Revan mendengus kesal karena mamanya memintanya, untuk mengantar jemput cewek yang katanya jadi korban tabrakan. Padahal tidak ada yang luka sama sekali di tubuh cewek itu, lantas kenapa dirinya masih harus bertanggung jawab. Mereka semua sangat menyebalkan, seakan-akan dirinya benar-benar menjadi tersangka padahal itu sama sekali tidak benar.
Mau memberontak ataupun melawan tapi tidak bisa ia lakukan, Revan cenderung memendam semuanya sendirian. Walaupun ia sedang sangat kesal, tetapi lebih baik diam dan menjauh dari keramaian saja daripada harus berdebat dengan orang yang membuatnya kesal.
"Kenapa itu muka di tekuk kayak gitu?" heran Reyno melihat kembarannya pagi-pagi sudah menekuk wajahnya.
"Enggak papa." Revan kembali melanjutkan sarapannya.
"Aiss kalau ada apa-apa bilang aja, jangan sungkan-sungkan," bujuk Reyno.
"Tidak, terima kasih." Revan bahkan sangat malas hanya untuk berbasa-basi dengan kembarannya.
"Jangan seperti itu, kita ini saudara kandung jadi harus saling berbagi satu sama lain," ujar Reyno.
"Bukankah tadi aku sudah mengatakan tidak, jadi jangan memaksaku lagi," kesal Revan.
"Revan, jaga sikap kamu," tegur sang papa.
"Sudah-sudah, lebih baik sekarang kita habiskan dulu makanannya," ujar sang mama.
Revan juga tidak akrab dengan papanya, hanya saja dirinya tidak mengatakan secara langsung bagaimana ia tidak menyukai papanya. Selain karena papanya sering membanding-bandingkan antara anak yang satu dengan yang lainnya, masih ingat dengan jelas di benaknya papanya bahkan memarahinya habis-habisan, mengenai kejadian beberapa tahun silam di perusahaan tambang yang menewaskan beberapa sumber tambang.
Bahkan papanya sama sekali tidak mempercayai omongannya dan sibuk menuduhnya ini dan itu. Padahal dirinya tidak tahu apapun mengenai peristiwa naas tersebut, walaupun dirinya juga ada di lokasi kejadian. Tetapi papanya lupa bahwa bukan hanya dirinya seorang yang ada di lokasi, tapi ada mamanya juga dan ada saudara kembarannya juga.
Sampai sekarang kejadian naas tersebut belum terungkap bagaimana faktanya, lantaran papanya menutup kasus tersebut karena menganggap yang menjadi penyebab kecelakaan adalah Revan. Bayang-bayang di mana dirinya dimarahi oleh semua orang, bahkan dirinya juga kehilangan kepercayaan dari keluarganya dan hal itu selalu menghantui hari-harinya.
Revan dengan berat hati berangkat ke rumahnya Ratu, padahal harusnya pagi ini dirinya sudah berada di kantor tapi terpaksa ditunda, karena harus mengantarkan bocil ke sekolah. Hasil dari perundingan kemarin yang menyatakan bahwa hari pertunangan telah ditentukan, Revan tidak bisa menghelak atau mundur lagi. Takutnya nanti keluarganya akan marah lagi padanya, jika dirinya egois dan membuat keluarga malu.
TING TONG TING TONG!!
Revan berdiri di depan pintu utama, sambil menunggu penghuni membukakan pintu untuknya. Mungkin hanya dirinya yang pagi-pagi bertamu ke rumah orang, selama hidupnya belum pernah sekalipun bertamu ke rumah cewek.
CEKLEKKK!!!
"Eh Revan? Ternyata kamu benar-benar datang ke sini?" sapa Nia selaku mamanya Ratu.
"Iya, Tante." jawab Revan.
"Kamu udah sarapan belum? Mama, hari ini masak banyak loh. Kamu jangan panggil saya dengan sebutan tante, sebentar lagi saya akan menjadi mama mertua kamu. Karena kami sudah sepakat untuk menjodohkan kamu dengan Ratu, jadi mulai sekarang kamu harus terbiasa memanggil saya dengan sebutan, Mama." Nia sudah berbicara panjang kali lebar, namun anak muda di hadapannya hanya membalasnya dengan tersenyum.
"Ratu, itu calon suami kamu sudah menunggu di depan. Tadi mama suruh masuk dia enggak mau," panggil sang mama pada anaknya yang baru saja menyelesaikan sarapan.
"Calon suami siapa? Mama, enggak usah ngada-ngada deh. Anak mama ini masih sekolah, belum juga kuliah, belum juga kerja, masa iya udah disuruh nikah, sih?" kesal Ratu.
"Jarang lho ada cowok ganteng, baik, pekerja keras, yang mau jadi calon suami anak petakilan kayak kamu," sindir sang mama membuat Ratu mengerucutkan bibirnya, bisa-bisanya orang tuanya sendiri menjualnya pada seorang laki-laki.
Ratu dengan kesal berjalan menuju pintu keluar, di mana sudah ada laki-laki yang akan mengantar jemput dirinya mulai hari ini selama satu minggu ke depan. Bahkan saking kesalnya, Ratu sampai menabrak bahunya Revan yang berdiri di hadapan pintu. Cewek remaja itu langsung masuk dengan seenaknya ke dalam mobilnya Revan, tanpa perduli kalau belum dipersilahkan masuk.
"Dasar cewek gila," batin Revan.
Seperti biasa Revan tidak sendirian di dalam mobil, selalu ada sopir yang menemaninya ke mana-mana. Sampai saat ini Revan belum diperbolehkan untuk mengendarai mobil lagi, namun itu tidak menjadi masalah besar untuknya. Ratu duduk di pojok kiri sedangkan Revan di pojok kanan. Sebisa mungkin mereka menjaga jarak sejaiuh mungkin, supaya tidak ada interaksi sama sekali fisik maupun nonfisik.
"Aden, apa setelah ini kita langsung pergi ke kantor atau pergi ke lapangan?" tanya sang supir.
"Setelah ini kita langsung pergi ke lapangan saja, takutnya nanti Reyno tidak pergi ke sana," ujar Revan.
Ratu sedikit melirik laki-laki yang duduk di sampingnya, tengah fokus pada handphone di tangannya. Memang kalau dilihat-lihat Revan itu tampan dan keren dalam segi manapun, pantas saja orang tuanya menyukai Revan. Selain tajir melintir laki-laki di sampingnya, juga pekerja keras seperti yang dikatakan orang tuanya.
"Buat apa pergi ke lapangan? Emangnya mau main sepak bola?" tanya Ratu yang kepo.
"Bukan urusan kamu," ketus Revan.
"Yeeuu kan aku cuma nanya aja, mau ngapain ke lapangan? Kalau enggak mau jawab, yaudah aku juga enggak maksa kok," kesal Ratu karena cowok di sampingnya selalu saja membuatnya emosi.
"Lapangan itu bukan tempat main sepak bola, tapi yang dimaksud lapangan adalah pusat pertambangan. Jadi setelah mengantarkan nona ke sekolahan, kami langsung berangkat menuju lokasi pertambangan," jelas sang supir yang mewakili majikannya.
"Lokasi pertambangan? Seperti apa itu?" tanya Ratu.
"Bisa tidak kamu diam saja," tegur Revan membuat Ratu mengerucutkan bibirnya.
Revan memang bukan tipe orang yang suka berbasa-basi dengan orang asing, dirinya lebih menyukai berbicara apa adanya dan langsung pada intinya. Daripada hanya sekedar berbasa-basi atau mencari muka, semua itu hanya membuang-buang tenaga dan waktu saja.
"Hadehh, yang modelan cuek kayak gini masa iya mau dinikahin sama aku? Secara karakternya aja berbeda banget," batin Ratu.
Setelah sampai di area parkir sekolahan, Ratu yang tadinya hendak langsung turun dari mobil, tiba-tiba berhenti sejenak karena sebuah ide jahil terlintas dalam pikirannya.
"Kenapa belum turun?" tanya Revan.
"Katanya kamu menyetujui perjodohan kita, apa benar?" tanya Ratu membuat Revan mengernyitkan alisnya.
"Kenapa bertanya seperti itu?" heran Revan.
"Kalau kamu benar menyetujui perjodohan kita, itu berarti aku akan menjadi tanggung jawab kamu. Nah bagaimana kalau latihan tanggung jawab dari sekarang saja, aku minta uang jajan sama kamu. Sini mana?" pinta Ratu sambil menengadahkan tangannya.
"Ha? Nikah aja belum, udah minta duit dari sekarang. Tidak mau, sana kamu keluar sebentar lagi kelas pasti akan dimulai," suruh Revan.
"Tidak mau, aku akan tetap di sini kalau kamu belum beri aku uang jajan. Biarkan saja kalau aku dinilai bolos sekolah, nanti aku bilang ke orang tua aku kalau kamu tidak mengantarkan aku ke sekolah," ancam Ratu membuat Revan melebarkan matanya, berani sekali si bocil mengancamnya.
"Ini cewek bener-bener gila," batin Revan.
JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE
DAN JUGA COMENTNYA YAAAA
TERIMAKASIH!!