"Bagaiman kalau kita bersenang-senang malam ini? Bukankah ini malam pertama kita?" Lucas menyeringai menatap Ellena. Dia ingin melihat seperti apa reaksi wanita di hadapannya saat ini.
Ellena membulatkan mata dengan sempurna, ketika mendengar ucapan Lucas. Wajahnya seketika menegang, tangannya pun terlihat gemetar.
"Ha-ha-ha!" Tawa Lucas menggema di ruang kamar hotel itu. 'Ternyata Ellena benar-benar wanita yang sangat polos,' pikirnya.
"Kenapa kau terlihat sangat gugup, Elle?" Lucas masih belum berhenti menggoda Ellena. Padahal, sudah terlihat cukup jelas, jika Ellena sangat ketakutan.
"Pak, saya mohon, jangan lakukan itu kepada saya." Ellena sama sekali tidak berani menatap Lucas.
"Memangnya apa yang akan aku lakukan kepadamu, Elle? Apa yang sedang kau pikirkan, ha?"
Ellena makin dibuat gugup oleh Lucas. Dia seakan kehabisan kata-kata menghadapi pria di hadaannya itu.
Lucas memang pandai sekali membalikan keadaan dan memutar-mutar pembicaraan, sehingga membuat Ellena terkesan seperti orang bodoh, ketika sedang berada di dekatnya.
"Kenapa diam? Apa kau berharap kita akan tidur dalam satu ranjang dan—"
"Tidak, Pak! Saya akan tidur di sofa saja." Ellena kemudian mengambil satu bantal dan berlari menuju sofa.
Walau bagaimanapun, secara hukum dan agama Lucas adalah suami sah bagi Ellena. Pria itu berhak atas apa pun yang dimiliki oleh Ellena. Hanya saja, mereka telah terikat perjanjian, sehingga tidak bisa berbuat seenaknya, baik Lucas maupun Ellena. Kendatipun begitu, Ellena tetap khawatir jika Lucas akan melanggar perjanjian itu.
Lucas makin tertawa melihat tingkah Ellena. 'Sepertinya Dia akan menjadi mainan baru untukku' batinnya saat itu.
Sementara itu, setelah mendaratkan tubuhnya di atas sofa, Ellena mencoba untuk kembali mengatur napasnya yang sedikit tersengal-sengal. Ternyata menghindari kegilaan Lucas membuatnya cukup merasa kelelahan.
"Dasar pria gila!" umpat Ellena dengan sangat kesal.
"Ya Tuhan, kenapa aku harus dipertemukan dengan pria seperti itu. Kesalahan apa yang pernah aku perbuat di masa lalu? Baru beberapa jam tinggal satu kamar dengannya, sudah membuatku gila. Bagaimana jika harus tinggal beberapa bulan? Akh, bisa-bisa aku mati di usia muda," desis Ellena seraya mendesah frustrasi.
Ellena mengembuskan napas berat, kemudian membaringkan tubuhnya di atas sofa berukuran panjang. Dia mencoba memejamkan matanya secara perlahan, berharap malam ini bisa tidur dengan nyenyak.
"Ayolah, Sayang, jangan takut! Aku akan melakukannya dengan lembut. Aku akan membawamu melayang di atas Nirwana. Membuatmu merasakn nikmatnya surga dunia."
"Ja-jangan, Pak! Jangan lakukan itu, saya tidak mau! Bukankah, kita sudah berjanji untuk tidak melakukannya?" Ellena terduduk, lalu berusaha menghindari Lucas yang berjalan makin mendekat ke arahnya.
Lelaki itu tidak mengenakan pakaian. Dia hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya.
Ellena makin menggeser tubuhnya ke ujung sofa dengan wajah yang terlihat sangat ketakutan.
"Pak Lucas, saya mohon ... jangan, Pak! Jangan lakukan itu pada saya!" Ellena makin panik saat Lucas sudah berdiri tepat di hadapannya. Tampak keringat yang bercucuran di pelipis kanan dan kiri. Bahkan, matanya pun sudah mulai berkaca-kaca menahan tangis.
"Kenapa, Elle? Bukankah kita adalah sepasang suami-istri yang sah? Persetan dengan perjanjian itu, aku sangat menginginkanmu sekarang juga, Elle!" Lucas menatap dengan penuh gairah.
"Tidaaak!" jerit Ellena seraya menghindari Lucas yang baru saja akan menindihnya, hingga dia mengaduh karena terjatuh dari sofa.
"Aauuw!" rintih Ellena seraya memegangi pantatnya yang terbentur lantai cukup keras.
"Hei! Kau berisik sekali, tidak bisakah kau tidur dengan tenang?"
Suara barithon seketika membuat Ellena terlonjak, lalu menoleh ke sumber suara. Namun, dia makin terkejut saat menyadari Lucas yang tengah berbaring di atas tempat tidur dengan selimut yang menutupi setengah badannya.
Ellena sedikit terperangah, lalu menyeka keningnya yang sedikit basah karena keringat. Dia masih bingung kenapa tiba-tiba Lucas berada di tempat tidur, bukankah tadi pria itu mengejarnya? Batin Ellena mulai bertanya-tanya.
"Atau jangan-jangan ...." Ellena menggantung ucapannya. "Atau jangan-jangan itu hanya mimpi?" lanjutnya kemudian.
"Ya Tuhan, mimpi macam apa itu? Tidak adakah mimpi yang lebih indah, selain bertemu dengan pria gila itu?" bisik Ellena kesal.
"Cepatlah tidur, jangan mencoba menggangguku!"
Lagi-lagi suara Lucas membuat Ellena tersentak. "Baik, Pak. Maaf."
"Untunglah hanya mimpi," bisik Ellena seraya menetralkan kembali perasaannya.
Ellena hendak segera bangkit dari tempat duduknya. Namun, tiba-tiba dia terkejut menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda pada dirinya.
"Bukankah tadi aku tidak memakai selimut? kenapa sekarang tiba-tiba aku memakai selimut?" Ellena menatap sebagian tubunya yang terbungkus sempurna oleh selimut tebal berwarna putih.
Dengan panik, Ellena sedikit menyingkap selimut itu, memengintip tubuh bagian bawahnya. Seketika dia bernapas lega, ketika menyadari masih memakai pakaian lengkap, tanpa ada yang kurang sedikit pun.
"Huh, syukurlah ... tidak terjadi apa-apa." Ellena mengembuskan napasanya secara perlahan.
Namun, dia masih bingung siapa yang sudah berbaik hati menyelimuti tubuhnya? 'Apakah itu Lucas?' gumamnya dalam hati.
Ingin mengelak pun rasanya tidak mungkin, karena tidak ada orang lain selain dirinya dan Lucas di kamar itu.
Ellena kemudian mengambil segelas air minum di atas meja yang terletak di samping sofa. Dia meneguk air minum itu tanpa jeda, membiarkannya mengalir ke tenggorokan untuk menghilangkan rasa dahaga. Setelah itu, dia kemudian membaringkan tubuhnya kembali.
Ellena melirik jam yang menggantung di dinding ruanagn itu. Waktu menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Namu, mata Ellena seakan enggan untuk terpejam lagi. Dia pun mengubah posisi dari terbaring menjadi duduk.
Dia Kemudian mengambil ponsel miliknya yang terletak di atas meja, tepat di samping gelas air minum itu. Ellena segera memeriksa ponsel itu. Betapa dia sangat terkejut saat mendapati begitu banyak panggilan tidak terjawab. Dia hampir lupa bahwa seharian ini sengaja mematikan dering dan getar ponsel itu.
50 panggilan tak terjawab dan 20 pesan belum terbaca yang tertera di layar ponselnya. Dia segera membuka notifikasi itu, lalu terbelalak saat mendapati nama kontak Keenan yang telah memanggil dan mengirim pesan kepadanya berulang kali.
"Ya Tuhan, dia pasti sangat khawatir denganku," lirih Ellena seraya membaca sederet pesan yang dikirim Keenan untuknya.
My Keenan :
'Sayang, kau kemana saja?'
'Kenapa seharian ini tidak mengangkat telepon dariku?'
'Sayang, apa kau baik-baik saja?'
'Kenapa kau tidak membalas pesan dariku?'
'Sayang, aku khawatir. Apa yang sebenarnya terjadi padamu?"
'Sayang ....'
'Sayang .....'
'Sayang ....'
"Huh! Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Ellena tertunduk lesu. Sejujurnya, dia masih belum berani untuk menghubungi Keenan.
Belum selesai Ellena mengakhiri kebingungannya, tiba-tiba sebuah panggilan telepon membuatnya mengalihkan pandangan. Ellena terbelalak saat nama Keenan yang tertera di layar ponselnya. Dia masih ragu apa yang harus dia lakukan, menerima panggilan itu atau justru mengabaikannya.