kedau sahabatnya ini seperti sedang mengintimidasi.
"Bukan begitu, Reyna. Aku tidak bermaksud memaksa kamu atau curiga. Tapi.., aku cuma penasaran."
Reyna mengangguk kecil. "Ga pa-pa, kok. Kalau kalian merasa risih juga, aku mungkin selalu menyusahkan kalian."
"Apa, sih! Reyna, kamu ga boleh bicara seperti itu." tegur Desty tak suka.
Reyna tidak menyalahkan mereka juga, tetapi entah kenapa seakan mereka memojokkan dirinya karena hal ini. Reyna apa salah berkata yang sebenarnya? Dia sudah berkata jujur.
"Aku ga tau, Des, Sar!" Reyna benar-benar sudah sangat pusing. Belum lagi dengan tingkah Reno yang membuatnya tidak nyaman, itu semua apa belum cukup untuknya? Reyna bukan lah seorang yang bisa meramal orang lain kapan baik padanya atau hanya ingin ada sesuatu darinya. Cewek itu tidak ingin ribet.
Reyna baru pertama kalinya mengalami.
"Udah, Rey. Mulai sekarang kita jangan pikirin hal itu, mungkin saja ada yang berbuat ulah ingin mengerjain kita karena.., tau sendiri 'kan kalau kita ini masih junior." Desty mengingatkan agar keadaannya tidak semakin runyam. Dia melanjutkan, "Toh, kalau itu ada urusan sama temen kita pasti harus berhadapan langsung. Cupu banget kalau cuma berani teriak dari jauh." dia menenangkan temannya.
"Iya, si. Bener kata kamu, Des." Sari menjawab setuju.
Reyna menghela napas berat. Walau dalam hatinya menyanggah akan hal itu, tetapi dua temannya tidak mempermasalahkannya lagi. Seharusnya Reyna bersyukur adanya mereka justru membuatnya tidak kesepian di sana. Terkadang dia merasa sedih karena sikapnya yang sangat labil selalu keluar di saat mereka semua malah memperdulikannya.
"Makasih banyak, ya. Kalian udah baik banget sama aku dari awal ospek. Aku sangat beruntung." lirih Reyna yang segera di peluk oleh Desty yang di susul Sari.
"Kita jangan pernah pisah, apa lagi musuhan. Kami berdua udah janji sama kamu, Reyna." ucapan Sari membuat hati Reyna menghangat, terasa sejuk dan nyaman.
"Reyna.."