"Perkenalkan ini teman baru kalian Zahra. Ibu harap kalian dapat berteman baik dengan Zahra."
Arfan mengalihkan pandangannya dari buku yang sudah penuh coretan. Ia melihat sekilas pada murid baru yang ia ketahui bernama Zahra. Murid baru iu duduk di bangku paling depan bersama Laila. Ia menundukkan lagi pandangannya, dan kembali mencoreti bukunya. Bosan kembali melanda, apa yang harus dia lakukan untuk mengatasi rasa bosannya. Tidur.
Ya, tidur mungkin dapat mengatasi rasa bosannya. Lagi pula apa yang di terangkan gurunya di depan sudah Arfan pelajari dan mengerti. Arfan melipat tangannya di meja untuk tumpuan kepalanya, ia lalu menempelkan pipinya pada tangan. Setelah mendapatkan posisi yang enak, ia mulai memejamkan mata. Arfan yang duduk di bangku nomor dua dari depan tahu betul bahwa gurunya bisa sangat jelas melihatnya yang tertidur di jamnya. Tapi mau bagaimana lagi Arfan bosan, jadi dia mengantuk.
"Astaghfirullah." Arfan berkata pelan karena kaget, ia terbangun dari tidurnya di karenakan bermimpi jatuh dari jurang lalu tubuhnya seakan tersentak sendiri dan terbangun.
"Ada apa Arfan, sudah selesai tidurnya?" Gurunya Eva bertanya dengan nada santai. Arfan merasakan suasana kelas mendadak berubah. Hening.
"Sudah Bu." Entah Arfan masih di dalam mimpi, atau belum sepenuhnya sadar dari tidur. Karena seharusnya ia tidak menjawab.
"Oke. Untuk menyegarkan kamu yang baru bangun, ibu ingin bertanya apa maksud Qur'an surah Ghafir ayat 19?" Bu Eva tersenyum, ia yakin muridnya ini bisa menjawabnya.
Arfan tampak salah tingkah, ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal karena hampir semua mata memandangnya, hampir karena Arfan melihat murid baru itu tetap menghadap ke depan.
"Qur'an surah Ghafir ayat 19 yang artinya; Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi dalam dada. Dalam salah satu tafsir Allah mengetahui (mata yang khianat) ketika mencuri pandang melihat hal-hal yang diharamkan (dan apa yang disembunyikan oleh hati) yang tersimpan di dalam kalbu.
"Maksudnya karena ujung pangkal perbuatan zina yang keji ini dari pandangan mata, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih mendahulukan perintah untuk memalingkan pandangan mata sebelum perintah untuk menjaga kemaluan, karena banyak musibah besar yang asalnya adalah dari pandangan; seperti kobaran api yang besar asalnya adalah percikan api yang kecil. Mulanya hanya pandangan, kemudian hayalan, kemudian melakukan secara nyata, kemudian terjadilah musibah yang merupakan kejahatan besar ( zina )." Arfan yang sedari tadi hanya melihat pulpennya berbicara dengan lancar. Suara beratnya mengisi ruangan kelas yang hening bertambah sunyi.
"Baiklah Ibu anggap, kamu sudah mengerti. Jangan perhatiin Arfan terus Ibu juga butuh di perhatiin."
***
"Aku nitip aja." Arfan berkata dengan nada malas.
"Nggak ada acara nitip titip. Ayok lah, laki lemes banget." Abrisam sahabat Arfan menarik tangan Arfan dan menggiringnya menuju kantin.
Inilah hal yang membuat Arfan malas untuk ke kantin. Ramai. Arfan seorang introver hal yang mustahil jika ia menyukai tempat ramai seperti ini.
"Aku bilang juga apa rame. Mau duduk dimana coba." Arfan sejak tadi menggerutu pada Abrisam. Arfan memang seorang pendiam tapi tidak jika ia bersama orang yang dekat dengannya.
"Kesini, duduk aja disini. Aku pesan makanan dulu." Setelah Abrisam menemukan meja yang yang cukup kosong, ia langsung pergi untuk membeli makanan.
Arfan memainkan ponselnya untuk menghilangkan rasa bosan.
"Tumben sendiri." Arfan cukup mendongak sedikit, untuk mengetahui siapa yang berbicara. Laila berdiri menenteng piring di tangannya. Arfan lalu mengedarkan pandangannya keseluruhan kantin, satu-satunya tempat yang kosong memang di sini.
"Ada Risam."
Laila hanya mengangguk, ia dan Zahra duduk di meja yang sama dengan Arfan. Mereka tampak asik memakan makanan dan sesekali Laila berbicara dan Zahra hanya sekedar mengangguk. Arfan hanya di sibukkan dengan ponselnya, membuka media sosial untuk melihat akun-akun dakwah.
Abrisam datang dan menyodorkan satu mangkuk bakso pada Arfan. Dan meletakkan satu mangkuk mie ayam untuk dirinya sendiri.
"Minumnya?" Arfan bertanya setelah melihat Abrisam langsung duduk tanpa membawa minuman.
"Ambil sendiri, Aku gak bisa bawa minum juga." Setelah mengatakan itu Arfan berdiri dari duduknya untuk membeli minuman.
Setelah Arfan pergi Abrisam bergumam sendiri. "Lihat aja minumannya nanti tinggal setengah di dalam gelasnya. Tumpah."
Setelah menunggu tidak terlalu lama. Arfan datang dengan membawa es jeruk dan satu gelas susu yang tinggal setengah.
"Ih, bener." Tiba-tiba saja Laila berteriak tertahan. Zahra langsung menoleh mendengar Laila, ia menatap bingung.
Arfan langsung duduk dan memberikan satu gelas es jeruk pada Abrisam. "Ada tisu?" Arfan bertanya pada Laila dan Zahra, biasanya perempuan kan selalu membawa tisu kemana-mana.
"Nanya ke siapa?" Abrisam bertanya sambil mengaduk mienya.
"Mereka." Arfan mengangkat wajahnya ke depan tapi tetap saja matanya melihat baksonya.
"Aku gak punya." Laila menjawab.
Arfan melihat pergerakan Zahra lewat sudut matanya. Murid baru itu mengeluarkan sapu tangan berwarna hijau polos, ia menuangkan sedikit air putih kemasan pada sapu tangannya. Zahra memberikan sapu tangan itu pada Laila. Laila yang paham pun langsung memberikannya pada Arfan.
"Terima kasih." Zahra tahu tangannya lengket terkena susu yang tumpah, jadi ia membasahinya dengan air. Arfan pun mengelap tangannya yang lengket.
"Zahra di sekolahmu dulu apakah pelajarannya sesusah tadi?" Abrisam bertanya setelah menelan mie.
"Jangan di jawab Zahra, dia nanti tidak akan berhenti bertanya." Laila mengingatkan Zahra, Zahra tersenyum lagi pula ia ingin menjawab seperti apa, dia tidak membawa handphone dan Abrisam tidak mengerti bahasa isyarat. Jadi, ia hanya menggelengkan kepalanya.
Benar yang Laila bilang, Abrisam tidak berhenti bertanya walaupun hanya di jawab Zahra dengan gelengan ataupun anggukkan.
Abrisam baru berhenti berceloteh ketika Arfan pergi meninggalkannya untuk kembali ke kelas, itu pun tanpa ia sadari.
.
Zahra menatap sekeliling kelas yang kosong. Sudah sepuluh menit setelah bel berbunyi, dan seluruh kelas tampak lengang. Zahra melangkahkan kaki keluar kelas untuk pulang, namun sebelum mencapai ambang pintu ia teringat bukunya yang tertinggal di laci meja. Zahra mengambil bukunya di laci namun secarik kertas jatuh dari atas buku.
Terima kasih sapu tangannya. Besok Saya kembalikan.
Zahra melihat tulisan dari kertas itu yang tertulis rapi dan bagus, bahkan ia saja yang perempuan tidak sebagus ini. Menurut penelitian kepribadian seseorang bisa di ketahui dari tulisannya, bisa jadi- astagfirullah. Zahra merutuki pikirannya yang sudah kemana-mana. Zahra menyimpan kertas ke dalam buku dan memasukkannya ke dalam tas.
Saat sampai di depan gerbang Zahra melihat Laila berdiri memainkan ponselnya. Kerudung putih yang Laila kenakan sekarang ia ikat ke sekeliling lehernya. Laila adalah teman pertama di sekolah barunya.
Zahra berdiri di sebelah Laila. Ia tersenyum saat Laila menoleh dan berhenti memainkan ponselnya untuk dimasukan ke dalam saku roknya.
"Kamu ingin bertanya kenapa Aku di sini bukan?" Memang hal itu yang ingin ditanyakannya pada Laila. Zahra menggangguk pelan. Dia mengamati kendaraan yang berlalu lalang di hadapannya.
"Aku menunggu Kakak untuk menjemputku." Laila menjawab pertanyaannya sendiri.
Zahra mengambil ponselnya dan mengetik sesuatu di catatan untuk langsung memperlihatkannya pada Laila. 'Akan Aku temani'
"Terima kasih."
'Apakah Laila tak keberatan berteman dengan gadis bisu sepertiku?' pertanyaan ini dari tadi ingin di tanyakan Zahra pada Laila.
Zahra mengetik pertanyaan itu pada ponselnya Kembali dan memperlihatkannya pada Laila
"Semua orang butuh kesetaraan, bukan?" katanya sambil tersenyum tulus ke arah Zahra. Hati Zahra menghangat mendengarnya, belum pernah ada yang berbicara seperti itu pada dirinya. Dan Zahra bersyukur bisa berteman dengan Laila.
Sebuah mobil hitam berhenti di depan mereka. Zahra berpikir itu kakaknya Laila.
"Zahra, kakakku sudah datang, ayo Zahra sekalian kuantar kamu bilang rumahmu di seberang toko kue itu kan." Zahra belum sempat menjawab, Laila sudah lebih dahulu menarik tangan Zahra untuk masuk kedalam mobilnya.
Zahra melihat kakak Laila tersenyum dari balik kemudinya. Zahra hanya bisa menunduk, memandang ujung sepatunya. Mobil yang di tumpangi sudah mulai berjalan.
"Kak ini teman baruku Zahra, Ia murid pindahan" Zahra tak mendengar jawaban dari kakak Laila dan Zahra pikir kakak Laila sedang mengangguk. Zahra jadi merindukan kakaknya yang menghilang entah di mana. Sudah hampir delapan tahun, Zahra benar-benar merindukannya.
Mobil perlahan berhenti, sudah sampai. Zahra turun dari mobil Laila, dan mengucapkan terima kasih. Tapi tak ada suara yang keluar, hanya hembusan angin tak berarti. Laila mengangguk, seakan mengerti ucapan Zahra.
"Sampai bertemu besok, Zahra" Zahra mengangguk dan melambai pada mobil yang perlahan menghilang dari jarak pandang.
Terima kasih telah membaca