"Halo ...."
Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya Ellena memutuskan untuk menerima panggilan telepon dari Keenan.
"Sayang, kau ke mana saja? Kau sudah membuatku Khawatir seharian ini. Apa yang sebenarnya sudah terjadi? Apa kau baik-baik saja?" Keenan langsung menghujani Ellena dengan beberapa pertanyaan.
"Aku baik-baik saja, Keenan. Maaf, sudah membuatmu khawatir." Setetes air mata tiba-tiba membasahi pipi Ellena. Dadanya terasa sesak, begitu mendengar suara Keenan yang selama ini selalu dia rindukan.
Ellena berusaha menahan isak tangisnya, agar tidak terdengar dan membuat kekasihnya itu merasa makin cemas.
"Kau belum tidur? Bukankah ini sudah sangat larut?" tanya Ellena datar dan sedikit berbasa-basi. Padahal, dia tahu apa yang membuat Keenan tidak bisa tidur.
"Bagaimana mungkin aku bisa tidur, Sementara seharian ini kau tidak ada kabar sama sekali. Kau tidak menerima telepon dan membalas pesan dariku, bahkan sepertinya kau juga tidak berniat menghubungiku, ada apa? Kau tahu? Kau hampir membuatku gila, Elle! Aku bahkan tidak bisa melakukan apa pun tanpa tahu kabar darimu. Apa kau sudah bosan denganku, sehingga akhir-akhir ini sering mengabaikanku seperti itu?" Keenan kembali melontarkan pertanyaan. Kali ini dia sedikit meninggikan nada bicaranya.
Pertanyaan itu tentu membuat hati Ellena terasa perih. Itu sungguh seperti tamparan keras baginya. Bagaimana mungkin dia bisa mengkhianati pria yang sangat mencintainya. Pada kenyataannya, sekarang Keenan sudah mulai merasakan perubahan sikapnya. Entah dia harus menjawab apa. Jika ditanya dia sudah bosan atau tidak, jawabannya adalah "Tidak!".
Bukan sebuah jawaban yang Keenan dapatkan, melainkan suara isak tangis Ellena yang makin membuatnya kahawatir.
"Elle, kau kenapa? Kau menangis? Apa ada yang salah dengan perkataanku? Aku minta maaf, jika memang perkataanku melukaimu." Keenan menurunkan kembali nada bicaranya.
"Sayang, jawab aku!" tegas Keenan dengan nada cemas.
Ellena justru makin terisak. Dia memegang dadanya yang terasa begitu sesak. Rasanya ingin sekali dia menumpahkan segudang masalah yang tengah dihadapinya kepada Keenan. Namun, dia pikir ini bukanlah waktu yang tepat. Dia belum siap jika harus melukai hati Keenan secara langsung dengan secepat itu.
"Maaf, Keenan. Aku hanya butuh waktu untuk sendiri. Kau tidak perlu lagi mengkawatirkanku. Setelah urusanku selesai, aku janji akan menjelaskan semuanya padamu. Aku mencintaimu, Keenan," ucap Ellena dengan suara serak.
"Apa maksudmu, Elle? Apa kau akan meninggalkanku? Kenapa kau berkata seperti itu?" Suara Keenan terdengar makin heran dan penasaran dengan perubahan sikap Ellena kali ini.
"Maaf, aku hanya butuh waktu untuk sendiri. Bye, Keenan."
"Elle—"
Belum sempat Keenan menanggapi, tiba-tiba Ellena mengakhiri panggilan itu. Bahkan, dia sengaja mematikan ponselnya, agar Keenan tidak bisa lagi menghubunginya.
Ellena tidak berniat untuk meninggalkan Keenan sama sekali. Hanya saja dia butuh waktu untuk sendiri, merenungi akan setiap keputusan yang telah dia ambil. Dengan membiarkan Keenan terus menghubunginya setiap hari, justru akan membuatnya makin merasa bersalah.
Ellena tidak bisa membendung isak tangisnya, setiap kali mendengar suara Keenan. Jadi, dia pikir itu adalah keputusan terbaik. Dia akan mencari waktu yang tepat untuk menjelaskan semua masalah yang tengah dia hadapi kepada kekasihnya itu. Dia harap Keenan akan bersabar menunggu dan memaklumi keputusannya.
Ternyata semua tidak semudah yang Ellena bayangkan. Bicara melalui telepon saja sudah membuat hatinya sakit, apalagi jika harus bertemu langsung dengan Keenan. Mungkin Ellena hanya akan menangis di hadapan pria itu, tanpa bisa berucap sepatah kata pun.
Ellena menumpahkan semua tangisnya saat itu juga. Bahkan dia tidak peduli, jika Lucas akan terganggu dengan suara tangisannya. Dia hanya ingin meluapkan sesak di dalam dada. Sesekali dia menutup mulut, ketika emosinya kian memuncak. Rasanya dia ingin sekali menjerit, menumpahkan kemarahannya, menyalahkan takdir yang begitu kejam kepadanya.
Dengan masih terisak, Ellena berbaring di atas sofa, menutupi semua tubuhnya dengan selimut. Tanpa dia sadari, ada sepasang mata yang tengah memperhatikannya sedari tadi.
***
Pagi yang indah telah menyapa dengan cahaya mentari yang menghangatkan tubuh setiap insan. Ellena yang masih bergelung di bawah selimut tebal, seketika menggeliat saat merasakan kehangatan itu.
Ellena mulai memicingkan mata, ketika menangkap silaunya cahaya matahari yang membias melalui jendela kamar. Seketika dia terlonjak saat menyadari bahwa di luar sana sudah tampak begitu terang. Entah siapa yang membuka tirai jendela pagi itu, mungkinkah Lucas sudah bangun terlebih dahulu?
Tangisan tadi malam tampaknya membuat Ellena kelelahan, sehingga membuat dia bangun kesiangan.
"Astaga, jam berapa ini?"
Dilihatnya jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 08.30 WIB. Ellena segera beranjak dari tempat tidur. Tunggu! Langkahnya seketika terhenti.
"Kenapa aku ada di sini? Bukankah semalam aku tidur di sofa?" Ellena menoleh ke kanan dan kiri, memeriksa tempat tidur berukuran king size yang kini menjadi penyangga tubuhnya.
"Lalu, ke mana Pak Lucas? Apa dia pergi?" ucapnya kemudian, ketika tidak melihat Lucas di sekitarnya.
"Sebaiknya aku mandi terlebih dahulu." Ellena menyingkap selimut yang masih menutupi sebagian tubuhnya. Namun, baru saja dia akan beranjak dari tempat itu, tiba-tiba kepalanya terasa sedikit berdenyut. Suara rintihan pun lolos dari mulutnya.
"Ssshhh!" Ellena tampak memegangi kepalanya. Entah kenapa dia begitu merasakan pusing. Kepalanya terasa berat. Mungkinkan karena tangisan semalam?
Ellena terdiam beberapa saat, berusaha menetralkan rasa nyeri di kepalanya. 'Ah, mungkin ini karena kemarin terlalu lelah,' pikirnya.
Setelah rasa sakit di kepalanya sudah mulai membaik, Ellena segera bangkit dari tempat tidur, lalu beranjak ke kamar mandi. Dia berjalan dengan perlahan. Walau bagaimana pun rasa sakit di kepalanya masih ada, meskipun hanya sedikit.
Setelah beberapa menit berada di kamar mandi dan berganti pakaian, Ellena segera bergegas menuju dapur kecil yang ada di kamar hotel itu. Barangkali ada sesuatu yang bisa dia makan.
Karena kamar hotel yang dia tempati itu adalah tipe Presidential Suite, jadi Ellena bisa menikmati fasilitas lengkap yang disediakan di kamar tersebut. Tampaknya, Lucas sengaja memilih kamar dengan tipe terbaik dan termahal.
Ya, tentu saja. Mana mungkin orang kaya dan ternama seperti Lucas akan memilih tempat sembarangan, terlebih lagi untuk acara pentingnya.
Belum sempat Ellena menuju dapur, dia sudah terlebih dahulu dikejutkan dengan sajian aneka makanan di atas meja yang berada di dekat sofa. Seketika matanya langsung berbinar, menatap sajian itu.
Ellena langsung menghampiri meja itu, lalu mengambil secarik kertas yang tertindih oleh sebuah gelas berisi air mineral.
'Makanlah! Nanti sore aku akan menjemputmu.'
Sebuah pesan singkat yang tertulis di secarik kertas kecil di atas meja itu.
Ellena tahu siapa yang menulis pesan itu. Sudah dapat dipastikan bahwa orang itu adalah Lucas. Tidak ingin ambil pusing, Ellena pun segera menyantap makanan itu.