Wajahnya yang tenang dengan mata terpejam begitu damai, tak ada yang tahu bahwa alam bawah sadar gadis itu tak sedamai raut wajahnya.
Kenangan buruk dari masa lalu yang tak berhasil dilupakan berdesakan dalam memorinya, ruangan gelap dengan bau anyir, alat bantai yang menempel di sepanjang dinding, dan besi panjang yang terhempas ke punggungnya. Belum puas, Zeana yang terkapar di hadiahi bogeman mentah di perutnya. Membuat gadis kecil itu meringis pelan karena tak lagi mamou berteriak.
Rasa nyeri itu semakin menusuk perut Zeana ketika kesadarannya mulai kembali. Ia membuka matanya perlahan, menyesuaikan matanya dengan sinar lampu yang seolah menusuk matanya.
"Udah sadar lo, Ze?" Nathan yang sedari tadi duduk di sofa bangkit menghampiri Zeana.
Zeana meringis.
"Ga papa, cuma kebentur doang."
Zeana mendelik jengkel, "Kebentur doang pala lo, Kak! Sakit banget ini!" Zeana meringis lagi, sembari menekan area lambungnya.
Nathan mengangguk mengiyakan, "Iya, tau sakit. Kalo engga, lo ga bakal sampe pingsan segala!"
"Nah, itu tau," dumel Zeana.
"Nih.." Irvi membawakan secangkir teh madu.
"Kalian ga pada kerja?" Zeana menatap kedua kakaknya dengan pandangan heran.
Nathan mengacak rambut adiknya, "Gue ga bakal bisa fokus kerja kalo inget ada adek gue cedera!"
Sedang Irvi merotasikan bola matanya, "Lagian, siapa juga yang masih di kantor jam segini?"
Zeana mengernyitkan alisnya, menatap seisi kamarnya dan terpaku pada jam dinding berwarna hitam yang menempel di tembok.
"Udah jam sebelas, kalian masih disini?" tanya Zeana bengong.
Nathan dan Irvi mengangguk bersamaan.
"Istirahat gih! Besok kan kalian kerja!" perintah Zeana.
"Gue terlanjur ambil cuti!" sorak Nathan yang merasa terusir.
"Lo boong kan kak?" sinis Irvi memandang Nathan sinis.
"Boong apaan?" balas Nathan dengan nada tinggi.
"Besok kan minggu.. ngapain lo datang ke kantor?" sahut Zeana yang faham arti tatapan Irvi.
"Emang sejak kapan waktu weekend gue tetep di rumah?" tanya Nathan pada kedua adiknya.
Ah! Zeana dan Irvi baru sadar kalau putra sulung keluarga Maldwyn hanya ada di rumah ketika jam 7 malam keatas.
Sunyi. Irvi memilih untuk memainkan ponselnya, dan Nathan yang menatap intens Zeana yang merasa tak nyaman.
"Ngapain sampe berantem?" tanya Nathan serupa introgasi.
Zeana menatap Nathan selidik.
"Gue tanya Ze, ngapain lo sampe berantem segala? Ga bisa di bicarain baik-baik apa?" ulang Nathan setelah menghela nafas.
"Dia nyolot, gue ga suka." Zeana membuang pandangan, menatap wajah Nathan yang sama menjengkelkannya dengan Griffin tadi siang, membuat emosinya naik.
"Gue jadi ga enak juga sama temen lo, dada dia sesak gara-gara lo!" decak Nathan.
"Lo nyalahin gue?" cetus Zeana, merasa kecewa karena kakaknya lebih membela orang lain.
"Gue nyalahin dua-duanya. Lo salah, dia juga salah," papar Nathan.
"Dia ngambil tas gue, Kak!" adu Zeana.
"Udah tahu gitu, harusnya kan di minta baik-baik, bukannya ngajak perang!" simpul Nathan, heran dengan Zeana yang tak bisa berbuat simpel.
Zeana meraih teh madu yang tadi di berikan Irvi, lalu menyeruputnya. Ia menatap Nathan dan menggeleng pelan, ia berusaha meredam emosinya seiring dengan aliren teh hangat itu mengaliri kerongkongannya.
"Ga semua cowok kaya elo, Kak! Gue tuh anti sama cowok kek dia! Suka bikin onar, alay, hobi caper, haus sanjungan.. dih.." Zeana bergidik, "Gue ga tahu punya salah apa di kehidupan masa lalu sampe gue punya temen sekelas kek dia!"
Nathan tersenyum kecil, "Gitu-gitu, awas aja kangen!"
"Itu kutukan?" sinis Zeana.
"Itu ancaman," timpal Nathan.
"Gue belum pernah ngerasain secara langsung, jadi gue ga bisa percaya gitu aja," sanggah Zeana. Meski kadang, fakta itu sering ia dengar dari beberapa orang.
Nathan mengangguk, "Gue dulu pernah punya temen, cewek. Dia itu orangnya seenaknya sendiri, ga mau kalah, dan suka nyalahin orang lain. Tapi waktu wisuda kelulusan, dan kita semua jarang ketemu, justru sifat-sifat mereka yang kadang ga gue sukai itu yang paling gue kangenin!"
"Cewek?" tebak Zeana.
Nathan mengangguk.
"Siapa namanya?"
Nathan berdeham, "Berlian, tapi dia ga suka di panggil selain itu. Berlian ya berlian, bukan Lili atau Lian."
"Cantik ga?" Zeana mulai penasaran.
"Biasa aja, manis kalo kata orang-orang."
"Punya fotonya?" Zeana mencondongkan tubuhnya.
Nathan menyalakan ponselnya, membuka folder kenangan 10 tahun yang lalu, dan memencet salah satu gambar.
"Di barisan depan, urutan ke dua dari kiri."
Zeana mempertajam tatapannya, hidung kecil yang mancung, alis yang berbentuk sempurna, mata yang tajam, bibir yang mengulas senyum tipis.
"Kayanya judes deh," bisik Zeana mengira-ngira, ia sering melihat aura wajah seperti itu, dan kebanyakan yang ia temui selalu jutek dan tak ramah.
Nathan tersenyum kecil, "Iya, judes banget."
Zeana dengan sengaja menggulir foto demi foto di ponsel Nathan. Hingga suatu foto membuatnya begitu senang.
"Cantik-cantik pada! Ini teman lo semua?" Zeana menunjukkan layar ponsel ke pada kakaknya dengan wajah antusias.
"Ini senior gue," lirih Nathan dengan senyum tertahan.
"Cantik banget!" ringis Zeana memuji, "Pantesan lo jomblo mulu, pasti cewek yang lo temui kaya angin lewat!" seru Zeana.
Nathan tersenyum pedih, semua ada alasannya. Termasuk alasannya melajang beberapa tahun terakhir ini. Bukan dimulai dari cerita di SMP, melainkan di SMA. Sebuah kejadian yang amat menusuk relung hatinya.
"Ini siapa?" Zeana menunjuk seorang gadis di barisan belakang, gadis paling pendek, paling mencolok, paling bersinar kulitnya, dan berwajah paling jutek. Didukung gayanya yang hanya menyilangkan tangannya, ketika seluruh teman-temannya berselfie ria.
Dan detik itu juga Nathan tak bisa menahan senyumnya lagi, "Yang itu kak Anya."
Zeana berdecak, "Ih.. mata lo rabun ya, Kak!" Zeana menunjuk foto seorang gadis berwajah dingin dan imut secara bersamaan dengan keras.
Nathan mengangguk, "Namanya Davina."
Kedua alis Zeana terangkat, "Panggilnya siapa?"
"Davio."
Zeana mengangguk mengerti, tapi tatap matanya seolah bertumpu pada foto gadis yang membuat Nathan tak mampu menahan senyum.
"Cantik banget sih.. lo tahu gimana kabarnya sekarang?" Zeana masih betah menatap foto Davio yang rasanya begitu familiar dimatanya.
Nathan menggeleng, "Di Insta mungkin ada, tapi gue jarang buka."
"Username-nya apa?" Zeana langsung gerak cepat dan membuka ponselnya.
Nathan mengangkat bahunya, "Lupa!"
Zeana mendesah kecewa, "Gue kira kak Davina ini.. eh, kak Davio ini, spesial buat lo. Ternyata engga."
Nathan menatap adiknya heran, "Perasaan kepala lo yang kebentur deh, kenapa otak lo yang geser? Apa lo laper?"
Zeana mengangkat dagunya dan melotot ke arah abangnya, "Selamat Kak! Lo berhasil bikin gue jengkel!"
Irvi yang mendengar itu terkikik, "Segala ngucapin selamat, si Griffin yang lo anggap biang onar aja berhasil bikin lo jengkel."
"Sekali lagi lo nyebut namanya di depan gue, nih cangkir melayang!" ancam Zeana sembari mengangkat cangkirnya.
"Dasar! Adik ga punya rasa terimakasih lo!" umpat Irvi dengan nada dijengkel-jengkelkan.
"Tapi, setiap lo kena masalah, selalu gue yang bantu. Mana ada Kak Nathan mau bantu lo," elak Zeana pada Irvi, memaparkan kenyataan.
"Ye.. bukannya gue ga mau bantu, tapi gue ga paham fashion cewek. Jadi sorry, daripada gue kena marah kalian gara-gara salah pilih, mending gue mundur aja dulu!" sanggah Nathan dengan kedua tangan terangkat disertai wajah memelas yang menjijikkan bagi Zeana dan Irvi.
"Iyain, ajal ga ada yang tahu," sahut Irvi dengan wajah datar.
Zeana memalingkan wajahnya ke arah Nathan, "Ga mau istirahat dulu, Kak?" tawar Zeana. Ia ingin sendiri, setidaknya untuk saat ini.
Nathan menggeleng, "Gue udah kebiasaan begadang. Tumben lo ngawatirin gue?"
Zeana menyugar rambutnya, "Serba salah gue jadi adik lo!"
Nathan mengangkat ujung bibirnya sebelah, "Hidup emang kaya gitu, Ze!"
"Serba salah mulu?" ulang Zeana.
Nathan mengangguk, "Btw, ngapain lo punya pacar ga cerita sama gue?"
"Lah, how come it's off topic?" kelit Zeana.
Nathan menatap tajam adiknya, mencoba memperingatkannya. Ia tak suka Zeana menyembunyikan hal sekecil apapun darinya.
Zeana menyerah, "Gue ga tahu siapa cowok yang lo maksud kak," aku Zeana.
"Sok amnesia lo! Gantengnya kek gitu, lo lupain seenaknya. Gimana sama gue coba?!" cela Nathan bersungut-sungut, ia tak percaya Zeana mengelak semudah itu.
Otak Zeana blank seketika, "Maksud lo, dia lebih ganteng dari lo?"
Nathan langsung memejamkan matanya begitu menyadari ada yang salah dengan apa yang sebelumnya ia ucapkan.
"Maksudnya, cowok lo tuh ganteng, ga mungkin lo lupa gitu aja," ralat Nathan secepat belut, ia tak mau Zeana menyela ucapannya dengan kecurigaan jenis apapun.
Zeana mengedikkan bahunya, "Gue ga faham apa yang lo maksud, Kak. Tapi, gue bener-bener ga ada cowok!"
"Terus siapa yang gendong lo tadi?" tanya Nathan mulai gemas.
Zeana menggeplak kakaknya, "Ya kali orang pingsan tahu apa yang terjadi di sekitarnya pasti udah gue jawab!"
Jantung Zeana berdetak kencang, 'siapa ya? Samar-samar inget doang,' batin Zeana. Ia ingat ada sosok yang menggendongnya, ia juga ingat jelas jika ia laki-laki. Tapi siapa dia, Zeana benar-benar lupa.
"Namanya, maksud gue marganya Bianco. Lo kenal kan?"
Davio menegang, lalu mengangguk kaku.
"Siapa?"
"Temen sekelas gue." Alis Zeana menukik tajam, ia membenci kenyataan jika yang membantunya adalah teman dari Griffin yang brengsek itu.
"Ganteng ya?" Nathan meminta pendapat Zeana.
Zeana mengangguk ragu, "Nilai tujuh udah cukup."
"Pelit amat lo ngasih nilai," cibir Nathan.
"Gue emang suka perhitungan," jelas Zeana.
"Kalo gue berapa?" tanya Nathan memamerkan senyum narsisnya.
Detik itu pula, Irvi memperagakan seorang gadis yang sedang muntah.
Sedangkan Zeana terbahak. Dalam hatinya ia berharap, saat ia masuk sekolah nanti ia bebas dari serbuan makhluk hawa yang mendambakan seorang Deon Bianco. Ia hanya ingin waktu berlalu cepat, menyelesaikan ujian, lulus dan pergi dari sana.