"Bukan mengganggu seperti itu, Arghi. Ini sebenarnya menenangkan, segar seperti di hutan, seperti hujan dan sesuatu yang lain yang tidak bisa aku katakan dengan kata-kata. Tetapi hanya saja sepertinya ini membuat aku aneh dengan hanya menciumnya."
"Aneh?" tanya Arghi membawa rasa penasarannya datang.
Galant tidak langsung menjawab, tetapi pada akhirnya dia mengatakannya. "Membuat bagian bawahku terasa sakit, Arghi."
"Hah?" Bukan berarti Arghi tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Galant, Arghi sendiri berusia dua puluh tahun sekarang. Namun, dia hanya tidak tahu apa hubungan bau itu dengan masalah yang menimpa Galant sekarang.
"Arghi, lupakan saja. Lebih baik kita untuk kembali makan."
Arghi hanya menanggapinya dengan sebuah anggukan singkat pada Galant. Dia lebih tahu bahwa ada batasan dengan rasa keingintahuannya yang tidak bisa dia utarakan begitu saja. Apalagi tentang hal-hal pribadi seperti itu, walaupun dirinya sendiri masih ingin tahu apa yang membuat Galant menjadi sedemikian rupa itu.
Mereka kembali makan dalam keheningan, dan sungguh ini sama sekali tidak membuat Arghi nyaman. Apalagi dia merasakan sebuah pandangan menyapu sekujur tubuhnya. Dia tahu Galang mengawasinya saat Arghi makan seperti ini, mungkin Galant tidak ingin Arghi salah dalam memasukkan sendok demi sendok makanan ke dalam mulutnya.
Arghi memang buta, tetapi bukan berarti Arghi bodoh untuk tidak mengetahuinya. Dia tidak menginginkan perasaan diawasi ini terus menerus membawa perasaan tidak nyaman datang dalam dirinya.
"Galant, apa yang salah?" Arghi tidak tahan untuk tetap diam di mana kali ini Galant bersuara dengan gerakkan gelisahnya di ujung meja.
"Tidak ada, Arghi. Kamu membutuhkan sesuatu?" tanya Galant balik pada Arghi seolah dia mengalihkan pembicaraan yang baru dibuat oleh Arghi barusan.
Arghi menjawab dengan gelengan kepala singkat dan mendorong piringnya ke depan setelah dia menghabiskan makanannya. Pada akhirnya Arghi kembali memberanikan dirinya untuk bertanya. "Galant bagaimana sekolahnya?"
Dia sedih mendengar pertanyaannya sendiri pada Galant, di mana cita-cita telah pupus seperti kedipan mata. Dia baru lulus dari universitas dengan cepat karena tujuannya adalah untuk mencari sebuah pekerjaan agar dia tidak lagi merepotkan keluarga ini, tetapi nyatanya harapan adalah harapan dia tetap menjadi sebuah batu di dalam sepatu yang mengganggu juga merepotkan.
Galant sedikit terbatuk di ujung meja, Arghi mengerjap takut-takut dia salah bicara. "Aku masih tetap harus sekolah dari rumah. Semuanya berjalan baik, Arghi jangan khawatir"
Arghi mengangguk dan tersenyum simpul. Mereka sama-sama merapatkan bibirnya tidak ingin berbicara menambah kembali kecanggungan antara Galant dan juga Arghi seperti sebelumnya. Karena belum menemukan percakapan yang bisa dia tarik untuk dibicarakan
Pergerakan di atas meja, menarik alis Arghi bertaut dengan tanya. "Ada apa, Galant?"
"Eh?" Galant tampaknya tidak menyadari keributan yang telah dia buat.
"Kamu sepertinya sedang sibuk, aku harus kembali ke kamar. Tidak apa, kan Galant?" tanya Arghi ragu-ragu.
"Kita baru saja berbaikan Arghi, mengapa kamu begitu inginnya pergi untuk kembali ke kamar. Apakah kita bisa setidaknya... mengobrol bersama?"
Mengobrol bersama? Bukankah itu yang tengah mereka lakukan sebelumnya. Galant memangnya ingin membicarakan tentang apa dengannya kali ini? Sungguh Arghi tidak tahu lagi ingin menanggapi seperti apa.
Arghi tersentak ketika sebuah sentuhan hangat melingkar pada salah satu pergelangan tangannya. Dia sampai tidak menyadari bahwa Galant telah berada di sisinya sekarang. Ini sedikit membuat perasaan takut melintas ke permukaan ketika dia membayangkan jika itu adalah orang lain, dan dia merasa cukup mengerikan. Namun, Arghi hanya menyimpan perasaan ini jauh di dalam dan mengabaikannya untuk tidak mengatakan pada Galant.
"Arghi, kita bisa duduk santai di balkon kamarku." Galant menyarankannya tiba-tiba, dan Arghi merasa tidak nyaman ketika Galant bahkan berbicara dengan jarak terlalu dekat dengannya seperti ini.
"Kamu biasanya mengerjakan tugas sekolah sekarang, Galant."
"Arghi, jangan memikirkan itu sekarang."
Arghi merasa canggung dan hanya mengangguk singkat sebagai respon menyetujuinya. Hingga dia mengikuti Galant yang menggenggam pergelangan tangannya sambil membimbingnya naik ke tangga dengan perlahan.
Ketika dia merasakan terpaan angin yang mengenai bagian tubuh depannya seketika itu juga membuat Arghi tidak dapat menahan senyumnya untuk membentang semakin lebar dari sebelumnya.
Dia menggenggam balkon kuat di depannya dan Arghi masih merasakan bagaimana tangan Galant belum lepas dari pergelangan tangannya sampai saat ini.
Namun, senyumnya yang membentang perlahan turun dan memudar ketika dia pada akhirnya menyadari kembali bahwa dirinya tidak dapat melihat apapun di sana. Hanya ada sentuhan-sentuhan angin yang mengambil-alih wajahnya, udara segar yang masuk ke rongga paru-parunya, tetapi semuanya hanya kekosongan yang tidak dapat ditangkap oleh mata Arghi sekarang.
Kosong. Seperti masa depan Arghi nantinya yang tidak dapat dia terka dan sangat sulit untuk membayangkan dia akan menemukan bahwa Arghi menemukan kebahagiaan nantinya.
Pikirannya melayang memikirkan bagaimana nasib dirinya dan Galant nanti. Pekerjaan apa yang bisa Arghi dapatkan dengan kondisinya yang seperti ini. Tidak mungkin dia hanya berdiam di rumah dengan uang tabungan ayah Galant. Semua itu dimaksudkan untuk pendidikan Galant nantinya, bukan untuk biaya hidup mereka ke depannya.
"Arghi jangan terlalu banyak berpikir." Suara Galant masuk ke indera pendengarannya memecah lamunan Arghi.
"Tidak." Mulut Arghi berkedut ketika dia mengucapkan satu kata kebohongan itu dan Arghi terlalu banyak berkedip di sana-sini. Arghi mengalihkan fokusnya pada rasa-rasa yang membelai kulitnya mengabaikan bagaimana panas tubuh Galant yang berada di sebelah kirinya.
"Kamu berbohong," kata Galant terselip canda di dalamnya, Arghi mengerjap saat tangan Galant yang berada di pergelangan tangan Arghi berpindah membungkus punggung tangan Arghi. Hal ini selalu saja dilakukan oleh Galant sejak mereka masih kecil, entah apa alasannya.
Arghi meringis setengah tersenyum atas kebohongan singkatnya itu dengan mudah . Tidak tahu bagaimana Galant menatapnya sekarang yang tengah berdiri di sebelahnya ini.
"Aku ingin bertanya?" tanya Arghi menolehkan kepalanya pada Galant yang dia berharap mengarah pada arah yang benar.
"Tanya saja, Arghi." katanya bersamaan dengan cengkeraman tangan Galant yang mengerat pada Arghi.
"Kira-kira orang buta seperti aku, bagaimana caranya untuk bekerja?" tanya Arghi memakai nada canda di dalamnya. Dia memikirkan kelulusan sarjananya yang terbuang sia-sia. Mimpinya pun sudah pupus seperti abu yang di terbangkan oleh angin.
"Mengapa kamu mengatakan itu?" Suara Galant dingin dan juga menusuk hingga membuat Arghi mengerjap dalam posisi kepalanya yang kali ini menunduk.
Rasa malunya datang dengan cepat ketika Galant memperlakukan dirinya seperti ini dengan memegang bahunya erat serta mengguncangnya. "Aku hanya bertanya, Galant."
"Kamu tidak perlu menanyakan itu dan aku sudah mengatakan untuk jangan mengkhawatirkan apapun."
"Aku tidak mungkin hidup seperti ini terus, Galant. Menjadi benalu untuk orang lain."
"Orang lain? Setelah semua yang terjadi dengan kita semua di rumah ini, kamu menganggap aku orang lain? Arghi tidakkah kamu memikirkan bahwa aku di sini ada untukmu, mengapa aku bertahan sampai sekarang setelah kematian ayah dan tetap berdiri seperti ini adalah karena kamu. Aku tahu bahwa kamu pastilah membutuhkanku." Suara Galant menderu di depan wajah Arghi sekarang kemarahan dapat dia rasakan menusuk langsung ke dadanya.
"Ayahmu mengambilku dari jalan, setelah yang terjadi dengan kondisiku seperti ini seharusnya kamu mengembalikan aku ke jalan lagi. Sungguh Galant, aku tidak ingin menjadi duri dalam hidupmu."
"Arghi kamu ingin lari lagi dari rumah dan berakhir di rumah sakit?" tanya Galant dingin dan juga tanpa nada apapun di dalamnya, dia menghempaskan bahu Arghi kencang dan Arghi tahu dia telah membuat kesalahan besar. "Sekarang lakukanlah apa yang kamu inginkan."
Semuanya menjadi kekosongan yang datang tiba-tiba tidak dapat lagi dia cegah untuk mendapatkan permohonan maafnya dari Galant setelah Arghi mendengar bantingan pintu dari dalam. Arghi tidak dapat menahan diri untuk tidak mengatakan kalimat-kalimat barusan pada Galant saat dalam kondisi yang benar-benar membuat mentalnya tidak setabil seperti sekarang.
Pada akhirnya dia kembali sendirian di sini, membuat Arghi merosot dan bersandar di balkon serta menyesali semuanya. Di dalam pikirannya memikirkan banyak cara untuk lari dari hidup Galant secepatnya, tetapi dia tidak melakukannya justru menutup matanya erat.
Menyambut kegelapan kembali dengan perasaan dingin yang semakin menusuk tubuhnya. Satu kata keluar dari bibir Arghi ketika dia berada di antara ketidaksadarannya. "Maaf."