Hal lainnya terus saja bergulat dalam otaknya, padahal seharusnya dia fokus saja dalam pelajaran yang sedang berlangsung. Semua terlalu misterius jika saja dia sadar sejak awal. Reyna benar-benar belum paham, terlalu membuatnya pusing jika di ekspresikan.
Sari dan Desty yang memerhatikan Reyna saling menyenggol sikut, "Reyna, apa sedang melamun?"
"Apa lagi mikirin sesuatu?"
Kedua temannya saling melempar pertanyaan tanpa Reyna tahu, cewek itu menopang pipi nya sambil menatap buku dan memainkan pulpen di tangan kanannya. Pikiran yang berkecamuk membuat Reyna tidak fokus dengan dunianya saat ini.
Walau dosen yang tadi mengajar pun sudah keluar, Reyna masih saja tetap pada posisinya. Dua temannya kini menghampiri dan menepuk pelan pundak Reyna.
"Reyna, kamu kenapa?" cewek itu hampir saja terkejut, namun Reyna melirik keduanya sambil tersenyum dan menggeleng cepat.
"Kita perhatiin kayaknya kamu melamun terus." kata Sari yang di angguki kepala Desty.
Reyna ternyata sudah terciduk. "Engga, kok. Tadi pelajarannya susah banget, makannya aku sampe mikirnya lama, hehehe." dia mengelak dengan cengengesan.
"Oh, karena hal itu aja? Yakin ga ada yang lagi kamu pikirin?" tanya Desty.
Reyna menggeleng, "Engga. Kalian ga perlu khawatirin hal itu. Oh, iya. Kalian laper ga?" dia berusaha mengalihkan.
Kedua temannya tersenyum sambil serempak menjawab, "Laper, lah!"
Reyna terkekeh, "Yaudah, ayok. Kita makan siang bersama." dia sangat beruntung memiliki teman seperti mereka yang perhatian dan bisa memahami, tanpa ada paksaan untuk Reyna bercerita tentang hal yang mengganjal hatinya.
Sari dan Desty adalah kedua teman Reyna yang begitu baik.
Mereka berjalan menuju kantin kampus yang lumayan agak jauh dari kelasnya, padahal Sari mengajaknya ke kafetaria namun di karenakan jaraknya yang lebih jauh menjadikan mereka untuk berjalan yang dekat saja. Reyna bilang kalau dia menyayangi waktu.
"Eh, bentar." Desty tiba-tiba menghentikan langkah kedua cewek di sampingnya. Dia melirik Reyna dan Sari, "kayak ada yang manggil tadi." sambungnya.
Tentu saja Reyna dan Sari tidak mendengar apapun sejak mereka keluar dari kelasnya, apa Desty salah dengar? Kenapa mendadak Reyna terasa horror? Sudah tahu dia takut jika soal hal yang berbaur mistis di kenyataan, berbeda dengan film horror yang sering kali Reyna tonton.
"Masa, sih? Apa kamu udah pastiin, Des?" ucap Sari.
Desty mengangguk, "Aku yakin banget, Sar. Kayaknya tadi manggil..., Reyna."
"Aku?" Reyna menunjuk dirinya kaget, memangnya siapa? Dan kenapa Reyna tidak mendengar sama sekali ada suara?
"Iya, Rey. Tapi kenapa ga ada orang di belakang atau di sekitar kita, ya?"
Tidak mungkin ada hantu di siang hari, bukan? Kalau bukan Mario atau orang yang mengenal dekat Reyna apa itu.., Reno?
"Tapi suara itu kedengeran..., samar."
******
"Hah! Serius lo demi apa?!" Cipto heboh mendengar teman satu kerjanya yang bercerita tentang hal yang sangat mirip denganya, walau berbeda tempat dan sosok yang di ceritakan.
"Iya, lah. Masa gue bohong." Tian meyakinkan, Cipto mulai mersa merinding kalau mengingat kejadian yang sudah lewat namun masih terbayang itu.
Dia meringis, "Gue juga ga tau itu setan atau mahkluk sejenis apaan, yang jelas setelah gue natap dari spion motor rasa hawanya beda banget." tutur Cipto.
Satu temannya hanya menyimak mendengarkan saja, dia ikut meringis kala mendengar ucapan Cipto. Dia masih bersyukur selama hidup tidak pernah mengalami hal semacam dan misterius seperti itu.
"Gue, sih. Engga pernah mau dan ga sudi liat begituan. Semoga aja di jauhin sama hal kayak gitu." harapnya cemas dalam hati.
"Lagian siapa juga yang mau!" serempak Cipto dan Tian bersama sedangkan satu temannya hanya cengenges sambil mengelus leher belakangnya.
"Eh, tapi kata nenek moyang dulu kalau ketemu yang begituan dapet banyak hoki. Bener engga, ya?" tanya Tian yang mengingat pepatah.
Cipto dan Andra saling berpikir seolah mereka sedang mengingat apakah pernah mendengar kata itu atau tidak.
"Iya, ya? Kok, gue baru ngeuh sekarang." timpal Cipto dengan wajah konyol.
Andra menatap teman satu kerjanya, "To, kejadian begini lo yang pertama liat 'kan. Nah, apa dapet hoki dari, Bos?" tanyanya.
Cowok itu diam sejenak, "Bukan, sih." dia melirik kedua teman cowoknya, "tapi setelah kejadian itu gue tiap hari dapet makanan dari tetangga, biasanya mereka pada judes ga pernah baik sebelumnya." terangnya membuat Andra dan Tian melongo.
"Jadi bisa jadi bener?"
Mereka mengedik, mungkin saja tetangga Cipto hanya berniat baik. Walau awalnya tidak saling akrab.
"Gue ga tau itu hoki atau apaan. Tapi kalau di pikir soal hoki itu udah termasuk, karena emang salah satu kebaikan, kan."
"Hoki itu bukan berarti ada uang juga jabatan tinggi," Tian menambahkan, "yang jelas itu pemberian yang buat kita ga rugi, sih."
"Nah, bener banget. Kalau buat gue rugi, udah kelar semua." Cipto bisa juga cepat emosi, dia biasanya langsung hajar orang yang sudah membuat mood nya rusak atau menggunjing perasaannya yang terkadang labil.
"Gue ga mau tapi. Ogah liat begituan." Andra masih saja ogah-ogahan, dia paling parno kalau sudah menyangkut pautkan soal hantu. Dia memang cowok penakut, bahkan pernah di ledeki satu kelas saat masih sekolah.
"Ah, ga seru kalo liat sendiri. Andra, bisa aja mati di berdiri.., hahahaha." Cipto dan Tian begitu puas meledek Andra yang sekarang cemberut, dia masih saja menjadi bahan ejekan jika persoalan takut. Sebenarnya Andra cukup gantle dengan masalah apapun, tetapi kelemahan cowok itu memang salah satu objek yang tidak bisa dia hindarkan dari dirinya.
"Ya, kalau bisa gue juga pingin jadi cowok yang bisa lewatin semua hal. Masalahnya ini bakat atau apa, yang jelas gue ga mau liat setan langsung kecuali di tv." elak Andra cepat. Kedua teman cowok nya berhenti terbahak, mereka berdua saling melirik kemudian kembali tertawa bahkan sampai terpingkal setelah mendengar ucapan yang jauh dari kenyataan.
"Apaan, orang lo liat juga langsung pipis di celana walau iklan di tv, hahahaha.."
Tian benar-benar sudah menyebar aib yang sudah di tutupinya selama bertaun-taun.
"Enak aja!" Andra sudah menanggung malu sekaligus bete melihat kedua temannya yang hanya bisa menertawakannya tanpa mengerti perasaannya sekarang. Iya, sih. Andra gantle dalam hal apapun, tetapi apa tidak malu dengan badannya yang besar itu takut pada hantu? Sebab itu semua orang merasa heran walau memang Andra juga manusia biasa yang juga bisa takut pada apapun.
Tian memegang perutnya yang sakit, "Tapi, kalo kita uji nyali kira-kira gimana?" dia kembali menyindir Andra yang wajahnya sudah nampak kecut.
"Bolesh, sih." Cipto menimpali tanpa berpikir kembali.
Andra semakin muak jika sudah berlebihan membahas hal yang membuatnya horror tersendiri, dia lebih baik menonton film romantis di banding cerita mereka yang tidak akan pernah di alami olehnya.
"Eh, baru nyadar ga? Ini kita ngobrol dari tadi bertiga di tempat sepi gini?" Cipto mulai menyadari.
"Jangan buat gue makin parno!" Andra sudah mulai keringat dingin.
"Bukannya kita langsung nongkrong setelah pulang kerja?" Tian pun sama hal nya.
Andra melotot saat netranya melihat sesuatu, "ITU APAAN?!!!!"