Gunawan membuang ludah dan menatap sinis Tatjana. Gunawan tertawa terbahak-bahak seraya memegangi perutnya. Menurutnya ancaman Tatjana hanya gertak sambal lado. Tatjana tak punya kekuasaan seperti dirinya mana mungkin bisa menghancurkan kariernya.
Andai saja Gunawan tahu jika sang putri adalah CEO dari aplikasi permainan game yang sedang booming dan saham perusahaanya sudah bertengger di bursa saham mungkin Gunawan tak akan meremehkan sang putri.
"Jangan mimpi. Kamu hanya wanita yang tidak berdaya." Gunawan menghina Tatjana.
"Jangan menempatkan wanita seolah-olah lemah dan tak berdaya. Wanita bisa lebih hebat dari laki-laki. Papi jangan meremehkanku. Aku tidak main-main dengan ucapanku. Berhentilah berpetualang. Kembalilah pada mami dan kami. Gundik itu mau sama Papi karena papi berkuasa dan memiliki uang. Jika papi miskin mana mungkin dia sudi memberikan tubuhnya pada papi. Sadar sama umur Pi. Liang kubur menanti papi."
"Jika aku tidak mau kamu mau apa anak setan?" Gunawan balik menantang Tatjana. Anak kemaren sore sudah berani mengancamnya.
"Jika aku anak setan Papi Bapak setan," hardik Tatjana murka menarik kerah baju Gunawan. Bukannya sadar Gunawan masih saja bebal dan otoriter.
"Kamu tidak berhak mengatur dan nasehatin papi." Gunawan mendorong Tatjana hingga tersungkur ke belakang.
Tatjana bangkit menahan perih di bokongnya. "Aku berhak menasehati papi jika jalan papi salah. Please kembali ke jalan yang benar. Apa pun yang terjadi sama papi hanya keluarga yang akan menerima papi apa adanya. Please.... dengerin aku sekali saja. Berhentilah bermain wanita dan berselingkuh di belakang mami. Papi ga sadar selama ini udah nyakitin mami?"
"Cih." Gunawan mendecih membuang ludah. Ucapan Tatjana hanya omong kosong baginya.
"Selama ini mami kamu bahagia hidup dengan papi. Memiliki harta yang melimpah dan banyak uang. Kurang apa papi sama mami?"
"Pi kebahagiaan itu tidak diukur pake materi yang kita punya dan kita kasih. Buat apa punya banyak materi tapi gak bahagia." Tatjana menunjuk dadanya.
Gunawan bungkam tak menggubris ucapan Tatjana.
"Otak papi cuma selangkangan hingga ga bisa mikir jernih." Tatjana melewati batas. Ia sudah tak bisa mengontrol ucapannya.
Plakkkkk !! Gunawan kembali menampar Tatjana. Walau kepalanya terluka Gunawan masih punya tenaga.
"Sekali lagi aku tanya. Papi pilih gundik itu apa mami? Cepat katakan!" Teriak Tatjana frustasi.
"Kamu tidak bisa mengatur papi. Jika Irma ingin posisinya aman dia harus nurut sama papi."
"Papi sudah menabuhkan genderang perang denganku. Papi bersikap seperti ini karena memiliki kekuasaan. Aku bersumpah akan menghancurkan papi hingga tak punya apa - apa lagi dan wanita itu akan meninggalkan papi."
Gunawan mentertawai Tatjana. Omong kosong macam apalagi ini. Tatjana pandai membuat lelucon.
"Papi boleh tertawa sekarang namun ketika saat itu tiba jangan datang kepadaku." Tatjana bangkit menendang tulang kering Gunawan.
Gunawan menjerit kesakitan. Ia tak habis pikir sejak kapan putrinya berubah barbar seperti ini. Tatjana yang ia kenal adalah gadis baik, penurut dan sopan.
Tatjana membuka pintu ruangan Gunawan. Ia menghampiri Dita, sekretaris Gunawan.
"Dita gue abis berantem sama bos lo. Lo obatin sana. Kepalanya berdarah abis gue tabok pake asbak rokok," kata Tatjana tanpa rasa bersalah.
Dita hanya melongo menatap kepergian Tatjana.
Dita segera berlari ke ruangan Gunawan memberi pertolongan. Tatjana tak bercanda, ia benar-benar memukul kepala Gunawan hingga berdarah. Dita bergidik ngeri tak menyangka Tatjana tega melakukan semua ini.
Kelakuan minus Gunawan sudah menjadi rahasia umum di TA. Dita sendiri juga pernah menjadi korban pelecehan Gunawan. Jika tak ingat tulang punggung keluarga mungkin Dita sudah memutuskan resign. Ia mensyukuri keadaan Gunawan yang tak berdaya seperti ini. Biar tahu rasa! Sesekali buaya darat seperti Gunawan diberi hadiah bogem mentah seperti ini. Setidaknya Tatjana sudah mewakilkan dirinya untuk menghajar Gunawan.
Gunawan memang pantas diberi pelajaran. Mata suka jelalatan dan pikirannya tak jauh dari selangkangan. Hampir semua pegawai cewek di TA menjadi korban kenakalan Gunawan. Minimal korban grepe-grepe. Gunawan tak ingat umur. Ia bisa pusing jika tak menggoda perempuan. Sifat genit sudah menjadi ciri khas seorang Gunawan.
"Bapak tidak apa-apa?" Dita basa-basi busuk sok khawatir dengan keadaan Gunawan.
Gunawan meringis menahan nyeri. Tangannya bermandikan darah dan matanya berkunang-kunang. Gunawan tak hentinya menyumpahi Tatjana karena telah melukainya. Gunawan bersumpah akan memberi pelajaran pada Tatjana setelah sembuh.
Dita sedikit panik. Ia takut Gunawan mati. Jika Gunawan mati ia akan menjadi saksi. Dita tak mau jadi saksi andai Gunawan mati karena resikonya sangat besar. Bisa jadi ia akan dituduh sebagai tersangka karena menemukan Gunawan pertama kali.
Walau sering dizalimi Gunawan, namun Dita yang berhati baik tak tega melihat kondisi Gunawan yang mengenaskan. Darah segar tak berhenti meluncur dari pelipis Gunawan. Jiwa kemanusiaan Dita terpanggil. Ternyata ia tak tega melihat Gunawan terluka.
"Pak. Saya panggil dokter ya Pak. Bertahanlah Pak." Dita beranjak keluar ruangan seraya berlari.
"Please...bantu bawa dokter kesini. Pak Gunawan terluka. Kepala beliau berdarah." Dita panik menelpon bagian umum untuk memanggil dokter. Sikap panik dan gusar Dita menjadi perhatian karyawan lain.
"Lo kenapa Ta?" Tanya Ana curiga melihat ekspresi panik di wajah Dita.
"Ba-pak gue...." Dita bicara terbata-bata. Dita heran sikapnya berubah panik. Bukankah tadi ia mensyukuri keadaan Gunawan? Kenapa sekarang ia malah khawatir?
"Lo tenang dulu dech. Ngomong pelan-pelan." Ana berusaha menenangkan Dita.
Dita mendengarkan ucapan Ana. Ia berusaha menyusun kata-kata untuk bicara. "Ba-pak gue habis berantem sama anaknya." Dita cerita perlahan-lahan
"Trus????" Ana memotong pembicaraan Dita.
"Lo bisa diam dulu ga?" Dita menghardik Ana.
Ana menutup mulutnya karena kaget dihardik oleh Dita. Ternyata Dita bisa galak juga.
"Bapak gue berantem sama Tatjana. Pas Tatjana datang udah kayak tentara mau perang. Dan lo tahu apa yang terjadi sama Pak Gunawan? Tatjana pukul Bapaknya pake asbak kaca sampai kepalanya berdarah."
"What ????" Bibir Ana monyong lima senti seakan tak percaya ucapan Dita.