Melody berdebat dengan Dicky, pria itu masih tidak puas dengan penolakan Melody kemarin. Ia kembali mendatangi wanita yang pernah mencintainya dengan tulus ke kantor PP Engineering.
"Apa perlu sampai aku panggil satpam untuk ngusir Mas dari sini?" Melody sudah kesal karena Dicky terus mendesaknya.
"Kamu beneran udah gak mau bantuin aku, Mel?" Dicky masih ngeyel.
"Mas! Perlu aku ulang lagi penjelasanku tadi yang sudah seperti ceramah?" Melody seakan dipermalukan dengan tingkah Dicky. Keduanya berdebat di ruang terbuka, seliweran karyawan yang datang dan lewat membuatnya semakin malu.
"Kalau kamu kasih aku ya gak bakal kayak gini, Mel. Kamu pelit banget sama aku," ucap Dicky emosional.
"Pelit?" Melody menatapnya tajam berbarengan dengan Reza dan Hermawan yang baru saja datang masuk ke lobby perusahaan.
"Ada apa ini?" Hermawan datang menghampiri Melody yang sudah menahan tangisnya.
"Tidak ada apa-apa, pak. Hanya salah paham saja," jawab Dicky panik.
"Mel?" Hermawan melihat ke arah Melody yang sudah berkaca-kaca. Reza yang berada di sebelahnya berinisiatif mengambilkan tissue di meja tamu tak jauh dari tempat mereka berdiri lalu menyerahkan kepada Melody. Ia memilih tidak menjawab Hermawan daripada tangisnya pecah pagi ini, seharusnya ia bekerja namun kedatangan Dikcy mengacaukan agenda pekerjaannya.
"Za, bawa Melody masuk," titah Hermawan kepada anaknya. Reza yang mengerti maksud ayahnya mengajak Melody menuju lift.
"Pak Hermawan jangan berpikir yang tidak-tidak," ucap Dicky melihat Hermawan melihatnya penuh amarah.
"Apapun yang kamu bicarakan dengan Melody saya tidak peduli, tapi ini kantor saya, kamu sudah buat keributan disini dan saya harap ini yang terakhir." Hermawan berkata tegas kepadanya.
"Siap, Pak. Saya permisi dulu," pamit Dicky. Ia memilih menghindar agar tidak mendapat banyak pertanyaan dari Hermawan.
"Ingat, saya tahu kamu masih ngejar Melody untuk mendanai proyek yang tidak jelas asal usulnya itu, saya pastikan kamu tidak akan mendapatkan sepeserpun darinya!" sulut Hermawan lalu meninggalkan Dicky yang masih berdiri mematung.
"Dia minta uang lagi, Za. Seperti yang udah-udah, dia selalu dengan rayuan basinya." Melody yang sudah lebih tenang mulai bercerita. Di dalam ruangannya ia sudah duduk dengan wajah sendu.
"Kurang ajar!" Reza mengepalkan tangannya menahan emosi.
"Sudah Za, kayaknya aku perlu ganti nomor ponsel. Tapi percuma juga kalau dia masih bisa kesini seenaknya," ucap Melody.
"Aku ada cara, nanti dipikirkan sama Papa. Mbak tenang aja, kita akan bantu Mbak, sekarang mau ice cream gak?" Reza menggodanya. Ia tahu wanita yang duduk berhadapan dengannya menyukai ice cream dengan rasa manis.
"Bisaan aja, Lo," ucap Melody. Ia mengangguk cepat, tawaran ice cream di saat suasana hatinya sedang tidak baik memang sayang jika dilewatkan begitu saja. Reza pun gerak cepat, ia membuka ponselnya dan memesan ice cream favorit Melody di sebuah cafe langganannya.
"Udah pesan, Mbak. Seperti biasa, vanila dan greentea," kata Reza menunjukkan ponselnya.
"Makasih Za, kamu tahu aja aku lagi butuh yang adem-adem," ucap Melody tersipu malu.
"Oke, nanti langsung diantar ke sini kok. Gue ke Papa dulu ya, Mbak." Reza berpamitan kepada Melody. Sejatinya ia akan melakukan meeting internal dengan bagian produksi namun sedikit terlambat karena melihat keributan Melody dan Dicky tadi.
"Oke, gue udah kirim balik dokumen untuk Pak Hermawan tanda tangan, Lo cek sekalian ya," pinta Melody sebelum Reza benar-benar keluar dari ruangannya.
Hari ini, Melody memang banyak pekerjaan. Seperti biasa, jari-jarinya lincah bergerak diatas keyboard laptopnya. Sementara itu, Reza dan Hermawan sedang berbincang mengenai proyek Kayana dan Melody tentunya.
"Yang perlu kita khawatirkan sekarang bukan Kayana, Za. Tapi Melody, kalau Dicky terus gangguin dia kan kasian juga," ujar Hermawan.
"Satu-satunya orang yang bisa hentikan ya Pak Panji. Kalau kita bakalan dikacangin, Pa." Reza mengambil kesimpulan dari rentetan peristiwa yang terjadi.
"Kalau begitu, biar Papa yang hubungi. Dicky memang gak ada malunya." Hermawan mengeram kesal. Ia meraih ponselnya untuk menghubungi Panji. Pria yang terkenal dengan pesonanya dan tentu saja kekayaan dari bisnisnya yang menggurita.
Panji sendiri sedang berada di kantor, ia baru saja duduk di meja kerjanya memeriksa setiap dokumen yang diserahkan Joni kepadanya.
"Tumben Pak Hermawan hubungi. Ini Pak," kata Joni sambil menyerahkan ponsel Panji yang berdering.
"Selamat pagi. Pak Hermawan. Apa kabar?" Panji menyapa setelah menggeser tombol hijau bergambar telepon.
"Pagi juga, Pak Panji. Mohon maaf sebelumnya, saya mengganggu pagi-pagi," ucap Hermawan mengawali pembicaraan.
"Tidak masalah, Pak. Bagaimana, ada yang bisa saya bantu?" Panji sudah menangkap dari cara bicara Hermawan jika ia membutuhkan bantuannya.
"Sebenarnya ini ada urusan pribadi yang berimbas pada pekerjaan, saya hanya ingin karyawan saya aman dan nyaman bekerja dengan saya." Hermawan mulai menyampaikan kegelisahannya.
"Oke, kalau soal Dicky, tidak perlu dikhawatirkan. Saya sudah minta anak buah saya untuk memberi peringatan agar tidak mengacau ke kantor Bapak. Baiknya, untuk sementara, biarkan antara kita saja. Melody akan saya beritahu perlahan. Gimana?" Panji memberikan solusi yang Hermawan harapkan. Rupanya jika berhubungan dengan Melody, Panji menjadi lebih peka dan cepat bergerak.
"Oke, terima kasih Pak Panji. Saya juga terima kasih dipercaya untuk pekerjaan di Mojokerto." Hermawan berbinar ketika mengatakan hal itu. Walaupun Panji tidak melihatnya, namun ucapannya sudah menggambarkan kebahagiaan.
"Sama-sama Pak Hermawan, terima kasih juga mempertemukan saya dengan Melody." Panji terkekeh setelah mengucapkan kata-katanya. Ia tahu, Hermawan juga mendukungnya.
"Saya tunggu undangannya," ucap Hermawan sebelum mengakhiri sambungan teleponnya dengan Panji.
Dicky sedang berada di kantornya, ia sedang bermain game di laptop ketika tamu dari Kayana datang mencarinya. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Joni datang bersama satu orang anak buahnya menunggu di ruang tamu kantor instansi pemerintahan itu.
"Pak Joni, apa kabar? Tumben kesini, ada yang bisa saya bantu?" Dicky terkejut ketika tamu yang mencarinya ternyata orang kepercayaan Kayana Group.
"Baik, Pak Dicky. Bisa kita bicara di ruangan yang lebih tertutup?" Joni merasa, menyampaikan pesan dari atasannya akan lebih baik jika disampaikan tanpa orang lain tahu.
"Oke, silahkan masuk ke ruangan saya." Dicky mengajak Joni dan rekannya untuk masuk ke ruang kerjanya.
"Jadi apa yang membuat Pak Joni yang sibuk ini datang kemari?" Dicky mempersilahkan Joni dan rekannya duduk di sofa tamu.
"Saya langsung saja, intinya saya harap anda cukup cerdas menelaah ucapan saya. Mohon tidak mendesak Bu Melody untuk mendanai proyek anda, atasan kami keberatan karena beliau juga sedang fokus mengurus proyek kawasan industri. Seperti yang anda tahu, Bu Melody adalah pimpinan proyek tersebut." Joni cukup tegas dan sopan memberinya peringatan.
"Sepertinya atasan kalian salah paham, kami walaupun sudah tidak memiliki hubungan khusus memiliki kesepakatan mengenai proyek tersebut," ucap Dicky berkilah.
"Kalau anda laki-laki harusnya malu meminta dana kepada wanita anda, apalagi ini bukan pertama kalinya. Yang sebelumnya saja, anda belum mengembalikan. Jadi, saya harap jangan main-main dengan atasan kami. Permisi." Joni memilih pergi dari tempat itu daripada emosinya meledak.