Azura mendengar Pangeran Ansell yang tengah berteriak-teriak. Gadis itu terperanjat ketakutan dengan tingkah Pangeran Ansell.
Sementara itu, Grritos mencoba untuk menenangkan Pangeran Ansell. Lelaki tersebut menepuk-nepuk pundak Pangeran Ansell dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Ya, semuanya akan baik-baik saja. Dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Tak lama kemudian, ketika Pangeran Ansell mulai tenang, Grritos membimbing Pangeran Ansell untuk menuju tempat tidur dan beristirahat.
Barulah dia menengok ke arah Azura yang pucat pasi dan membiru. Grritos menghela napas panjang. "Menyembunyikannya tidak akan menghasilkan sesuatu. Ayo sekarang kita turun saja ke loteng. Aku akan menjelaskan sesuatu kepadamu."
Azura mengangkat sebelah alisnya. Seluruh tubuhnya seolah kehilangan tenaga. Akan tetapi, dia tetap berusaha teguh untuk mengangkat tas jinjingnya, lantas berhenti memandang kamar Pangeran Ansell yang penuh dengan misteri.
Azura diantarkan oleh Grritos untuk ke kamarnya. Kamar Azura berada di loteng. Kamar itu cukup kecil. Hanya ada satu tempat tidur, almari, dan meja belajar saja.
Tetapi beruntungnya, Azura bisa melihat pemandangan di depan. Karena loteng tersebut memiliki jendela kaca. Sehingga, dia bisa melihat pemandangan bagian belakang kerajaan beserta dengan paviliun-paviliun lainnya yang berada di sana.
Azura membuka lemarinya. Sudah ada beberapa pakaian pelayan yang berada di sana. Lantas, dia menutupnya kembali. Beralih kepada meja belajar. Lalu, ia pun membuka lacinya dengan penasaran. Mendapati beberapa catatan berupa notes yang memang dibutuhkan oleh pelayan untuk mencatat sesuatu.
"Ini adalah kamarmu. Kuharap kamu akan betah di sini." ujar Grritos.
Azura memandang ke arah Grritos, seakan baru menyadari keberadaannya karena terlalu sibuk dengan beberapa hal di sana.
Azura hanya mengangkat bahu acuh tak acuh. Dia belum bisa menilai apakah dia akan betah atau tidak. Dia tak tahu.
Semuanya masih teramat absurd baginya.
Azura memandang ke arah Grritos. "Jadi, kapan kamu akan menjelaskannya kepadaku?"
Saat Grritos tampak hendak mengelak, Azura langsung menyambar. "Jangan berpura-pura tidak tahu atau kamu lupa apa yang terjadi barusan."
Grritos menghela napas panjangnya. Percuma dia mengelak kepada sosok Azura yang bertempramen keras.
Oleh karenanya, Grritos berujar. "Wabah horrendum. Bukankah kamu pernah mendengarnya?"
Wabah Horrendum? Pupil mata Azura sedikit melebar.
Wabah Horrendum adalah sesuatu penyakit yang sama, yang juga menimpanya. Penyakit yang entah berasal dari mana, yang menjangkiti beberapa anak-anak seusianya.
"Pangeran Ansell..." Azura menggantungkan kalimatnya. Seketika itulah, Grritos menganggukkan kepalanya. "Ya. Dia terkena wabah horrendum. Dan belum sembuh sejak kemunculannya."
Azura menutup bibirnya sendiri.
Awalnya, Azura adalah penduduk bumi. Lantas dengan kehadiran wabah horrendum, jiwanya ini masuk ke dalam gadis bernama Azura Foster. Dirinya yang berada di bumi, entah bagaimana kabarnya, Azura juga tidak tahu.
Azura tidak mencoba mengingatnya. Pasalnya, itu akan sangat menyakitkan. Maka dari itu, Azura berusaha keras untuk menerima segalanya.
Kerajaaan Arthus yang aneh. Pekerjaannya sebagai pelayan. Dan juga... Nasibnya yang telah berubah total.
Lagipula, Azura memiliki sosok Ayah dan Ibu yang luar biasa. Gabriel yang amat menyayanginya dan juga Isabelle yang lembut penuh kasih sayang.
Jadi apalagi yang Azura butuhkan?
Semua kebutuhan primer dan sekundernya telah terpenuhi. Azura nyaman lahir dan batin. Hanya kurang kebutuhan tersier yang mewah-mewah saja.
Tetapi, semua kebutuhan mewah itu tak dibutuhkan di sini. Dengan segala kesederhanaan.
Tidak ada pola hidup hedonisme yang menggila. Dengan keseharian ke bar atau pun memamerkan kekayaan sebagaimana di bumi.
Untuk itu, Azura cukup tenang hidup di Kerajaan Arthus.
Tetapu tampaknya, itu sangat berbeda bagi Pangeran Ansell.
Sepertinya, kehidupannya di masa lalu cukup menyenangkan. Sehingga dia tak bisa terlepas dari kehidupan pada masa lalunya.
Sialnya, ketika seseorang tidak bisa merelakan kehidupan masa lalunya, mereka akan mengalami serangan yang parah.
Azura tahu sendiri karena dia juga pernah mengalaminya. "Kapan dia mengalami serangan mengerikan seperti itu, Tuan Grritos?"
Tuan Grritos berdeham lama. Dia berpikir. "Entahlah. Tidak pasti. Kadang bisa siang atau malam. Atau juga ketika pagi, pada saat Pangeran Ansell bangun tidur."
Azura mengangguk. Ini sama persis dengan yang dialaminya.
Terkena serangan di pagi hari. Tak menerima kenyataan kalau dia berada di dunia antah berantah yang asing.
Entah sebuah kegilaan apa, Azura mendadak berujar dengan lantang dan berani. "Biarkanlah aku untuk membantu Pangeran Ansell."
Grritos kaget. "Membantu? Kamu akan membantu apa?"
"Entahlah. Aku akan membantu sebisa yang akan kulakukan."
Grritos bertanya-tanya. "Apakah kamu bisa menghadapinya sedangkan aku saja kesusahan dalam menghadapinya?"
"Aku juga tidak tahu. Tetapi, izinkanlah aku untuk membantu Pangeran Ansell."
"Tetapi aku tidak yakin dia mau bertemu dengan orang asing."
Azura bersikeras. "Setidaknya, izinkanlah aku bicara dengannya. Aku yakin, aku pasti bisa."
Keyakinan Azura yang membara membuat Grritos tak bisa berkata-kata, meski sejatinya dia bertanya-tanya.
Apakah Azura bisa menenangkan Pangeran Ansell?
Tidak ada yang tahu jawabannya.
* * *