Pada pagi itu, Isabelle mengetuk pintu kamarnya dengan pelan. Sang Ibunda duduk di tepi ranjang Azura. Dia mengelus lembut rambut pendek Azura. "Nak, hari sudah siang. Mau sampai kapan kamu berada di sini?"
Azura memandang ke arah Isabelle. Dia menunduk dalam. Lantas menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu, Ibu. Berat rasanya meninggalkan Ayah dan Ibu."
"Azura … Kamu adalah anak yang kuat. Kamu sudah sembuh dari wabah. Kamu siap untuk keluar dari rumah. Ini adalah panggilan kerajaan supaya kamu bisa bekerja. Apa yang membuatmu ragu?"
Azura menatap iris mataSang Ibunda. "Ibu, tidak bisakah aku berada di sini saja? Aku bisa membantu Ibu bekerja. Atau aku bisa kembali ke rutinitasku yang dulu…"
Isabelle menggelengkan kepalanya. "Kerajaan telah memanggilmu. Ibu tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menerimanya."
Azura merunduk dalam. Kesedihan tersemat di dalam paras cantiknya.
"Tidak apa-apa, Azura. Awalnya, ini pasti berat bagimu. Berat meninggalkan rumah. Akan tetapi, lama kelamaan, kamu pasti akan terbiasa."
Gabriel menyembulkan kepalanya, masuk ke dalam kamar Azura. Lelaki itu turut merangkul Azura dengan penuh kasih sayangnya. "Azura, bagaimana kalau kita keluar? Semua barangmu sudah siap. Kita harus segera berangkat."
Azura mendongak, memandang lurus ke arah Gabriel. Nadanya berubah manja. "Apakah aku harus berangkat sekarang, Ayah?"
Gabriel menganggukkan kepala. "Mmm. Kamu harus berangkat sekarang. Kamu akan dijemput oleh pihak kerajaan beberapa saat lagi."
Azura menghela napas panjangnya. Perasaan sedih tak tertahankan melesak ke dalam dirinya. 'Kenapa aku cengeng sekali? Apakah aku memang secengeng ini?'
Dengan perlahan, Azura dibimbing oleh kedua orang tuanya untuk keluar dari kamarnya.
Belum genap Azura keluar dari kamarnya, suara kereta kuda sudah datang. Dia pun bertanya dengan hati-hati, "Apakah itu jemputanku?"
Saat itulah, Gabriel dan Isabelle tersenyum dengan pias. Dan Azura merasa senyuman itu adalah pertanda jawaban iya. Hati Azura serasa mau pecah.
* * *
Sosok gagah Flint Roderick datang dengan kuda berwarna hitam. Ia mengenakan pakaian kerajaan berwarna merah, dengan jubah yang berkibar warna hijau. Ketegasannya menguar sempurna dari wajahnya.
Lelaki itu menghadap tegas ke arah Gabriel dan Isabelle, tanpa ampunan. "Bagaimana? Apakah anak kalian sudah siap untuk pergi?"
"Seperti yang Tuan Roderick lihat." tutur Gabriel sembari memandang ke arah Azura yang sudah berdiri di depannya.
Mata Flint tertuju kepada satu tas jinjing besar, kemungkinan berisikan pakaian ganti Azura. Flint mendengus. 'Yah, setidaknya mereka sudah siap.'
"Kalau begitu, kita berangkat sekarang." tegas Flint tanpa memberikan jeda.
Azura mengangguk, gadis itu menyalami kedua orang tuanya. Tak lupa, dia juga berpelukan kepada mereka untuk terakhir kalinya. Ia tak tahu kapan lagi akan kembali ke rumah setelah ini.
Sementara itu, Gabriel dan juga Isabelle juga memeluk Azura. Sulit rasanya melepaskan anak mereka. "Berhati-hatilah, Nak."
Azura mengiyakan. "Aku akan berusaha untuk datang dan pulang di hari liburku."
"Tenang saja, kamu tidak usah khawatir. Jangan pernah dipaksakan, Nak." Gabriel mengelus rambut Azura. Hal itu membuat Azura meleleh.
Ia tak ingin pergi…
Mata Azura berkaca-kaca. Berat. Dadanya berat. Terasa berat sekali. Mata Azura sudah memanas. Air matanya bisa lolos begitu saja.
Dengan segala kesedihan yang tersirat di antara mereka, Flint mendesis kejam. "Tidak usah banyak berdrama. Cepatlah masuk ke dalam kereta kencana."
"Sudah, Nak… Ayo masuk ke kereta kencana." tutur Gabriel.
"Ayo, Ibu dan Ayah antar ke depan." tambah Isabelle.
Akhirnya, Azura keluar dari rumahnya. Dia keluar dari rumahnya untuk pertama kalinya. Dan untuk pertama kalinya juga, dia masuk ke dalam kereta kencana. Gabriel membantu Azura memasukkan satu tasnya ke dalam kereta kencana.
Flint menaiki kuda hitamnya, yang terpisah dari kereta kencana.
Tak lama kemudian, kereta kencana tersebut pun melaju.
Azura menengok ke belakang. Ia melihat Gabriel dan Isabelle masih berada di belakang sana. Mereka berdua melambaikan tangan kepada Azura, lantas saling berpelukan, melepaskan Azura penuh dengan kesedihan.
Batin gadis itu mencelos. Ia akan memulai sebuah petualangan baru. Ke sebuah tempat yang asing dan entah berada di mana. Ke arah Istana Kerajaan Arthus.
* * *
Sepanjang perjalanan, Azura menilik ke luar. Gadis itu melihat kemiskinan terhampar. Anak-anak dengan pakaian kumal dan kotor. Mereka berlarian gembira seakan tanpa masalah. Padahal, kebahagiaan mereka adalah sebuah ilusi. Kemiskinan melekat dalam diri mereka.
Rumah-rumah di sana berjajar dengan kumuh. Dipenuhi dengan sisa kubangan air dari sisa hujan.
Setiap kali roda kereta kencana lewat, sisa kubangan itu terciprat ke sekelilingnya.
Azura meringis, kengiluan menjerat hatinya. Cooper, Sang Kusir berkomentar mendengar desisan Azura yang muncul tanpa sengaja. "Aku mendengar dari Tuan Flint Roderick, kamu baru saja terkena wabah Horrendum?"
Gadis itu melirik ke arah Cooper. Dia melirik ke spion di tengah kereta kencana. "Ah … Rupanya Tuan sudah tahu."
"Cooper." Dia mengoreksi namanya.
"Baiklah, Tuan Cooper."
"Cooper saja. Kita sama."
"Baiklah, Cooper." ujar Azura menurut. Meskipun dia sedikit risih. Hal ini diakibatkan umur mereka yang terpaut cukup jauh. Tetapi, dia seenaknya sendiri meminta Azura memanggilnya 'Cooper' begitu saja. Aslinya, Azura mau menolak. Tetapi mau bagaimana lagi? Dia memilih untuk menghindari konflik.
Cooper mengangguk, tampak senang dengan panggilan dari Azura. "Nah, bagus. Panggil aku begitu."
"Baik, Cooper." ujar Azura. Bibirnya masih saja kelu.
"Jadi, bagaimana rasanya terkena wabah? Apakah kamu benar-benar hilang ingatan?" tanya Cooper kepada Azura. Dan jelas sekali, pertanyaan Cooper membuat Azura kian tak nyaman.
Bisa tidak sih, tidak usah menyinggung privasi orang?
Azura sangat kesal dengan Cooper. Azura tahu kalau Tuan Cooper adalah seorang lelaki hebat yang sudah berkeliling daerah karena profesinya sebagai kusir.
Tetapi, itu bukan berarti dia bisa sombong!
Dan lagi, Azura juga tak menyukai ekor mata Cooper yang berkali-kali menatap pahanya. Terlihat sekali kalau dia adalah lelaki yang mesum!
'Cih! Lelaki biadab!' batin Azura kesal.
Azura mengabaikan seluruh kalimat yang melesak dari bibir Cooper. Ia membiarkan lelaki itu untuk berbicara seorang diri saja. Sesekali, Azura menanggapi, pun tidak banyak. Gadis itu lebih banyak melemparkan pandangannya ke luar kereta kencana, mengamati betapa menyedihkannya kemiskinan yang menggelepar di Kerajaan Arthus.
Beberapa menit berlalu, kereta kencana tersebut sampai di depan Kerajaan Arthus. Azura turun dari kereta kencana, mengeluarkan tasnya. Gadis itu memandang jauh ke arah istana di depannya.
Di depan sana, ada sebuah istana. Tempat yang nantinya akan menjadi tempatnya pulang. Tempat yang akan menjadi setiap embus napasnya. Nadinya. Menaungi tangisnya dan rasa senang dalam dadanya.
"Apakah... aku akan betah di istana ini?" tanya Azura menggantung.
* * *