Setelah semalam menjamu tamu-tamunya, siang ini waktunya Panji menjamu Melody. Wanita sederhana yang kerap kali membuat jantungnya berdegup kencang hanya karena mereka sedang berbincang membicarakan pekerjaan.
"Sorry, aku tidak menemanimu sarapan," ucap Panji yang sudah berdandan santai mengenakan celana jeans dan kaos. Lamanya acara jamuan semalam membuat Panji melewatkan waktu sarapannya.
"Tidak masalah, semalam lancar?" tanya Melody sambil menuangkan teh madu pesanan Panji.
"Lancar, hanya jamuan dan bagi-bagi kue." Panji meraih piring untuk makan siangnya.
"Bagi-bagi kue?" tanya Melody memicingkan mata tak mengerti.
"Bagi-bagi kue hanya istilah, mereka bagi-bagi jatah profit proyek," ucap Panji terkekeh melihat reaksi Melody yang terkejut.
"Kirain udah gak jaman hal kayak gini, ternyata masih ada ya?" Melody mengedikkan bahunya tak percaya.
"Ya seperti itu, masih ada dan merupakan tradisi, kita ikuti selama tidak melanggar aturan hukum dan norma yang ada tidak masalah," jawab Panji setelah meneguk jus jeruknya hingga tandas.
"Ngomong-ngomong kita mau kemana?" tanya Melody yang memang baru pertama kali ke Bandung setelah beberapa tahun menghindari kota yang menyisakan kenangan pahit untuknya dan sang ibu. Selama lima tahun bekerja di Jakarta, ia hanya sibuk mencari uang tanpa memikirkan kesenangannya sendiri. Itulah sebabnya teman-temannya menjulukinya kurang gaul.
"Saya mau belanjain kamu, no limit. Bagaimana?" tanya Panji tanpa basa-basi.
"Serius?" tanya Melody tak percaya.
"Apa aku terlihat bercanda? Kamu bukan sedang meragukan keuanganku kan?" tanya Panji sambil terbahak.
"Tidak, hanya saja saya merasa tersanjung," jawab Melody bersemu merah.
"Biasa saja, semua wanita berhak mendapatkan yang terbaik bukan?" Panji menggandeng tangannya kembali.
"Billingnya?" tanya Melody ketika Panji langsung mengajaknya keluar dari restoran hotel.
"Sudah beres," jawab Panji tenang.
"Open card?" tanya Melody memastikan.
"Iya, saya sudah member lama jadi tidak masalah," jawab Panji enteng.
Melody hanya mengangguk-anggukkan kepala, ia hampir lupa siapa pria yang sedang bersamanya. Pria yang masuk jajaran pengusaha muda di Indonesia yang tersohor dengan kekayaan yang tidak perlu diragukan lagi.
"Kamu sedang tidak ada pasangan kan?" Panji sepertinya akan menagih jawaban atas penawarannya tempo hari kepadanya. Dalam perjalanan menuju sebuah mall, ia membahas keinginannya untuk memperistri Melody.
"Saya tidak ada pasangan, sudah dua tahun jomblo," jawabnya tersenyum getir.
"Why, wanita secantik kamu pasti banyak yang naksir." Panji menatapnya tak percaya.
"Kenyataanya seperti itu," sahut Melody.
"Jadi, kamu terima tawaran saya?" Panji mulai tidak sabar.
"Harus dijawab sekarang ya?" Melody panik. Ia sama sekali tidak memperkirakan tarawan Panji seserius ini.
"Kalau bisa kenapa tidak, walaupun kamu jadi istri kedua. tapi fasilitas yang kamu dapatkan tetap premium. Dan kamu tidak perlu khawatir, pernikahan kita seijin Feli dan ibuku," ucap Panji meyakinkannya.
"Hah, serius?" tanya Melody tak percaya.
"Iya, nanti saya arrange waktu untuk kamu bertemu mama dan istri saya," kata Panji. Mereka sudah berada di dalam mall.
"Saya harus bicara dengan ibu dulu di Malang, entah kapan bisa cuti," ucap Melody mengingat pekerjaannya sedang padat.
"Secepatnya, kamu bisa weekend depan ke Malang, saya temani," sahu Panji gerak cepat.
"Sabtu depan ini?" tanya Melody sambil mencoba salah satu merk parfume.
"Kalau suka ambil aja," kata Panji memperhatikan ekspresi wajah Melody yang terlihat menyukai aroma parfume yang dicobanya.
"Terima kasih, tapi apa tidak terlalu cepat?" Melody menatapnya ragu.
"Asal kamu yakin dengan saya, tidak ada yang perlu kamu pikirkan. Serahkan semua kepada ku," ucap Panji.
"Seperti itu?" Melody memastikan lagi ucapan Panji.
"Tentu, katakan saja hal apa yang membuatmu ragu atau tidak nyaman," kata Panji.
"Tapi, Pak. Kita baru saja dekat, bapak yakin?" Melody sebenarnya bukan meragukan Panji. Namun, ia meragukan dirinya sendiri. Apa semudah ini menjadi istri kedua. Sekelebatan resiko yang harus ia tanggung terlintas di kepalanya.
"Bapak? Kamu gak ada panggilan lain apa? Mas misalnya?" Panji memprotes Melody.
"Mas ya, boleh." Rona wajahnya terlihat malu-malu.
"Biasakan dari sekarang memanggilku Mas jika kita di luar urusan pekerjaan, paham kan?" Panji sudah selesai membayar parfume dan beberapa kosmetik pilihan Melody.
"Paham, Mas," jawab Melody patuh.
"Bagus, saya suka wanita penurut." Panji menggiring Melody masuk ke sebuah toko baju. Ia diminta membeli beberapa item, karena menurut Panji, koleksi baju Melody kurang kekinian.
"Disitu mahal," tolak Meidy ketika melihat nama toko yang dituju Panji.
"Kan saya tanggung jawab, kamu tinggal pilih," ucap Panji.
Hari yang menurut Melody merasa diistimewakan, hatinya terluka karena sang ayah tidak pernah peduli dengannya. Sempat ia mendengar bahwa Presetyo sudah menjadi pengusaha sukses, namun Melody sama sekali tidak pernah dianggap ada.
"Mikirin apa?" Panji melihat Melody melamun.
"Orang tua saya sudah berpisah, terakhir saya dengar ayah saya di Jakarta." Melody menerawang pertemuan terakhirnya dengan Prasetyo saat menawarkan dirinya untuk tinggal bersama sekaligus memberitahu bahwa ayahnya sudah menikah lagi dengan wanita yang lebih muda.
"Kalau di Jakarta, bagaimana kalau kita temui?" Panji seakan mendapatkan angin segar untuk bertemu orang tua Melody.
"Gak, saya gak mau ketemu." Melody menolak mencari keberadaan ayahnya yang sudah meninggalkan luka teramat dalam untuk ibunya..
"Kenapa? Kamu ada masalah dengan ayah kamu?" tanya Panji menenangkan Melody yang tersulut emosi.
"Laki-laki baik mana yang bisa dijadikan sebagai ayah panutan jika meninggalkan anak dan istrinya, tidak hanya meninggalkan tapi menyusahkan." Bahu Melody naik turun menahan diri agar tidak menangis. Pembahasan mengenai keluarga membuat Melody emosional.
"Sudah, maafkan saya. Kita kesini mau belanja bukan bikin kamu sedih kayak gini, ayo lanjutkan belanjanya." Panji menyeka setitik air mata yang terlanjur jatuh dengan jarinya.
"Makasih," ucap Melody gugup. Panji yang terkenal dingin dan tanpa basa-basi ternyata bisa semanis ini terhadap wanita. Ia membayangkan seberuntung apa istri Panji memiliki pria ganteng nan kaya dihadapannya.
"Pilih, jangan cuma dilihat saja," kata Panji yang menyadarkan dirinya bahwa keduanya sudah berada di dalam toko jam branded.
"Eh, serius?" Melody menjadi malu karena pegawai toko yang sepertinya sudah mengenal baik Panji memperhatikan dirinya, seakan menunggunya kan memilih jam yang mana.
"Hmmm," Panji menggeram kesal. Karena Melody sejak tadi hanya bertanya hal yang sama.
"Keluaran terbaru, Teh. Kasih beberapa jenis yah." Panji meminta salah satu pegawai untuk menunjukkan beberapa koleksi terbaru.
"Baik, Pak," jawabnya. Ia mengeluarkan beberapa item yang diminta Panji.
Pria itu langsung memborong semuanya untuk Melody karena wanita itu enggan memilih salah satu karena harganya tidak masuk akal sehatnya untuk sebuah jam tangan.
"Sudah, ayo makan. Ini sudah masuk jam makan malam dan saya lapar," ucap Panji setelah membayar. Ia menggiring Melody keluar dari toko jam dan mengajaknya makan malam.
"Makan apa?" tanya Melody kepada Panji.
"Bebek mau?" tawar Panji kepadanya.
"Mau, boleh neh yang pedes memang menggiurkan." Dan senyumnya kembali mengembang hanya karena ajakan menikmati bebek goreng dengan sambal pedas.
"Sesederhana ini sudah membuatmu bahagia," ucap Panji mengelus rambut panjang Melody yang tergerai indah.