Azura membuka matanya. Gadis itu melihat ke sekelilingnya. Ia menemukan dirinya berada di tempat yang jauh berbeda, layaknya bukan tempat tinggalnya dulu.
'Tidak. Ini memang bukan ada di bumi.' gumam Azura.
Ia beringsut dari tempat tidurnya, memandangi sebuah cermin besar yang memantulkan wajahnya. Seorang gadis cantik berkulit putih pucat, dengan rambut berwarna biru sepundak.
'Ini juga bukan diriku.'
Mendadak, rasa nyeri bukan kepalang memukul-mukul kepala Azura. Gadis itu mengerang, sampai akhirnya dia berjongkok, memegangi kepalanya sendiri yang mau pecah.
Isabelle dan Gabriel segera menemui anaknya yang meraung kesakitan di dalam kamarnya. Suara kedua orang tua Azura teredam, tak mampu teraih oleh telinga Azura. Akibat suara-suara denging panjang yang merajam telinga gadis itu.
Setetes air mata turun dari sudut mata Azura. Gadis itu tak mampu menahan rasa nyeri ini. Semuanya terasa menakutkan. Semuanya mengerikan.
Hidup di dunia yang baru, mengetahui seisi orang mengenalnya, akan tetapi itu hanyalah sebuah kepalsuan.
Azura menjalani hidup sebagai orang lain.
Ini bukan dirinya. Ini bukan dia!!
Azura berteriak, melampiaskan rasa sakitnya. Sampai kedua orang tuanya panik dengan keadaan Azura.
"Azura, Azura… Tenanglah…" Isabelle memeluk Azura penuh kasih sayang, mencurahkan setiap kehangatan di tiap belainya.
Gadis mungil itu menangis di sana. Berangsur-angsur dia tenang… Sampai akhirnya… Azura tertidur di pelukan Isabelle.
Gabriel membopong puteri manisnya ke atas tempat tidur, menyelimutinya.
Mereka berdua keluar dari kamar Azura, berbincang dengan wajah suram.
Gabriel menghembuskan napas panjang, perpaduan antara rasa lega sekaligus muram. "Bagaimana jika seperti ini terus menerus? Apakah anak kita bisa gila?"
"Tentu tidak, Suamiku. Aku yakin, Azura bisa melewatinya. Dia adalah anak kita. Dia adalah anak yang kuat."
Isabelle mengingat sosok Azura yang dulu.
Azura Foster dikenal sebagai anak yang periang. Di manapun ia berada, gadis itu selalu menyunggingkan sebuah senyuman bahagia. Dia suka sekali pergi berjalan-jalan ke ladang bunga, memetiknya, lantas merangkai bunga untuk menjualnya kembali.
Itu seakan sudah menjadi rutinitasnya untuk menyambung kehidupan yang sulit dalam kemiskinan ini.
Hingga suatu ketika, Azura pulang dari ladang bunga dengan sendu. Ia menangis, tak menceritakan kepada siapapun alasannya. Sampai akhirnya, dia terserang demam dan tak sadarkan diri.
Selayaknya beberapa remaja di sana, tanpa diduga Azura juga mengalami hal yang sama. Terjangkit wabah Horrendum.
"Apakah dia mampu datang ke kerajaan dan menjadi pelayan di Kerajaan?" tanya Gabriel memandangi pintu kamar puterinya.
Isabelle menggelengkan kepalanya, dengan lemah dia menjawab. "Aku juga tidak tahu … Kita harus berharap kalau Sang Tabib akan datang dan membawa obat untuk Azura."
* * *
Pada malam itu, Azura terbangun. Ia sudah mulai untuk memahami situasi. Ia sudah memahami dirinya sendiri.
Gadis itu tercenung, dia mencoba untuk membuka bilik-bilik ingatannya, tetapi sia-sia. Dia tak menemukan apa-apa, kecuali sebuah ingatan samar yang gelap. Beserta dengan kekelaman tertentu.
Azura menghela napas panjang. 'Baiklah kalau begitu… Aku akan mencoba melupakan masa laluku.'
Gadis itu keluar dari kamarnya, terlihatlah sosok lelaki dan perempuan paruh baya. Tampaknya itu adalah orang tua Azura. Sang lelaki tersenyum melihat Azura.
"Kamu sudah membaik? Bagaimana keadaanmu?"
"Azura, lebih baik kamu makan terlebih dahulu. Kamu lapar, bukan?"
Azura mendadak menganggukkan kepalanya. Setetes air matanya turun dan meluruh. Entah mengapa … dia menangis. Gadis itu menangis karena rasa sedih yang seenaknya muncul.
Azura berjalan, dia dipeluk penuh kasih sayang oleh Ibunda tercinta, Isabelle. Padahal, dia sudah remaja. Biasanya, anak seumuran dia pasti akan malu apabila dipeluk oleh ayah atau ibunya sendiri.
Akan tetapi … kenapa Azura merasakan kenyamanan yang tiada terkira di sana?
Tiba-tiba saja, dia mempertanyakan dalam hati. 'Apakah dulu … kehidupanku di bumi juga menyenangkan seperti ini?'
* * *
Azura melaksanakan makan siang bersama dengan Gabriel dan Isaballe. Gadis itu tak henti-hentinya terharu dengan kenikmatan makanan yang memanjakan lidahnya. Seakan dia baru saja hidup kembali.
Bibirnya pun berucap, "Aku bersyukur bisa bersama Ayah dan Ibu lagi."
Mendadak, Gabriel dan Isabelle memandang lurus ke arah Azura. Sang Ayah pun ingin mengajukan tanya kepada Azura. Dia khawatir dengan kondisi puterinya.
Padahal, baru saja tadi siang anaknya terkena serangan. Kini, dia baik-baik saja? Apakah itu wajar?
Dengan demikian, Gabriel pun bertanya kepada Azura. "Nak, apakah kamu sudah bisa menerimanya?"
Azura menjengitkan alisnya. Dia tidak mengerti. "Maksud Ayah?"
"Anakku sayang, kamu saat ini sedang sakit. Apakah kamu merasa baik-baik saja saat ini?"
Azura memeriksa kondisinya secara penuh. Rasanya, dia baik-baik saja? Dia tidak terluka? Apanya yang sakit? Oleh karena itu, Azura buru-buru menggelengkan kepalanya mantap. "Tidak, Ayah. Aku baik-baik saja."
"Kalau begitu, izinkanlah Ayah mengatakan sesuatu kepadamu."
Audrey menelan ludahnya. "Apa yang akan Ayah katakan?"
"Kamu … Akan menjadi seorang pelayan di Kerajaan Arthus."
Azura baru saja ingat kepingan kenangan beberapa saat yang lalu. Tatkala dia bangun dan mendengar sebuah cerita. Gadis itu membeliak lebar.
"A, apa? Aku akan menjadi seorang pelayan?"
Gabrielle menganggukkan kepalanya. "Ya. Kamu akan menjadi seorang pelayan. Besok, kerata kencana akan datang menjemputmu."
Azura membelalak tak percaya. Bagaimana mungkin, seseorang yang baru saja sembuh (bahkan masih belum stabil kondisinya) menjadi seorang pelayan di Kerajaan?! Apakah Kerajaan ini sekonyol itu?!
* * *
Kalian tahu, terkadang waktu berjalan sangat menyakitkan. Waktu akan berjalan begitu cepat ketika seseorang menikmati ritmenya, menyukai sebuah keadaan, dan tenang di dalamnya.
Dan ketika seseorang berharap waktu berlalu dengan cepat, maka waktu dengan kejamnya berjalan lambat.
Azura menghela napas panjangnya. Di saat ini, gadis itu tak mau waktu bergulir cepat. Dia tak mau berpisah dengan Isabelle dan Gabriel, sebelum dia benar-benar mengenalnya.
Gadis itu tidak mau menjadi seorang pelayan di usianya yang belia. Yang pertama, karena dia tidak tahu bagaimana dunia luar yang sesungguhnya. Dia adalah individu baru di dunia antah berantah ini. Bahkan, Azura beberapa kali berpikir kalau dirinya itu bermimpi. Ketika dia bangun, dia akan kembali lagi ke bumi, tempatnya berada.
Alasan berikutnya, Azura tidak tahu tugas pelayan. Dia juga tak pernah menjadi pelayan sebelumnya.
Akan tetapi, bagaimana pun Azura berusaha, dia akan kembali ke rotasi waktu. Cepat atau lambat … Dia akan berangkat ke Kerajaan Arthus.
Sangat berat bagi Azura untuk pergi ke Kerajaan Arthus. Gadis itu bahkan belum merelakan tiap jengkal waktu yang ia habiskan di rumahnya.
Akan tetapi, waktu memang kejam bukan?
Azura menghela napas panjangnya.
Setiap hidup adalah perjuangan. Keluar dari zona nyaman salah satu pilihan yang cukup baik
Dia meneguhkan hatinya sendiri. "Toh, aku juga akan bertemu dengan sosok baik di Kerajaan Arthus."
"Pasti." gumam Azura penuh dengan rasa positif.
* * *