Azura Foster bersama dengan Grritos memasuki sebuah ruangan yang cukup gelap. Kedua orang tersebut berada di dalam kamar Pangeran Ansell. Jendela kamar Pangeran Ansell masih tertutup rapat. Hanya sedikit saja cahaya yang masuk, tembus dari tirai-tirai korden berwarna biru gelap.
Azura mengembuskan napasnya. Jantungnya tak bisa dikendalikan. Dia berjalan di belakang Grritos. Mengandalkan Grrritos untuk berjalan lebih dulu di depannya.
"Apakah Pangeran Ansell sudah bangun?" bisik Azura takut-takut.
Grritos menggelengkan kepalanya, "Belum."
Di saat itulah, tiba-tiba muncul sebuah pergerakan di atas tempat tidur!
Azura menelan ludahnya. Jantungnya makin bergetar. Mau copot dari tempatnya. Azura menajamkan indera penglihatannya, terfokus kepada sosok di atas tempat tidur.
Azura membayangkan … beberapa detik lagi, Pangeran Ansell akan bangun … dan dia akan … menatap ke arahnya! Lalu… lalu… dia akan menggigitnya! Awrgh!
Azura menggelengkan kepalanya. 'Astaga, memikirkan apa aku ini. Kenapa aku memikirkan seperti itu? Kan, Pangeran Ansell bukan seorang vampir! Dia hanyalah orang yang mengidap wabah Horrendum!'
Azura membuyarkan segala pemikiran aneh yang menjangkiti kepalanya. Azura memegangi lengan Grritos, saking takutnya!
"Aduh. Aku takut." bisik Azura.
Grritos mendengus. "Bukankah kamu kemarin mengatakan hendak mengobati Pangeran Ansell?"
Azura mencemberutkan bibirnya. Dasar! Dia sengaja membuat Azura sebal seperti ini.
Tak berapa lama kemudian, Pangeran Ansell pun duduk dari tempat tidur. Tatapnya kosong. Seakan manusia tak bernyawa. Cangkang tanpa isi.
Di saat itulah, Grritos datang dan mendekat. Mengatakan kepada Pangeran Ansell, "Pangeran Ansell, Azura datang kepada Pangeran. Dia adalah pelayan yang diberikan oleh Raja untuk Pangeran Ansell."
Pangeran Ansell yang semula bertatapan kosong, balas menatapGrritos. "Kamu membawa siapa?"
Lelaki tersebut mendongak. Dia menatap ke arah Grritos. Wajahnya pucat pasi. Lalu, ada kantung mata yang menghitam di bawah matanya. Bukan hanya itu, bibirnya sedikit membiru. Dengan tubuh yang cukup kurus.
Dia … seperti mayat. Yang hidup dan diberi nyawa.
Itulah yang pertama kali berada dalam pikiran Azura.
'Aku … aku harus mengurus pangeran ini?'
'Mimpi apa aku?'
Ketika Azura masih berada dalam lingkup ketakutan, Grritos pun mengatakan. "Dia akan membantu kegiatan Pangeran Ansell sehari-hari, namanya adalah Azura."
Tiba-tiba saja, Pangeran Ansell berteriak. Lelaki itu berteriak dengan sangat amat keras! "Aku tidak mau ada orang lain! USIR DIA!"
Azura terperanjat. Gadis itu mundur dan kaget bukan kepalang dengan teriakan yang berasal dari Pangeran Ansell.
"Pangeran Ansell! Tenanglah! Dia akan menjadi pelayanmu!" teriak Grritos.
Pangeran Ansell kembali kalap. Lelaki itu berteriak, memberontak, menarik selimut, melempar-lemparkannya kepada Azura.
"CEPAT PERGI, AZURA! CEPAT!!"
Azura menganggukkan kepalanya. Dia yang semula terperanjat kaget, gadis itu segera mundur, dan berlari tunggang langgang. Secepat mungkin. Entah bagaimana pun caranya. Dia harus pergi!!
Saking takutnya Azura dengan respon yang datang dari Pangeran Ansell, gadis itu sampai keluar dari wilayah Paviliun Pangeran Ansell. Berada di belakang istana.
"Sekarang …"
Napas Azura terengah-engah. Perempuan itu memandang ke sekeliling. "Aku harus … "
"Aku harus kembali … atau aku harus …" gumuam Azura di sela-sela napasnya.
"Aku harus kembali?"
* * *
Manakala Azura hendak kembali, dia memutarbalikkan tubuhnya. Di belakangnya, muncul seorang lelaki berusia 20 tahun. Lelaki tersebut sangat tampan. Matanya hitam gelap. Rambutnya juga berkilauan. Dia memiliki hidung mancung dan juga rahang yang tegas.
"Hei, sepertinya kamu tersesat." katanya. Lelaki itu memberikan seulas senyuman yang sangat menyenangkan. Bahkan, Azura meringis. Karena malu.
"Tidak."
Lelaki tersebut mengamati Azura dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Aku baru pernah melihatmu. Kamu baru di sini? Dari Paviliun mana?"
"Aku … "
Azura ragu untuk berkata-kata. Gadis itu melihat ke arah Paviliun Pangeran Ansell. Pasti Grritos mencarinya. Akan tetapi … Azura memandang ke lelaki tampan tersebut. Dia pun mengulurkan tangannya. "Perkenalkan, aku Parker."
"Ha, halo…" Azura menunduk malu. Dia menyalami Parker dengan penuh kebimbangan.
Dari tampilannya, lelaki ini jelas kaum bangsawan. Apakah, pelayan sepertinya boleh berbicara dengan Parker?
Saat Azura hendak undur diri, pamit dari hadapan Parker, lelaki itu malah mengatakan. "Bagaimana kalau kita berjalan-jalan mengelilingi taman sejenak?"
Azura menatap ke arah Parker. Lalu, dia kebingungan. Akankah Azura harus menerima ajakan Parker? Atau … dia menolaknya?
* * *
Melihat kesungguhan Parker, Azura mendadak mengiyakan. Gadis itu juga mau berjalan-jalan sesekali. Di dunia ini. Di taman yang disebut Parker.
Dengan senyuman di bibirnya, Azura pun berkata. "Ayo, Tuan Parker. Ajak aku ke taman yang kau sebut tadi."
Parker turut tersenyum. Dia berjalan ke sisi paviliun yang lain. Di tengah-tengah jajaran paviliun tersebut ada sebuah taman. Taman tersebut adalah kumpulan bunga-bunga yang disusun rapi dengan air mancur di tengah-tengahnya.
Sangat … cantik. Dan juga elegan.
Mereka berdua berkeliling di taman. Menapaki setapak-setapak taman yang putus menyambung, pijakan yang beralaskan rumput kecil-kecil yang lembut. Di taman tersebut terdapat banyak sekali kupu-kupu. Yang begitu cantik.
Sembari berjalan, Parker mengajak Azura berbicara.
Lelaki itu memiliki binar mata yang cerah pada saat berbicara. Bahkan, nadanya sangat menyenangkan. Aura positif, keanggunan, dan kemuliaan tersirat dalam setiap ucap Parker.
"Begitu menyenangkan untuk menjadi kupu-kupu. Bisa terbang bebas ke mana pun yang kamu inginkan. Iya, bukan?" tanya Parker kepada Azura.
Azura berpikir sejenak. Gadis itu pun mengucapkan. "Kurasa … tetap lebih menyenangkan menjadi manusia."
"Kenapa?"
"Manusia memiliki akal pikiran, sementara kupu-kupu tidak."
Parker tertawa. "Hahaha. Akal pikiran? Apakah anak-anak yang terjangkit wabah horrendum juga memilikinya?"
Azura menelan ludahnya. Parker tertawa, meski itu sama skeali tak lucu. Bahkan, itu cukup menyakitkan bagi beberapa orang yang masih berkemelut, melawan dirinya dari kungkungan pikiran efek samping wabah horrendum yang memang tak main-main.
Untuk itulah… Azura hanya meringis, "Entahlah… Aku tidak berpikir kalau sosok yang terjangkit wabah horrendum ini sebagai penyakit atau sesuatu yang memalukan. Justru… kita harus menerimanya. Maka, mereka pun akan kembali."
Parker hanya menggedikkan bahunya. Dia pun menatap ke arah Azura dengan lekat. "Ternyata, untuk gadis seusiamu, kamu memiliki cukup banyak ilmu. Senang bertemu denganmu."
Azura pun mengangguk. Ia tersenyum lagi. "Senang bertemu denganmu, Tuan Parker."
Di saat itulah, ada sebuah suara yang memanggil. "Pangeran!!"
Azura menoleh ke arah sumber suara. Seorang lelaki datang tergopoh-gopoh kepada mereka.
Dan dia … datang kepada Parker.
Lelaki tersebut pun dengan jelas mengatakan. "Ya ampun. Sejak tadi aku mencari Pangeran Parker. Ternyata … Pangeran ada di sini."
Azura terkesiap. Apa? Pangeran?
Jadi … orang yang sejak tadi dia ajak bicara adalah seorang Pangeran?!!!
* * *