Chereads / Addicted (IND) / Chapter 3 - 3. Menyerah

Chapter 3 - 3. Menyerah

Selamat Membaca.

Arghi meraba setiap dinding yang dia lewati. Kulit telapak tangannya sekarang lebih sensitif daripada sebelumnya. Halus, dindingnya lebih halus dari permukaan kertas yang biasa dia pegang dan terasa dingin pada telapak tangan Arghi.

Arghi berjalan pelan ke kamar mandi yang berada di kamarnya. Dia hapal setiap sudut kamar, tetapi tetap saja ini adalah sesuatu yang baru bagi dirinya, meraba, menerka. Arghi tidak pernah merasakan perasaan di mana dia begitu takut pada kegelapan, seolah akan ada sesuatu jahat yang bisa saja datang untuk menerkamnya dari belakang, depan ataupun dari manapun juga. Argi seperti berjalan di sebuah lorong gelap gulita. Layaknya malam yang tidak ada habisnya bagi Arghi. Hari-hari yang dia lewati hanya keelapan total yang mencekiknya, membuat dadanya sesak dan sama sekali menjadi tak bermakna.

Hanya ketidakbergunaan lagi dalam hidupnya. Apa yang bisa dia lakukan memangnya setelah semua apa yang terjadi dalam hidupnya ini?

Arghi, buta. Dia buta total.

Kala tangannya mencapai keran air, dia mengalirkannya dengan perlahan. Rasa dingin membalut kulit tangannya, mengalir membasahi setiap pori-pori. Dia bisa merasakan semuanya. Namun, di bandingkan itu semua, dia lebih menginginkan untuk melihatnya. Melihat bagaimana warna air, bagaimana setiap bentuk kamarnya yang dia tempati sekarang, semuanya termasuk dirinya sendiri dengan kekacauan yang terjadi ini.

Namun, sekali lagi Arghi tidak pernah terbiasa dengan ini, dunia di luar sana tampak menakutkan baginya. Sekarang dia di sini sendirian di dalam rumah besar yang kosong dan sunyi yang memekakkan telinga. Tidak tahu di mana Galant sekarang? Arghi hanya tahu bahwa Galant sudah pasti tidak sedang berada di rumah berjam-jam lamanya.

Dibandingkan gelap yang akan selalu menyelimutinya, sepanjang hidup Arghi, dia lebih takut kesendirian. Sendirian dan benar-benar menjadi buta sempurna. Tak tahu arah dalam hidupnya, menerka-nerka sepanjang waktu sendirian dan tidak apa yang telah dia lakukan sudah benar sebagaimana mestinya. Itu menakutkan.

Setelah membasuh wajahnya dengan air segar yang mengalir di wastafel kamarnya, Arghi dengan tertatih-tatih berjalan menuju balkon hingga tangannya mencapai balkon yang setinggi dadanya. Arghi seharusnya bisa melihat laut di kejauhan dari tempatnya berdiri ini, tetapi sekarang tidak. Dia tidak dapat melihat apapun, sekeras apapun dia menggerakkan bola matanya untuk mencari-cari objek yang dia inginkan tampaknya itu hanya kesia-siaan yang tak berujung.

Arghi membiarkan angin kencang yang datang menerpa tubuhnya, angin dari lautan yang membentang. Jika Arghi tahu dia akan kehilangan penglihatannya seperti ini, Arghi akan datang ke pantai untuk melihat ombak-ombak yang menari-nari dengan indah yang terkadang menyapu kaki Arghi saat menyapa pasir pantai. Arghi akan melihat langit sampai matanya terasa sakit. Dia akan melihat lebih lama dasar laut di mana banyak kehidupan di dalamnya. Arghi ingin melihat semuanya. Namun, itu semua telah berlalu, yang Arghi lakukan sekarang jika kerinduan tentang semua itu datang menghantamnya tiba-tiba maka dia hanya perlu menggali ingatan-ingatan itu di dalam kepalanya untuk memunculkannya kembali, mengais setiap memori indah yang dia lakukan untuk membantunya tetap tegak.

Arghi menarik napasnya dalam-dalam, mengisi setiap rongga paru-parunya dengan udara segar yang menerpanya. Dengan poni rambut Arghi yang mulai memanjang, angin yang lumayan kencang itu membuatnya memukul-mukul permukaan kulit wajah Arghi, bergerak-gerak liar ke sana kemari, mengacak-ngacak rambutnya sedemikian rupa.

Arghi menjadi dua kali lebih sensitif daripada sebelumnya. Dia bisa mendengar suara-suara dari kejauhan, bahkan mungkin dia bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berdenyut cepat bergemuruh di telinganya di tengah serangan angin yang menderu di sekitar Arghi.Dia telah diam di sini untuk jangka waktu yang lama, hanya berdiri tanpa melkukan apapun

Tanpa sadar air telah menggenang di pelupuk matanya, Arghi ingin sekali meringkuk, memeluk lututnya rapat dan menangis sepanjang waktu ditemani suara deburan ombak di kejauhan yang menenangkan hati dan juga pikirannya walaupun hanya untuk sesaat saja.

Ayah Galant telah pergi selamanya, meninggalkan dia dan Galant sendirian. Pasalnya sudah satu bulan Arghi tidak melihatnya, tetapi ketika ayah Galant pulang nyawanya malah direnggut, Arghi takut akan melupakannya dan tidak bisa lagi membentuk bayangan imajiner di dalam pikiran Arghi. Takut tidak bisa mengingat sosok orang yang telah menyelamatkannya, dan memberikannya tempat tinggal, menyekolahkannya seperti sekarang dan membuat Arghi merasakan kembali memiliki seorang ayah di sisinya.

Namun, sekarang? Dia tidak memiliki apapun lagi. Bahkan Arghi merasa bahwa dia tidak pantas untuk menetap di sini dan justru membuat hidup Galant menjadi rumit dan terbebani dengan hadirnya dia. Namun, ketika dia masih melihat dan semuanya normal, Arghi selalu meyakini dirinya sendiri serta berjanji bahwa dia akan bertanggung jawab atas Galant dan maju dengan semua masalah yang menerpanya, melindunginya layaknya adiknya sendiri.

Arghi telah bersahabat begitu lama dengan Galant, dia mengetahui bagaimana sifat dan tingkahnya. Jadi, dengan kondisi yang Arghi seperti ini dia lebih dari tahu bahwa Galant membencinya. Menyalahkan Arghi yang telah membuatnya menjadi begitu merepotkan. Arghi tidak ingin Galant membencinya seperti itu dan juga tidak ingin membuat Galant menjadi repot untuk mengurus dirinya, maka yang Arghi lakukan bahwa dia harus pergi dari rumah ini secepatnya.

Ke manapun dia pergi tanpa tujuan dan arah, dia tidak peduli yang terpenting adalah bahwa Arghi telah pergi dan meringankan Galant. Dia harus fokus sekolah bukannya harus mengurusi lelaki yang kehilangan kemampuannya ini. Semua yang di lakukan oleh ayah Galant untuk Arghi menjadi sia-sia ketika Arghi bahkan tidak tahu dia harus membalasnya seperti apa lagi, dia tidak punya apapun hanya ada dirinya sendiri. Betapa tidak bergunanya dirinya sekarang dan juga selamanya.

Bibir Arghi bergetar saat dia menahan tangis keluar dari celah bibirnya. Kesedihan akan terasa semakin sakit ketika dia menahan tangisnya begitu kuat, menggigit bibirnya untuk tetap tertutup tidak membiarkkan suara tangisnya keluar dari celah bibir Arghi, dibanding Arghi mengeluarkannya dan membuat semesta tahu bahwa dia sekarang menangis begitu menyedihkan.

Dada Arghi menjadi sesak dengan tubuhnya yang bergetar, dia lupa untuk bernapas dengan benar, dia harus mengingatkan dirinya sendiri, lain kali. Tangannya mengepal di balkon menekan rasa sedihnya untuk kembali di dalam agar tidak kembali ke luar. Agar tidak ada seorang pun yang melihatnya seperti ini. Arghi tidak pernah tahu siapa saja yang bisa melihat dirinya yang begitu menyedihkan ini.

"Aku harus apa lagi?" lirih Arghi bergetar dan langsung menekan salah satu telapak tangan di depan mulutnya agar suara tangis tak terkendali Arghi tidak keluar.

Harapan, impian, cita-citanya dan seseorang yang harus dia lindungi dan jaga. Semuanya pupus seperti kedipan mata. Itu hanya rencana yang mampu Arghi susun, sementara Tuhanlah yang menentukan. Mungkin memang ini takdirnya bahwa dia harus seperti ini, garis takdirnya lah yang tertulis dan Arghi hanya bisa menjalankannya, dan Arghi hanya perlu berusaha untuk menerima dan ikhlas dengan keadaan. Tapi itulah hal yang paling sulit dia lakukan.

Dunia Arghi luruh saat itu dia terbangun dari tidurnya di rumah sakit sebelum dia meminta untuk pulang ke rumah dengan cepat. Arghi takut, sangat ketakutan. Hal pertama dia takutkan adalah tentang Galant.

Arghi tersentak dengan lamunannya yang buyar ketika dia mendengar Galant meneriaki namanya. Tapi dia tidak beranjak dari tempatnya berpijak. Arghi tetap bungkam, menutup bibir dan emosinya rapat-rapat. Argi entah mengapa merasakan keinginan yang begitu besar untuk melompat dari balkon hingga tubuhnya membentur tanah di luar sana. Untuk mengakhiri semuanya.

Pintu dibuka kencang dan langkah kaki cepat melaju ke arah Arghi. Arghi sedikit tersentak kaget saat Galant tiba-tiba menarik lengannya untuk masuk kembali ke dalam kamar.

"Apa yang kamu lakukan di sana?" tanya Galant cepat. Nadanya terdengar khawatir dengan getar samar keluar dari kerongkongannya.

Arghi memilih diam membiarkan pertanyaan dari Galant menggantung di udara. Memangnya apa yang dia lakukan? Arghi bisa melakukan apa di rumah yang terbilang luas ini, sendirian? pikir Arghi sambil menepis tangan Galant yang masih menggenggam lengannya. Arghi tahu bahwa dia tidak bisa melihat, tetapi jika Galant menganggap dirinya tidak berdaya Arghi benar-benar tidak menyukai itu.

Arghi bergerak menjauhi adiknya dia memilih untuk berbaring di atas kasur dan membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut.

Hembusan napas kasar terdengar dari Galant. Namun, Galant tidak mengatakan apa pun. Arghi memejamkan matanya erat, tidak tahu apa bedanya dengan mata tertutup ataupun tidak, semuanya tampak sama saja.

"Argi kita tidak harus berlarut-larut dalam kesedihan. Ada aku di sini, Arghi. Kamu tidak sendirian lagi." Bibir Arghi menipis dan menggeleng kecil. Seharusnya Arghilah yang berbicara seperti itu pada Galant bukan dia.

"Arghi, kita bisa memulai semuanya dari nol," kata Galant lagi.

Arghi meremat selimut di genggaman tangannya. Semua tidak akan bisa di mulai lagi, Arghi harus menjalaninya untuk membuatnya berakhir.

"Kita mungkin sedih dan kecewa, tetapi hidup harus tetap berjalan, Arghi."

"Diam, dan pergilah," potong Arghi terendam di balik selimut. Arghi menjadi tegang, tenggorokannya menjadi kering. Tidak seharusnya dia berkata seperti itu dan juga menaikkan suaranya pada Galant, tetapi Galant tidak mau mengerti tentang dirinya sendiri. Arghi semakin meringkuk di dalam selimut membentuk bola.

"Arghi, kamu belum makan sejak semalam," Galant mengingatkan. Tapi itu terlambat, tidak tahu di mana Galant sebelumnya.

"Arghi harus makan," katanya dengan nada rendah, tidak seharusnya Galant lah yang harus makan. Arghi tidak membutuhkannya. Galant masih dalam pertumbuhan, dia tidak seharusnya datang ke mari untuk berbasa-basi dengan Arghi.

Arghi kembali mendengar suara Galant untuk melanjutkan, . "Aku bisa mengantar makanan untukmu sekarang. Kita bisa—,"

"Aku buta, bukan lumpuh. Pergi dari sini," potong Arghi sekali lagi. Bahkan sahabatnya sediri yang telah Arghi anggap seperti adiknya sendiri menganggapnya tidak berguna, dan selalu memerlukan bantuan.

"Kalau sikap kamu terus seperti ini, aku benar-benar akan menyerah dengan keadaan," lirih Galant. Membuat tenggorokan Arghi tercekat, tetapi dia tidak menyikap selimutnya. Mulutnya setengah tertutup dan menggertakkan giginya. Hanya dengan kata itu hati Arghi seakan ditikam jarum tak kasat mata. Tangannya pelan-pelan menghapus air mata dengan kasar dan menekan matanya kuat di balik selimut agar air matanya tidak kembali keluar di hadapan Galant. Dia tidak ingin menangis di hadapannya walaupun dia sudah berusaha sebisa meungkin menutupi dirinya sendiri di balik selimut ini.

Tidak ada suara apapun yang Arghi tangkap setelah Galant mengatakan itu, semua hanya keheningan seperti sebelumnya. Namun, Arghi masih merasakan bahwa Galant masih di sini tengah memperhatikannya. Arghi telah bersikap kekanakan seperni ini, tetapi tetap saja bagaimana dia harus bersikap ketika Arghi sendiri di hadpkan pada situasi membuat dia kehilangan indera yang paling terpenting dalam hidup. Penglihatan. Seseorang yang di vonis buta seumur hidupnya, bagaimana bisa menjalani hari seperti semula dan tidak terjadi apapun sebelumnya. Arghi tidak akan pernah bisa melakukannya.

Suara pintu terbuka dan menutup kembali menyebabkan Arghi menghembuskan napasnya yang tanpa sadar telah dia tahan. Dia yakin Arghi telah pergi dari kamarnya ini dan hanya menyisakkan kehampaan yang Arghi bisa rasakan menembus selimutnya. Arghi tidak tahan dengan perasaan itu membuat dia melepas selimut cepat. Dia berkedip-kedip menghalau air jatuh di pelupuk matanya.

Mendengar semua pekataan Galant barusan ke pada Arghi, dia mulai menyadari sesuatu itu dan semakin menguatkan pikiran Arghi sebelumnya, bahwa Arghi sebenarnya tidak seharusnya dia berada di sini. Mengacaukan semuanya, menjadi beban bagi Galant. Semuanya telah selesai seharusnya sejak ayah Galant meninggal.

Arghi memikirkannya kembali bahwa mungkin Arghi harus pergi, kemanapun. Tapi bukan di sini. Ini bukan tempatnya. Bukan rumahnya. Arghi hanya tamu yang singgah untuk sementara waktu dan akan pergi secepatnya.

Arghi meringkuk, tidak tahu sekarang pukul berapa. Ponselnya sama sekali tidak berguna, jika Arghi bahkan tidak bisa memakainya untuk dia lihat isi yang berada di dalamnya. Perintah suara pada ponsel itu hanya lah sebuah pajangan sekarang. Nyatanya tidak ada siapapun yang dapat menghubunginya atau sebaliknya.

Mereka telah pindah di kota yang jauh dari tempat di mana Arghi di temukan, dibesarkan, di sekolahkan. Tempatnnya sekarang masihlah terasa asing bagi Arghi. Arghi harus menunggu sampai malam, yang rasanya seperti bertahun-tahun dalam kegelapan total.

Dia bergidik saat tiba-tiba pikirannya melintas di malam itu di mana perampok memukul kepalanya dengan kursi, hingga Arghi berada di titik ini. Seandainya saja Arghi menuruti perkataan Galant semua ini tidak akan terjadi. Arghi menggeleng kepalanya, untuk menjauhkan bayangan-bayangan gelap tentang ingatan buruk itu dari kepalanya. Untuk mengeluarkannya dan menariknya dari kepala Arghi yang sekarang terasa berdenyut menyakitkan.

Arghi sekarang menunggu dan terus menunggu.

*

Waktu-waktu terus bergulir maju, jam demi jam dia lewati dengan keheningan, Arghi tidak tahu pasti pukul berapa sekarang. Namun, dia yakin merasakan hawa dingin dari udara malam membelai tubuhnya lewat celah-celah fentilasi. Arghi berdoa dan memantapkan dalam hati bahwa keputusan yan telah dia ambil ini adalah benar. Dia yakin Galant berada di kamarnya sekarang saat Arghi berjalan dan mencapai tangga tanpa hambatan.

Tidak ada yang mencegahnya, tidak ada siapapun di sini. Itu membuat Arghi sedikit merasa lega untuk terus melangkah maju dan meyakinkan dirinya terus menerus.

Dia menghembuskan napasnya lega, baru satu langkah Arghi menjulurkan kakinya ke tangga. Arghi tersentak seketika ketika kakinya salah dalam mengambil langkah lalu tergelincir dan berguling di tangga membentur ke sana sini tanpa sadar kepalanya menghantam guci di pinggir dengan kuat hingga hancur berkeping.

Rasa sakit menyengat di belakang kepala Arghi membuat napasnya melambat. Kendati kepalanya belum sembuh dia kembali merasakan rasa sakit yang sama, tangan Arghi bergetar meraih belakang kepalanya dan merasakan cairan dari sana yang mengalir mengotori lantai.

Arghi mendengus pada dirinya sendiri tentang betapa ironisnya, seolah dia tidak diizinkan untuk keluar dari rumah ini. Bahkan semesta mendukungnya untuk hancur sekali lagi.

Karena rasa sakit yang tidak tertahankan mata Arghi terkulai menutup dan dia tidak merasakan apa-apa lagi selain kehampaan yang panjang.

.

Dibanding Galant yang harus menyerah, maka biarkan Arghi saja yang melakukanya.

Bersambung...

Terima kasih telah membaca.