Ira pergi ke kamar Yuana. Dia lagi malas-malasan di kasur dengar lagu. Ira mendekatinya dan mengabarkan jika Manfred menelpon. Yuana tidak bereaksi, masih saja asyik dengan lagu yang dia dengar.
"Bilang aja lagi ga ada. Malas." Yuana menjawab lesu.
"Katanya penting. Lagian dia tahu Non di rumah." Ira heran kenapa Yuana enggan menerima telpon dari Manfred. Belakangan dia selalu semangat kalau berurusan dengan Manfred.
"Bilang aku lagi tidur kek, mandi, kek. Ya?" ujar Yuana, wajahnya memelas bercampus kesal.
"Lagi marahan nih?" kata Ira.
Yuana cemberut. "Mbak Ira, mau tahu aja deh."
Ira tersenyum, menggeleng, lalu balik ke ruang tengah. Dia meneruskan pesan Yuana pada Manfred.
"Mas, katanya lagi tidur ... Eh, aduh ..." Ira menggigit bibirnya, sadar dia salah ngomong.
"Mbak, Yuan ga lagi tidur, kan? Aku mau ke sana. Mbak Ira ga usah bilang ya. Makasih, Mbak." Manfred memutus telpon. Dia yakin ada yang tidak beres dengan Yuana. Dia harus segera menemuinya dan mencari tahu ada apa.
Dua puluh menit berikut, Manfred sudah sampai di rumah Yuana. Dia parkir motor dan mengetuk pintu. Ira membuka pintu dan mengajaknya masuk ke dalam.
"Dia lagi mandi. Tunggu saja sebentar," kata Ira dengan senyum ramah.
Kebiasaan Yuana sore setelah mandi pasti akan ke dapur ambil minum hangat dan makan cookies. Dia pasti akan turun dari kamarnya yang langsung ketemu ruang tengah dan tersambung dengan ruang makan dan dapur.
Sepuluh menit berikut, Yuana turun. Dengan kaos oblong putih dan celana coklat gelap selutut. Sampai ruang tengah, dia melihat Manfred. Manfred tersenyum padanya. Langsung dia pasang muka masam.
"Ngapain ke sini?" tanya Yuana ketus.
Manfred heran dengan sambutan Yuana. "Yu, apa yang terjadi? Beberapa hari kamu ga balas chat, ga terima telpon, ga ada terus di kampus kalau aku cari. Kamu ada apa?" tanya Manfred.
"Masih perlu aku? Makanya cari ke sini?" Yuana maju beberapa langkah, menyandarkan tubuhnya ke kursi di depan Manfred.
"Yu, aku kangen sama kamu." Manfred berdiri dan mendekati Yuana.
"Kangen? Masih bisa kangen aku?" Yuana melipat kedua tangannya.
"Yu, kamu kenapa?" Manfred memandang Yuana dengan heran dan gusar.
"Ga sadar? Kamu sudah jahat sama aku." Yuana balas menatap Manfred. "Kamu bohong, Fred. Kamu bilang kamu sayang padaku. Nyatanya kamu ga perduli."
"Aku?" Manfred makin bingung.
"Karena gadis itu, kan? Kulitnya putih bersih, rambut pendek model terbaru. Modis dan beken di kampus. Makanya kamu ga mau tahu lagi soal aku. Tidak apa-apa, Fred. Aku ga masalah. Uda biasa kan kalau cewek itu dibohongin." Yuana bicara sambil berjalan mengelilingi ruangan. Nada suaranya benar-benar marah.
Mata Manfred mengikuti Yuana yang berjalan ke sana kemari.
"Dengar, Fred. Bobby pergi meninggalkan aku. Sekarang kamu juga begitu. Kalian para pria, itu ternyata sama saja." Emosi Yuana makin meluap. Manfred kaget sampai kalimat seperti itu yang Yuana ucapkan.
"Yuan ... dengar dulu. Kenapa kamu bawa-bawa Bobby? Lagian kamu tahu kenapa Bobby harus pergi," tandas Manfred. "Kalau soal Pritta, aku dan dia ga ada apa-apa, Yu. Kami cuma berteman."
"Berteman? Kalian pergi berdua tiap hari. Boncengan dengan motor begitu. Kamu bilang berteman? Aku tidak buta, Fred!"
"Kamu marah karena Pritta? Kamu cemburu?"
Yuana menghentikan kakinya. Lalu dia berdiri menatap Manfred. Cowok itu tersenyum. Kenapa dia makin tampan saja, sih?
"Apa yang lucu? Kenapa kamu tersenyum?" Yuana melangkah lagi. Kali ini mendekat ke Manfred.
"Kamu cemburu pada Pritta? Yuan ... kamu ..." Manfred tertawa. Rasa senang muncul menyadari Yuana bisa kesal pada Pritta.
"Kenapa malah tertawa?" Yuana makin jengkel. Dia mengambil bantal di sofa dan dilemparnya pada Manfred. Manfred menangkap bantal itu.
"Yuana ... kamu cemburu." Manfred sekarang yang berjalan mendekati Yuana. "Ini bagus buatku. Artinya kamu sayang aku, Yu ..." Senyum Manfred lebar. Ada buncah kegembiraan di hatinya.
"Dasar. Aku ga mau perduli sama kamu." Yuana membalikkan badan, meninggalkan Manfred ke ruang atas.
"Yu, tunggu!" Manfred menarik lengan Yuana. "Dengar dulu penjelasanku."
"Lepaskan." Yuana mengibaskan tangan Manfred. Dia melanjutkan langkahnya menaiki tangga.
"Dengarkan aku." Manfred melompat dua anak tangga dan berdiri di depan Yuana sekarang. "Aku dan Pritta tidak ada apa-apa. Kami pergi bersama karena ada urusan kerjaan." Manfred memegang kedua bahu Yuana.
Yuana mengangkat mukanya memandang Manfred. Mata biru itu. Kenapa jadi terlihat bagus sekali? Dan, terasa desiran mengalir di hati Yuana ditatap begitu dekat sama Manfred.
"Urusan kerjaan?" Suara Yuana merendah.
"Sini, aku jelaskan." Manfred menarik tangan Yuana lagi balik ke ruang tengah. Dia mengajak Yuana duduk bersebelahan di sofa.
"Kakak Pritta akan menikah. Dia mau band kami, Mardhika, main di acara resepsi. Karena aku sekelas sama Pritta, teman-teman minta aku yang urus. Begitu, Cantik." Manfred memencet hidung Yuana dan menggoyang-goyangnya.
"Beneran?" ujar Yuana, masih dengan muka cemberut.
"Sejak kapan aku bohong sama kamu?" Manfred memegang kedua pipi Yuana.
Yuana meluruskan punggung bersandar pada sofa dan mengalihkan pandangan ke dinding di depannya.
"Apa yang kurang jelas? Tanyakan saja," kata Manfred. Dia cermati wajah Yuana, aura marah sedikit memudar.
"Maafkan aku ..." kata Yuana lirih.
"Aku merasa aneh saja, kenapa kamu tiba-tiba memperhatikan teman cewekku? Aku tahu kamu sekarang berteman dengan Yoseph, playboy kampus itu. Aku ga marah, aku tahu kamu ga bakalan mau sama dia." Manfred memandang Yuana lebih lekat.
"Aku ... aku ga tahu ..." Yuana melipat tangan di dada.
"Marah aku tanya begitu?" Manfred menghadapkan tubuh Yuana ke arahnya. Yuana kembali cemberut. Manfred tersenyum.
"Baru sekarang aku tahu, kamu kalau cemberut tambah cantik. Biasanya aku lihat kamu nangis melulu." Senyum Manfred melebar.
"Ah, apa sih?" Yuana melepas tangan Manfred. Dia berdiri.
Manfred ikut berdiri. "Yu, aku mau pulang. Tapi aku ga mau ninggalin kamu masih marah gini. Jangan manja terus."
Yuana makin manyun.
Manfred menarik Yuana dalam pelukannya. Yuana terkejut. Baru kali ini Manfred memeluknya dengan sengaja. Aroma parfumnya yang lembut terhirup hidung Yuana. Yuana suka. Dia diam saja, tapi menikmati sikap manis Manfred.
"Hei, aku sayang kamu. Selalu. Percaya padaku." Manfred berkata di dekat telinganya. Yuana memberanikan diri membalas pelukan Manfred.
Manfred tersenyum. Dia senang dengan pelukan Yuana. Tubuhnya yang mungil, menempel di dadanya. Lama sekali Manfred ingin melakukan ini, memeluk Yuana yang sangat dia sayangi.
"Yu, aku pulang," bisik Manfred. Yuana tidak bergerak. Yuana merasa nyaman di pelukan Manfred. Dia memejamkan matanya.
Manfred mengecup kening Yuana lembut. Jantungnya berdetak kuat dan cepat. "Yu, terima kasih karena mau menerimaku," batin Manfred. Dia tahu, tanpa berkata apa-apa, sikap Yuana menunjukkan hatinya telah terbuka buat Manfred.
Setelah beberapa lama, Manfred melepaskan pekukannya dan pamitan pulang. Setelah Manfred pergi Yuana masuk ke kamarnya. Dia duduk di ranjang. Dia rasa jantungnya belum berdetak normal. Dia memeluk Manfred begitu kuat dan dia merasa sangat nyaman. Manfred bahkan emngecup keningnya. Manis sekali.
Di pikirannya muncul wajah Manfred, tersenyum, tampan. Debaran halus kembali menyapa hati Yuana.