Hari ini ia berangkat ke sekolah tidak seperti biasanya yang sudah tiba di sekolah pukul setengah enam pagi. Tapi tidak untuk hari ini ia baru menunggu angkot pukul 06.40 , bukan karena ia telat bangun pagi tapi kerena, memangnya karena apa? Zahra sendiri tidak tahu.
Ia menoleh ke kanan dan kiri belum menemukan angkot yang ia cari. Zahra duduk dengan sabar, biasanya ia akan berjalan dari rumah ke sekolah. Tapi hari ini dia terlalu malas.
Matanya menangkap mobil hitam yang berhenti di depan Zahra. Zahra beranjak dari tempat duduknya di halte bus setelah ia mendengar suara kaca mobil yang di turunkan. Zahra berjalan cepat meninggalkan mobil itu, walaupun belum tentu mobil itu menghampirinya tapi di halte bus ini hanya ada dirinya. Tetap saja Zahra masih trauma dengan pengalaman masa kecilnya. Ia menyebutkan nama-nama Allah dan meminta perlindungan.
"Dek!" Zahra mendengar suara berat pria setelah terdengar suara pintu mobil tertutup. Zahra semakin mempercepat langkahnya.
"Rara!" Suara pria itu kembali terdengar tapi tidak sekeras sebelumnya. Namun dapat menghentikan langkah Zahra, hanya satu orang di kehidupan Zahra yang memanggil namanya seperti itu. Kakaknya. Zahra membalikkan badannya, walaupun sudah delapan tahun berpisah dan tak pernah lagi melihat wajahnya Zahra masih hafal betul wajah kakaknya.
Kakaknya dengan mata yang telah mengeluarkan air mata berlari menghampiri Zahra. Ia tidak menyangka akan menemukan Zahra disini. Sudah bertahun-tahun ia mencari Adik kesayangannya ini tapi tidak ada hasil yang ia dapat. Hari ini entah kenapa ia berangkat kerja memilih jalan ini yang lebih jauh dari kantornya dan tidak menyangka menemukan Zahra yang sedang duduk di halte bus. Entah kenapa ia sangat yakin itu Zahra adiknya walaupun sudah delapan tahun berpisah tapi wajah Zahra tetap sama seperti adik kecilnya yang manis delapan tahun yang lalu di matanya.
Zahra hanya berdiri mematung, air matanya sudah tak terbendung dan tumpah membasahi pipinya. Kakaknya langsung memeluknya, menumpahkan rasa rindu yang membuncah selama bertahun-tahun.
'Kak Zaki?' Zahra memanggil pelan di antara isak tangisnya, namun tidak ada suara yang muncul. Tangannya memeluk dan mencengkram erat kemeja biru Zaki, Zahra pikir ia sendiri. Zahra pikir kakaknya yang menghilang pun telah pergi bersama orang tuanya ke alam lain. Ternyata kakaknya masih di langit yang sama dengannya namun tak pernah bertemu. Tapi atas izin Allah, hari ini Zahra di pertemukan kembali dengan kakak kesayangannya satu-satunya keluarga di kehidupan Zahra, dan mulai hari ini Zahra tak merasa sendiri lagi.
"Ini kakak Ra, kakak sudah cari kamu kemana-mana bertahun-tahun ternyata kita ketemu disini." Zaki mengelus kepala yang tertutup kerudung putih adiknya.
"Rara sehat? Rara tinggal sama siapa di sini? Rara sekolah dimana? Rara—." Zaki menghentikan pertanyaan beruntunnya, pasti adiknya ini akan bingung ingin menjawab yang mana dulu.
"Ayok Ra, kita ke rumah kakak. Kamu bolos aja ya hari ini, kakak udah kangen berat nih." Zahra menganggukkan kepalanya, menyetujui. Pertanyaan muncul di kepala Zahra, bagaimana nanti jika kakaknya tahu jika ia sekarang bisu.
*
Setelah sampai di rumah orang tua angkat Zaki, mereka duduk di ruang tamu. Ayah dan ibu angkat Zaki sedang pergi ke rumah nenek dan akan pulang lusa.
Zahra telah menceritakan semuanya mengenai kenapa ia bisa menjadi bisu. Dan entah kebetulan dari mana kakaknya mengerti bahasa isyarat karena pernah belajar sewaktu mengajar di sekolah berkebutuhan khusus dulu.
Zaki entah kenapa dari tadi menangis sejak Zahra bercerita. Sejak kapan kakaknya ini mulai cengeng, dulu ketika mereka masih kecil disaat Zaki terluka di kepala dia tidak menangis yang menangis justru Zahra seolah ia yang merasakan sakitnya. Sebenarnya umur kakaknya sekarang berapa tahun.
Zaki menghapus air matanya. "Tadi ketika di halte bus di saat Rara lari dari kakak, kakak pikir Rara tidak ingin bertemu lagi dengan kakak setelah Rara cerita kakak jadi mengerti. Kehidupan Rara sebelumnya pasti beratkan sementara kakak di sini, di rumah ini tanpa tahu bagaimana keadaan Rara. Rasanya kakak tidak becus menjaga Rara, padahal pesan terakhir umi agar kakak terus menjaga Rara. Tapi kakak—."
Kalimat Zaki terpotong, ketika Zahra menggelengkan kepalanya dan menyuruh kakaknya untuk diam. Jari putih Zahra menari-nari membentuk kata demi kata. 'Yang lalu biarlah berlalu, jangan dipikirkan. Kakak jadi jelek jika terus menangis.'
"Iya, iya. Rara makin besar makin jelek saja." Bohong, sebenarnya adiknya ini cantik sampai-sampai ia ingin menutup sebagian wajah Zahra agar tidak sembarang laki-laki melihatnya, dan hanya suaminya saja nanti. Dan itu pun jika ingin menjadi suami adiknya harus dilakukan serangkaian tes oleh Zaki sehingga siapa pun calon suami Zahra nanti benar-benar layak. Protective? Memang.
'kakak pakai baju kayak gini kemana? Kerja?'
"Iya, memangnya kenapa? Kakak gak jadi kerja, Kakak mau sama Rara saja dulu izin satu kali gak akan di pecat kok." Zaki melanjutkan, "Rara tinggal disini saja ya."
Zahra menggeleng, ia kembali menggerakkan jemarinya, 'Nanti mereka nggak suka ada Rara gimana.'
Zaki tersenyum memperlihatkan lesung pipinya. "Kata siapa mereka nggak suka, kakakmu ini sering cerita dengan ayah sama ibu tentang Rara walaupun itu tentang masa kecil kita dulu, mereka malah ingin sekali ketemu Rara dan tinggal disini kalo Rara sudah ketemu. Katanya biar rumah makin ramai. Pokoknya mereka baik kok"
Zahra ikut tersenyum, ramai memangnya pasar malam. 'Mereka punya anak?'
"Ada satu anak tunggal, perempuan dia kuliah di Mesir semester tiga, namanya Aisyah." Perasaannya saja atau tidak, Zahra merasa ada nada berbeda dalam ucapan kakaknya barusan.
"Jadi Rara tinggal di sini ya?" Zaki kembali bertanya.
Mau bagaimana lagi Zahra tak ingin hidup sendiri lagi, maka ia menganggukkan kepala menyetujui.
Karena Zaki kelewat senang ia langsung memeluk Zahra. Suara handphone Zaki berbunyi dan melihatnya, "Ibu" ia lalu mengangkatnya.
"Assalamu'alaikum Bu"
"Waalaikumsalam, kamu dimana udah sarapan belum?" Suara ibu angkatnya, Lita terdengar dari ujung sana.
Zahra hanya memperhatikan Zaki yang sedang tersenyum dan menjawab, "Sudah Bu, nenek sehat di sana? Ibu juga sudah sarapan belum Ayah mana?"
"Alhamdulillah nenek sehat, Ibu sudah sarapan disini, Ayah lagi keluar. Kamu gak kerja ya?"
"Nggak Bu, soalnya hari ini Zaki ketemu Rara. Rara sekarang sudah besar loh Bu. Zaki ketemu Rara di halte dia mau pergi sekolah, tapi Zaki suruh bolos."
"Besok Ibu sama Ayah pulang saja lah, kelamaan nunggu lusa. Ibu udah gak sabar ketemu Rara yang sering kamu ceritai itu. Suruh Rara tinggal di rumah kita aja ya! Ibu jadi gak ada temen sejak Aisyah kuliah. Rara ada kan disitu?" Lita berbicara dengan semangat.
"Ada Bu. Iya, Zaki sudah ngebujuk Rara untuk tinggal di sini, katanya Rara mau."
"Alhamdulillah, sudah dulu ya Zaki. Ibu dipanggil nenek, kamu sama Rara jangan lupa shalat ya. Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam." Lita menutup telepon setelah Zaki mendengar panggilan nenek di ujung sana.
"Rara gak capek kan hari ini?" Zahra menggeleng.
"Kita ke rumah Rara ya, Kakak mau lihat sekalian bawa barang-barang yang bisa dibawa dulu."
Zahra mengangguk menyetujui.
.
Mereka berbicara banyak hal di barengi dengan memasukkan beberapa barang Zahra ke dalam kotak kardus.
"Zahra lapar?"
'Lumayan lapar, Rara punya beberapa sosis di kulkas.'
Zaki tertawa, "Beberapa itu nggak membuat kakak mu ini kenyang, Ra."
'Jadi, kakak yang lapar?' Zahra tersenyum jahil memperlihatkan lesung pipi di sebelah kirinya.
Zaki tersenyum sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, "Iya. Bagaimana kalau kita makan di luar?'
Jari-jari Zahira menari membentuk sebuah kalimat, 'Di depan rumah makan sosisnya?'
Zaki mencubit pipi Zahra gemas, "Di rumah malan lah Rara."
Zahra menggeleng tidak menyetujui, 'Kakak aja pergi, Zahra ingin makan sosis aja. Tapi pas pulangnya kakak bawa nasi padang.'
"Nggak bisa gitu dong Ra. Rara harus ikut, Kakak nggak mau sendirian. Takut."
Alis Zahra menyatu, badan kayak kingkong tapi penakut. 'Nggak mau Rara mau di sini aja.'
Zaki pasrah, "Yaudah Rara tunggu di sini. Jangan kemana-mana, awas aja kalo Kakak pulang kakak liat Rara lagi main layangan."
Zahra memberikan pandangan, memangnya Aku masih kecil.
.