Ia membukakan pintu mobil untuk Vallen dan setelah Vallen masuk, ia membantu Vallen menggunakan seat belt. Melihat sikap Gideon yang seperti itu terhadapnya, Valencia pun merasa sangat nyaman. Gideon memperlakukannya sama seperti Ervinas dulu. Ia pun tersenyum senang.
"Sepertinya, menikah dengan Gideon bukanlah ide yang buruk. Terlebih, aku juga belum siap kalau harus membuka hati untuk laki-laki lain. Kalau menikah dengan orang lain, aku harus menyiapkan mental dan fisik untuk menjadi istri yang baik. Sedangkan kalau dengan Gideon kan, kami bisa saling memahami satu sama lain. Toh.. Gideon juga sudah aku anggap seperti adikku sendiri." Kata Valencia, sambil memperhatikan Gideon dari samping.
Sadar di perhatikan oleh Valencia, Gideon pun menoleh. "Kenapa kak?" tanya Gideon. Valencia pun tersenyum. "Enggak Gi, aku hanya berpikir. Sepertinya, Ervinas menyuruhku untuk menikah denganmu itu karna dia tidak mau kalau aku menikah dengan orang lain." Ucap Valencia, sambil terkekeh. Gideon pun tersenyum. "Entahah kak, tapi aku mengenal kak Ervinas sejak kecil. Dia selalu memikirkan matang-matang setiap ia mengambil keputusan." Ucap Gideon.
"Kamu benar Gi. Dia adalah orang yang akan berpikir seribu kali sebelum ia mengambil keputusan." kata Valencia. "Maka dari itu, ia menyuruh kita menikah juga, pasti dia sudah memikitkannya matang-matang." Ucap Gideon. Valencia pun mngangguk. "Semoga aja ini memang jalan terbaik untuk kehidupan kita kedepannya." Ucap Valncian. "Amiinn.!" Gideon pun tersenyum. "Tapi bagaimana dengan kamu Gi? Gara-gara pernikahan ini, kamu harus meninggalkan Vero, kekasihmu!" ucap Valencia.
Gideon pun tersenyum, "satu hal yang harus kakak ketahui! Dia bukanlah orang yang aku cintai." Ucap Gideon. "Hah?.. kenapa begitu?" tanya Vaencia. "Vero adalah gadis yang sangat baik. Dia mengejarku sudah sejak lama. Tepatnya sejak aku masih SMA. Bahkan dia sengaja kuliah disana hanya untuk mendekatiku. Sebenarnya dari awal aku sama sekalo tidak pernah tertarik untuk dekat dengannya, apalagi menjadi kekasihnya. Namun saat dia menembakku di Harvard, aku menolaknya. Dan dia pun jadi bahan ejekan anak-qnak kampus. Karna merasa tidak tega, akhirnya aku pun menerimanya." Kata Gideon, menjelaskan.
"Tapi, kalian pacaran cukup lama!" kata Valencia. "Ya, dia sebenarnya gadis yang baik. Hanya saja, entah kenapa sampai detik ini aku masih belum memiliki perasaan apa-apa terhadapnya." Ucap Gideon. Valencia pun terdiam. "Sudah sejak lama aku ingin memutuskannya, namun tak tega. Aku juga tidak punya alasan khusus. Dan saat kak Ervinas memintaku untuk menikahi kakak, aku pikir ini adalah ide yang bagus untuk bisa lepas darinya. Makannya aku bersedia mewujudkan permintaan kak Ervinas." Ucap Gideon.
Valencia pun mengangguk. "Yasudah, jika memang ini sudah menjadi keputusan kamu, aku sih setuju-setuju saja!" Ucap Valencia.
Tak lama kemudian, mobil yang di kendarai Gideon pun masuk ke pekarangan makam. Gideon pun bergegas membukakan pintu untuk Valencia.
Mereka pun berjalan menyusuri hamparan rumput hijau yang terbentang luas di area pemakaman tersebut. Kemudian berhenti di sebuah pusara yang bertuliskan nama Ervinas. Air mata pun jatuh di pipi Valencia.
"Selamat pagi, kak! Selamat beristirahat. Aku datang kesini bersama dengan orang yang sangat kakak cintai, Kak Valen. Semoga kakak tenang di alam sana. Maksud kedatangan kami kemari, kami ingin meminta izin dan Do'a restu kepada kakak. Besok, kami akan melaksanakan pernikahan dan mewujudkan keinginan terakhir kakak. Do'akan kami, supaya kehidupan kami kedepannya bahagia." Ucap Gideon.
Sementara Valencia, dia hanya menangis sambil memeluk pusara suaminya tersebut.
"Kak, apa kakak ingin mengatakan sesuatu?" Tanya Gideon.
Valencia pun menggelengkan kepalanya,
"Yasudah kalau begitu, mari kita membaca Do'a untuk kak Ervinas!" Ucap Gideon.
Kemudian mereka pun membacakan Do'a. Setelah selesai, mereka pun kembali pulang ke Rumah.
Sejak pulang dari makam, Valencia mengurung dirinya di kamar. Saat makan malam pun, ia bahkan tidak turun. Sementara Gideon, dia baru saja pulang. Dia habis mengurus keperluan pernikahannya besok pagi. "Apakah dia mengurung diri lagi?" Tanya Gideon, yang tiba saja datang menghampiri kedua orang tuanya.
Michael dan Margaret pun saling menatap, kemudian mengedikan bahu mereka menandakan tidak tau. Gideon pun membuang nafas kasar, kemudian pergi ke dapur untuk mengambil makanan. Setelah itu, ia pun membawa makanan tersebut ke kamarnya Valen.
(Tok..tok..tok..) pintu kamar pun di ketuk.
"Kak, ini aku! Gideon."
"Masuk saja, Gi! Pintunya gak di kunci, kok."
Kemudian Gideon pun masuk ke dalam kamar tersebut. Ia meletakan makanan itu di nakas samping tempat tidur. Kemudian ia duduk di tepi ranjang, sambil menatap Valen yang sedang tidur menyamping membelakanginya.
"Ayo! Makan dulu, kak! Kakak belum makan, kan?" Ucap Gideon
"Aku gak lapar, Gi. Kamu saja yang makan!" Ucap Valen, yang masih dalam keadaan membelakangi Gideon.
"Ayolah, kak! Kakak harus makan! Besok adalah hari pernikahan kita. Aku gak mau kakak sakit." Ucap Gideon.
Karna Valen tak juga berreaksi, Gideon pun menarik tangan Valen, supaya dia duduk.
"Gi, apaan sih! Aku gak laper!"
"Kak! Sampai kapan sih, kakak akan seperti ini terus? Sampai kapan kakak akan menyiksa diri kakak seperti ini? Apa kakak gak kasihan, dengan orang-orang yang ada di sekeliling kakak? Setidaknya, jangan buat mereka semua hawatir dengan keadaan kakak. Kakak kan sudah dewasa, sampai kapan kakak akan bersikap seperti anak kecil terus?" Ucap Gideon yang sedikit kesal dengan keras kepala Valen.
Valen pun terdiam. Kemudian dia mengambil makanan dari nakas tersebut, lalu memakannya. Sementara Gideon, ia hanya memperhatikan Valen yang sedang makan tersebut tanpa berbicara sedikitpun.
Setelah Valen selesai makan, Gideon pun pergi ke kamarnya tanpa bicara apapun. Ia bergegas membersihkan tubuhnya, kemudian pergi ke ruang makan untuk makan malam.
"Tuan Muda, apa yang anda lakukan? Kenapa tidak memanggil kami?" Tanya seorang pelayan, yang melihat Gideon menghangatkan makanan.
"Tidak apa, Bi. Bibi istirahat saja! Saya hanya hanya memanaskan ini saja!" Ujarnya.
Setelah selesai menghangatkannya, ia pun membawa makanan itu ke meja makan, kemudian menyantapnya dengan sangat lahapnya. Seharian ini, ia sangat sibuk mempersiapkan pernikahannya besok. Sehingga ia lupa bahwa seharian ini, ia baru sarapan tadi pagi. Ia mengurus semuanya sendiri, hanya di bantu oleh asitennya Juna. Sementara Valen, sejak pulang Ziarah, dia mengurung dirinya di kamar.
"Gi, kamu baru makan malam?" Tanya Margareth, yang tiba-tiba saja datang menghampirinya.
"Iya, mah. Mamah sendiri ngapain kesini? Bukannya istirahat!" Ucap Gideon, dengan penuh perhatian.
"Mamah haus, ingin mengambil air minum!" Ucap Margareth.
"Oohh.." ucap Gideon, kemudian ia kembali fokus menyantap makanannya.
"Kok kamu baru makan, memangnya dari tadi ngapain saja?" Tanya Margareth.
"iya, mah. Tadi aku membujuk kak Valen dulu untuk makan. Setelah dia makan, aku mandi. Gerah banget, dari tadi belum mandi!" Ujarnya.
"Kasihan sekali kamu nak, demi mewujudkan permintaan kakakmu, kamu sampai harus melakukan semua ini. Semoga saja, pengorbanan kamu tidak sia-sia. Mamah hanya bisa berdo'a semoga Tuhan membukakan pintu hati kalian, supaya kehidupan kamu dan Valen kedepannya bisa bahagia." Ucap Margareth, dalam hatinya.