Selamat Membaca
Zahra menoleh ke belakang, melihat jam yang tergantung manis di dinding. Pukul 06.01 masih 3.540 detik sebelum bel masuk berbunyi. Di kelas masih sangat sepi, hanya ada petugas kebersihan di luar kelas. Zahra merasa seperti orang bodoh, duduk sambil melipat tangan di atas meja dan menghadap papan tulis putih di depan.
Zahra bosan duduk diam di kelas, perutnya terasa sakit. Pagi ini ia belum sarapan. Zahra mengambil uang dan ponselnya di dalam tas. Setelah mengambil Ia mulai bangkit berdiri. Tapi Zahra merasa lupa arah kantin di mana? kemarin ia hanya menunduk sambil di gandeng Laila ke kantin.
Lalu seorang laki-laki masuk ke dalam kelas, sepertinya Ia tidak melihat Zahra. Zahra dengan cepat melangkahkan kakinya keluar kelas agar orang tidak sadar bahwa dia ada. Saat di ambang pintu, laki-laki itu memanggilnya. Zahra berbalik ia bisa merasakan tatapan mata dari orang yang memanggilnya ini, Zahra hanya melihat lantai berkramik putih yang tampak lebih menarik. Zahra pun tak mengetahui bahwa lelaki itu bukan menatap Zahra tapi menatap hal yang sama seperti Zahra, karena lelaki diharuskan untuk menundukkan pandangannya dari yang bukan mahram.
Allah Ta'ala berfirman,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman,'Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (QS. An-Nur [24] : 30).
Imam An-Nawawy mengatakan, "Pandangan kepada selain mahram secara tiba-tiba tanpa maksud tertentu pada pandangan pertama maka tak ada dosa. Adapun selain itu, bila ia meneruskan pandangannya maka hal itu sudah terhitung sebagai dosa."
الْعَيْنَانِ تَزْنِيَانِ، وَزِنَاهُمَا النَّظَرُ
"Dua mata itu berzina, dan zinanya adalah memandang." (Muttafaq 'alaih).
"Kamu murid baru disini, teman Laila kemarin kan? Apa kamu sudah mengenal lingkungan sekolah dengan baik?" Zahra menggeleng.
"Jika kamu butuh bantuan bilang aja." Zahra mengangguk. Ia tidak ingin berdua-duaan dengan laki-laki apalagi sekarang masih tampak sepi. Ia juga tidak ingin duduk saja dikelas bersama seorang laki-laki dalam satu ruangan. Mata ini memandang hal-hal yang haram dan setan pun menghiasinya ini adalah karena ikhtilath.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Janganlah salah seorang di antara kalian berkhalwat (berdua-duaan) dengan seorang wanita karena sesungguhnya setan menjadi orang ketiga di antara mereka berdua." (H.r. Ahmad, 1:18; Ibnu Hibban (lihat Shahih Ibnu Hibban, 1:463); At-Thabrani dalam Al-Mu'jam Al-Aushath, 2:184; Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Baihaqi, 7:91; dinilai shahih oleh Syekh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 1:792, no. 430)
"Aku rasa kamu tak akan menemukan kantin dengan mudah. Dan aku yakin kamu lupa. Oh, kamu mungkin menemukannya 2 menit sebelum bel berbunyi, kurasa." Lalu laki-laki itu melanjutkan "Aku Arfan, jika kamu ingin tahu." Arfan mengangkat bahu tak acuh lalu berjalan duduk kebangkunya.
Zahra mendengus dalam hati, 'Apakah sekolah ini sebesar itu, hingga Aku tak dapat menemukan kantin dengan mudah? Tapi tunggu, dari mana dia tau jika aku ingin ke kantin. Dan dari mana dia tahu jika Aku lupa arah kantin.'
**
Zahra menatap roti isi coklatnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Tapi Ia tidak peduli, Zahra sekarang benar-benar lapar. Walaupun Ia sebenarnya sudah menghabiskan 2 bungkus roti isi coklat dengan ukuran besar.
'2 menit katanya, Aku bahkan hanya memerlukan waktu 1 menit 57 detik untuk sampai kantin.' Zahra tersenyum bangga pada dirinya sendiri. Yang pada saat mencari kantin Zahra menghidupkan timer untuk membuktikan ucapan laki-laki tadi. Zahra lupa bahwa yang dikatakan Arfan tadi adalah 2 menit sebelum bel berbunyi bukan 2 menit waktu yang di tempuh untuk sampai ke kantin.
Zahra tersentak saat Laila memukul punggungnya pelan. Ia hanya memberikan tatapan bertanya.
"Kamu pergi ke kantin sendiri?"
Zahra mengangguk, sambil mengunyah roti dengan hikmat sambil menawarkan roti kepada Laila.
Gurat cemas muncul seketika di wajah Laila. "Kenapa kamu nggak menunggu Aku? Sekolah ini cukup besar. Kamu pun kemarin belum sempat berkeliling. Kenapa kamu nggak meminta bantuan ketua kelas, Ia selalu datang pagi."
Zahra mengusap perutnya, dan mengetik sesuatu di catatan handphonenya lalu menunjukkan kepada Laila. 'Aku lapar, Aku nggak apa-apa.'
"Lain kali jangan seperti itu." Zahra mengangguk.
***
Zahra mengetuk-ngetuk ujung pulpen bertutup pada kepalanya yang tertutup jilbab.
Ia baru pindah ke sekolah ini dua hari yang lalu. Kenapa Ia sudah di suguhi asupan ulangan harian Matematika di pagi hari yang cerah ini.
Ia melirik soal Matematikanya, Zahra sudah menjawab 3 tinggal 2 soal lagi. Lalu tiba-tiba keningnya mengerut, alisnya bertaut, mata kiri bawahnya berkedut. Cobaan macam apa lagi ini.
'Tentukan nilai x, tentukan nilai x,... ' Zahra mengucapkannya berulang-ulang dalam hati. Lalu berbicara pada dirinya sendiri.
'Kenapa Aku harus peduli dengan nilai x. Kenapa y tidak bisa mencari nilai x sendiri. Kenapa harus meminta bantuanku. Manusia memang makhluk sosial yang butuh bantuan orang lain. Apakah x dan y merupakan makhluk sosial yang butuh bantuan orang lain untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Aku pun baru sadar hari ini setelah mengenal 4 tahun dengan x dan y bahwa mereka selama ini belum bertindak dewasa untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri.'
'Kok kesel?'
Ia ingin memperlihatkan jawabannya pada Laila, yang sepertinya kesulitan dalam menjawab. Tapi, tatapan melotot penuh kasih sayang dari gurunya tertuju pada Zahra. Ia mengurungkan niat baiknya. 'Maafkan Aku Laila.'
***
"Matematika memang merepotkan, Aku udah berusaha dengan keras mengerjakannya. Dan sekarang Aku lapar. Kamu ingin pesan apa Zahra?"
Zahra menunjuk jus jeruk pada spanduk yang tergantung di dalam kantin.
"Hanya itu?" Zahra mengangguk. Laila berdiri dan memesan makanan.
Zahra tersenyum. Saat ulangan Matematika tadi, guru permisi keluar sebentar untuk mengangkat telpon. Cukup bagi Laila untuk menyalin jawaban Zahra. Dan cukup bagi Zahra untuk melihat jawaban laki-laki berkacamata di belakang tempat duduknya, Zahra tidak tahu siapa namanya. Lelaki cerewet yang menanyai Zahra kemarin di kantin. Tapi dia dengan senang hati menconteki Zahra. Tapi sekarang Zahra baru sadar bahwa mencontek itu tidak baik. Dia beristigfar dalam hati.
"Yang tadi yang terakhir, Aku nggak akan mengulangi yang ketiga kalinya."
Zahra mengenal suara itu, itu suara Arfan dan tepat di belakang tempat duduknya. Zahra tidak ingin mendengar apapun.
"Oke, terima kasih. Kalo kamu nggak menelpon mungkin dia hanya mengisi 3 soal, dan Laila tidak mengisi sama sekali."
'Jadi,.. ' Zahra terkaget dalam diamnya.
"Lihat kearah jam sembilan, Chika sedang melihatmu."
Arfan hanya diam, mengunyah makanannya dengan pelan. Tidak peduli.
"Selama ini Aku nggak pernah melihatmu melihat atau pun melirik seorang gadis, bahkan guru."
"Aku nggak akan menatap, melirik ataupun melihat mata perempuan manapun kecuali itu keluargaku, dan calon istriku nanti." Arfan menjawabnya dengan santai.
"Memangnya siapa calon istrimu nanti?" Abrisam menanggapinya dengan bercanda sambil mengunyah bakso yang tinggal separuh di mangkuknya.
"Hanya Allah yang tahu."
.
.
.
.
.
.
Terima Kasih telah membaca :)