Dini merasa nyaman dan tenang di saat dia melihat puterinya bersama, Reno. Entah kenapa dia meyukai kedekatan mereka berdua, walau Dini ketahui sikap dan kerpribadian anak cowok itu yang tidak begitu banyak bicara. Tidak menjadi masalah juga jika Reno bisa menjaga dan melindungi Reyna, Dini akan merasa tenang.
"Sayang, kalian dekat sejak kapan?" Dini bertanya saat Reyna sedang meneguk airnya, dia kaget dan segera menutup mulut sambil terbatuk-batuk karena tersedak.
"Apaan, sih. Mama, kenapa jadi suka ngomporin orang?" dengus Reyna yang duduk di bangku meja makan.
Dini tersenyum menggoda puterinya yang sedang menahan malu, "Bilang aja kalau kamu juga suka 'kan? Dia ganteng, tuh."
"Ma!"
Dini terpingkal mendengar protesan dari Reyna, menurutnya itu sudah mengundang lawakan yang Dini baru rasakan pertama kalinya melihat Reyna yang malu di ledeki. Masalahnya di sana dekat dengan lawan jenis, bahkan sampai ke rumahnya, jelas Dini terharu dan senang.
"Ada apa, sih? Kok, kalian ketawa ga ajak-ajak." Bas menyambar dari arah depan, menghampiri kedua permpuan yang di cintainya.
"Papa." Reyna berlari kecil sambil memeluk sang Papa, dia sedikit mengadu, "Mama, selalu aja ledek aku. Padahal aslinya engga."
Dini berdiri dan melangkah mendekati, "Jadi, ceritanya kamu ngadu, nih. Pa, anaknya lagi jatuh cinta sebenernya.., tapi malu akuin aja."
"Aku mungkin jatuh cinta, tapi bukan salah seorang yang, Mama, tadi sebutkan." Reyna menyanggah.
Bas yang baru saja pulang dari kantor merasa paham sekarang, "Memangnya..., Reyna, lagi jatuh cinta sama siapa?" tanyanya penasaran.
Anak itu mendengus sebal, "Ish, Papa! Reyna, ga akan jatuh cinta sebelum wisuda nanti." dia menghentakkan kakinya sebelum pergi menuju kamarnya di lantai dua.
"Reyna, udah berani pacaran emang?" Bas bertanya pada isterinya.
Dini tersenyum simpul. "Aku nebak aja, siapa tau mereka ada sesuatu."
"Mereka?" ternyata Bas belum mengetahui pasti.
Dini membantu melepas jas kerja suaminya, "Iya, Bas. Kamu tau ga tadi anak kita di anterin siapa?"
Bas semakin penasaran dan ingin tahu, "Memangnya siapa? Apa aku mengenalnya juga?"
Dini mengangguk cepat. "Iya."
"Siapa cowok itu, sayang?" Bas benar-benar penasaran, namun sepertinya Dini tidak berniat untuk memberikan jawaban langsung padanya saat ini.
"Nanti juga kamu tahu, sekarang mandi, gih" Dini malah menyuruh dan pergi ke kamarnya juga, Bas menghela napas halus. Sepertinya kedua perempuan itu sedang merahasiakan, Bas kini harus menyelidiki.
Reyna itu puteri satu-satunya mereka, Bas tidak mungkin membiarkan puterinya berpacaran dengan lelaki sembarang. Minimal yang Bas kenal, orang yang bisa membuat Reyna nyaman. Bas harus segera memastikan.
Kakinya melangkah mengikuti Dini yang sudah berada di kamarnya.
*****
Mario tersenyum manis saat melihat Reyna yang sudah duduk di halte seperti biasanya, cowok itu membunyikan klakson mobil sambil menurunkan kaca mobilnya. Reyna belum menyadari karena masih berkutat dengan buku di kedua tangannya, dia bahkan sampai tidak menoleh seperti tak ada yang mengganggunya saat ini.
"Reyna, ayok berangkat bersama." Mario teriak dari dalam mobil, tak ada sahutan membuatnya mau tak mau harus turun dan menghampiri anak cewek itu.
"Reyna." Mario memegang pundak Reyna pelan, cewek itu sadar dan tergagap melihat sosok yang tidak pernah di tunggunya.
Dia berdiri kaget, "Loh, Kak Mario. Kenapa ada di sini?" Reyna bertanya heran, kenapa Mario sering kali menghampirinya? Padahal mereka sama sekali tidak ada janji.
Cowok itu tersenyum lebar, "Tadi malam 'kan kamu di antar sama pekerja di toko roti. Sekarang berangkat kuliah bareng aku, dong." sahutnya yang tidak melunturkan sunggingan lebarnya.
"Tapi bukan berarti aku harus terus sama, Kakak. Aku udah banyak repotin, lagi pula sekarang aku naik taksi online juga, kok." jelas Reyna.
Mario menghela napas halus, lalu duduk di kursi halte sambil menatap Reyna di depannya. "Yaudah, kalau gitu. Aku akan nunggu taksi itu datang. Biar bisa liat kamu bener berangkat atau engga." cowok itu hanya ingin sekedar memastikan, tetapi kenapa?
"Kakak, nanti kesiangan." cicit Reyna yang ikut duduk di sebelahnya.
Mario terkekeh pelan, "Reyna, ini bukan jaman SMA lagi."
Cewek itu sedikit mengelus leher belakangnya, memangnya berbeda? Bukan kah sama saja jika terlambat masuk kelas akan ada hukuman? Walau pun mungkin hukuman itu tidak sama saat di sekolah menengah.
"O-oh gitu, ya." Reyna hanya tertawa canggung, dia tidak tahu lagi harus menjawab apa. Mario terlalu mendadak mendekati Reyna yang masih saja berpikir tentang hubungan mereka.
"Reyna, kamu tau alasan aku yang tiba-tiba jadi deketin kamu?" Mario seakan bisa membaca permasalahan Reyna, kini dia mulai bertanya.
"Aku.., bingung, sih. Kenapa, Kakak jadi seakrab ini sama aku." Reyna memberanikan dirinya, dia tidak ingin menjadi salah paham hanya karena tidak ada alasan lain.
"Aku udah mulai lirik kamu sejak masa, SMA." kalau soal itu juga Reyna sudah peka dan tahu. Tapi bukan hal itu yang ada dalam pikiran Reyna, semuanya terlalu mendadak dan membuat Reyna sendiri kebingungan. Maksud dan niat baik dari Mario apakah akan nenjadi hubungan lebih baik?
Mungkin sebagai.., teman?
"Kakak, mau jadi temen aku?" terdengar pertanyaan, namun Mario segera melirik cepat dan menatap sedikit lamat. Reyna berkedip dua kali, apa arti dari tatapan Mario? Apa kata teman kurang?
"Sahabat?" Reyna mencoba bertanya kembali, itu tawaran atau memang Reyna mengajak berteman?
"Lebih tepatnya, sih..., Ttm."
Kening Reyna mengerut, "TTM? Temenan terus.., menikah?"
Mario terbahak seketika. Reyna sadar tidak, sih dengan ucapannya barusan? Apa dia berharap menikah dengan Mario? Apa, menikah? Reyna bilang kalau dia akan mencari pacar setelah wisuda, apa menikah sebelum wisuda akan melanggar ucapannya pada orang tuanya?
"'Eh, salah." Reyna mengatupkan bibirnya sambil tangan kanan yang menutupi, "TTM. Apa, sih, Kak?" dia mendadak error atau malu karena salah bicara?
Mario benar-benar terpingkal, beruntungnya halte di sana tidak terlalu ramai. Pekerja kantor pun memang sudah berangkat sebelum saatnya Reyna datang, namun ada sebagian yang melewat di sana melihat tawaan Mario yang begitu menggelegar.
"Reyna, kamu mau aku lamar cepet, ya?" seloroh Mario, cewek itu melotot dengan mulut sedikit terbuka.
"Bukan itu, Kak." Reyna menyanggah cepat.
"Terus apa?"
Dia berpikir apa yang harus di jawabnya agar tidak membuat Mario menjadi salah tangkap, "Arti dari kata itu banyak banget, jadi aku ga bisa nebak. Itu cuma tebakan ngelantur aja, lagian mana mungkin mau menikah di saat belum lulus S1."
Mario menjadi diam. Dia pikir Reyna memang ingin segera dia lamar, atau hal lain Mario bisa menjadi seorang yang di sukainya. Naasnya itu hanya tebakan yang terlintas dari otak Reyna saja, tidak akan lebih dari harapan Mario.
"Reyna! Ayo, gue anter lo ke kampus."