Chereads / Falling To The Lord Of Mafia / Chapter 4 - Pria Kejam Dari Masa Lalu

Chapter 4 - Pria Kejam Dari Masa Lalu

Mata Leanore menajam ketika tatapannya bertemu dengan 'pria itu'. Matanya mulai memanas, ia tidak menyangka akan bertemu kembali dengan Lord George de Clain.

Kedua tangan gadis itu mengepal hingga buku-buku jarinya memutih, menunjukkan seberapa dendamnya ia pada Lord.

Napasnya memburu, bahkan ia tidak lagi mempedulikan arahan dari fotographer yang terlihat bingung menatapnya.

"Sepertinya dia butuh istirahat sekarang," ujar Moa yang sedaritadi terus memperhatikan Leanore yang sepertinya ada yang sedang tidak beres dengannya.

"Tapi pemotretannya belum selesai,--"

"Bisakah ditunda sebentar lagi! Dia sedang lelah sekarang dan sangat butuh istirahat. Kalian mengertilah!" sela Moa dengan suara yang sedikit naik beberapa oktaf.

Para karyawan yang ada di sana juga fotografer dengan terpaksa menurut dan beristirahat untuk sementara waktu.

Moa dengan perlahan mendekat, ia memegang bahu Leanore, berusaha menenangkan Leanore. Ia tau jika Leanore sedang tidak baik-baik saja untuk sekarang.

"Aku tidak apa-apa. Kita lanjutkan saja pemotretannya," potong Leanore dengan cepat membuat para karyawan yang sempat menghilang di balik pintu jadi terhenti ketika mendengar ucapan Leanore di tengah ke heningan yang mendera.

Leanore pun mulai kembali melakukan pemotretan dengan berusaha tersenyum. Ia ingat bahwa ia harus bersikap profesional dalam bekerja. Lagipula ia juga di bayar.

Leanore tetap berusaha untuk tidak mempedulikan keberadaan Lord yang masih terus menatapnya dengan tatapan intens.

Leanore melakukan berbagai pose di depan kamera sambil menunjukan senyum terbaiknya juga mengganti beberapa yang akan dipromosikannya.

Hal itu terus-menerus ia lakukan sampai sesi pemotretannya selesai. Sesekali Leanore melirikan matanya menatap ke arah pintu untuk melihat apakah Lord masih ada di sana atau tidak. Leanore dibuat sedikit kaku ketika baru sadar jika Lord ternyata masih berada di sana.

"Lea, sesi pemotretannya sudah selesai. Hasilnya sangat memuaskan. Terimakasih. Sekarang kau sudah bisa istirahat. Kita lanjutkan lagi besok," ujar sang fotografer sambil melihat-lihat hasil gambarnya.

Leanore mengangguk kecil sebagai balasan. Gadis itu pun mendekati sofa pengistirahatan untuk mengambil slinbagnya yang di tadinya di lemparnya dengan asal di sana. Kemudian, gadis itu segera berlalu dari sana.

Leanore menghentikan langkahnya sejenak ketika Lord menahan lengannya yang akan pergi dari sana. Tatapan Leanore sedikit mendongak, menatap Lord yang juga sedang menatapnya. Aroma citrus mulai tercium di indra penciuman Leanore, gadis itu sedikit dibuat merinding ketika melihat aura memikat yang keluar dari tubuh Lord yang memabukkan serta tatapan tajamnya yang mengintimidasi.

Lord dibuat menahan napas, namun gadis itu tetap berusaha untuk menormalkan diri. Ia berdehem pelan sebelum mengangkat sebelah alisnya bermaksud mempertanyakan maksud Lord menahan lengannya.

Moa yang juga berada di belakang Leanore di buat terheran melihat aksi Lord yang terkesan tiba-tiba itu.

Lord yang baru sadar dengan apa yang dilakukannya pun dengan cepat melepas tangannya yang memegang tangan Leanore dan segera berlalu menginggalkan gadis itu, mendekati sang fotografer.

Leanore terdiam ketika menyaksikan aksi aneh Lord, gadis itu menatap tajam sesaat sebelum benar-benar pergi dari ruang pemotretan.

Lord memasukan kedua tangan nya di dalam saku, setelah berdiri tepat di hadapan sang fotografer yang masih belum menyadari keberadaannya, terlalu fokus melihat-lihat hasil gambar.

"Perlihatkan hasilnya!"

***

"Bagaimana dengan gudang persenjataan baru kita, apa masih aman?"

"Ma-masih, Boss." Nafas salah anak buah Righnero itu terlihat tercekat. Lord menebak dengan jelas bahwa orang itu menelan saliva dengan susah payah.

Lord menganggukkan kepalanya sejenak, matanya sedikit memincing, ketika tak sengaja melirik sesuatu. Dahi Lord mengerut menatap hal itu, tak lama setelah itu ia terkekeh sinis setelah mengetahui apa yang akan di lakukan anak buah Righnero itu.

"Apa Adrian dan Felix sudah menemukan pengkhianatnya?"

Orang itu meneguk salivanya kasar ketika mendengar pertanyaan tersebut yang keluar dari mulut Lord yang sungguh menakutkan. Ia seakan telah tertangkap basah.

"Se-sepertinya belum, Boss," ujarnya lagi dengan nada yang terbata-bata.

Lord mengangguk-anggukkan kepalanya, ia sedikit melirik pistol yang ada di saku bagian dalam jas-nya.

"Kalau begitu, kau bisa keluar sekarang," titahnya tanpa bantahan.

"Baik, Boss. Permisi," patuh anak buah Righnero, ia menghela nafas lega ketika akhirnya ia bisa bebas dari jeratan dan raut intimidasi yang keluar hanya dari diri Lord seorang.

"Satu." Lord menghitung setiap langkah kaki bawahannya.

"Dua."

Bugh!

Masih belum cukup hingga langkah ketiga, anak buah itu sudah merosot, terjatuh tergeletak di lantai dengan anak peluru yang menancap tepat di punggungnya hingga menembus jantungnya.

"Tiga."

Lord tertawa sinis, ia menatap pistol luar biasanya yang menembak salah satu anak pengkhianat Righnero tanpa adanya suara tembakan. Pengkhianat bertopeng yang selama ini selalu mengagalkan rencananya.

"Ternyata sangat mudah mendapatkanmu," ujar Lord dengan suara tertahan, ia tertawa kecil, melirikan matanya sejenak melihat Adrian dan Felix yang berdiri di ambang pintu sambil menatapnya dan anak buah Righnero yang tergeletak tak berdaya di bawah lantai secara bergantian.

Tanpa berbicara Lord menggerakkan jemarinya, bermaksud menyuruh kedua orang kepercayaannya itu untuk membersihkan mayat ini tanpa meninggalkan jejak apapun.

Tangan Lord terulur, mengambil sebuah alat penyadap suara yang sangat kecil yang tadi nya sempat ditempel oleh anak buah Righnero itu dengan laser merah yang terus menyala, menunjukkan jika alat penyadap itu sedang bekerja.

Lord memang sangat jeli dan teliti, untungnya matanya sempat menatap anak buah itu yang sedang menempelkan sebuah alat penyadap di samping mejanya di saat matanya hampir lengah.

Lord menatap sekilas alat penyadap suara itu sebelum benar-benar menembaknya hingga hancur.

"Kenapa kau menembaknya?" tanya Adrian yang baru datang dari luar setelah urusan nya yang membereskan mayat dan menghilangkan jejak telah selesai.

Lord terdiam untuk sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Pengkhianat memang harus segera dihancurkan."

Setelah mengucapkan itu, Lord berdiri dari duduknya, berjalan menuju sudut dinding ruang kerjanya. Sementara Adrian terus memperhatikan.

Lord melirikan matanya sekilas, menatap Adrian yang masih terus melihat ke arahnya. Lord menempelkan telapak tangannya di permukaan dinding yang sangat rata.

Sret.

Adrian dibuat tercengang ketika dinding tersebut dengan sendirinya terdorong ke samping hingga menampakkan ruang rahasia di dalamnya. Permukaan dinding yang sangat rata membuatnya tidak percaya jika di balik dinding itu ternyata menyimpan sebuah ruangan lagi.

Adrian mengikuti langkah Lord yang sudah masuk duluan di dalam ruangan.

Sret.

Adrian tersentak kaget ketika dengan sendirinya pintu ruangan itu langsung tertutup dengan sendirinya saat Lord sudah masuk melewati pintu itu. Untung saja tangan dan bagian tubuhnya tidak terjepit.

Tatapan Adrian langsung terhenti tatkala melihat Lord yang tengah sibuk merakit sebuah bom yang sebesar genggaman tangan. Adrian dengan perlahan melangkahkan kakinya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Adrian.

Lord terus menyelesaikan pekerjaan untuk merakit bom itu tanpa mempedulikan keadaan Adrian. Tidak sampai membutuhkan waktu satu jam, Lord akhirnya selesai mengerjakan benda itu karena dari kemarin ia sudah merakitnya, yang dikerjakannya hanya sisanya saja sekarang.

Lord membawa bom sekecil genggaman tangan dan sedikit berat di menuju Adrian yang kini sedang tertidur dengan posisi duduk, dan tanpa perasaan Lord menendang kaki Adrian hingga pria itu terlonjak kaget. Adrian langsung memperbaiki posisi duduknya dan menatap Lord dengan tatapan tidak bersahabat.

Lord meletakkan bom tersebut di atas meja.

"Letakkan ini di gudang persenjataan baru bagian selatan," tukas Lord dengan tatapan datarnya. Matanya tidak kunjung berhenti menatap bom hasil rakitan Lord. Adrian tertawa dengan nada mencemooh.

"Really? Kau ingin meletakkan bom sekecil itu di sana?" Adrian kembali tertawa mengejek, seakan-akan mengejek bom yang dirakit sendiri oleh tangan Lord.

Lord tersenyum miring, tidak terpengaruh sedikitpun oleh ejekan Adrian.

"Apa aku harus mencobanya padamu di sini, agar kau bisa merasakan apa yang bisa dilakukan bom ini?" tanya Lord dengan tangan yang memegang sebuah remote pengontrol bom.

Lord terkekeh mengejek, ketika melihat wajah pucat Adrian, pria itu bahkan langsung menghentikan tawanya yang sempat pecah.

"Tidak usah!" sela Adrian cepat, ia segera merampas bom itu di atas meja.

"Dimana aku harus meletakkan ini?"

"Cari tempat tersembunyi."

Adrian mengangguk mengerti, ia matanya memperhatikan bom itu yang ada di tangannya dengan seksama.

"Apa fungsinya?" tanya Adrian, Lord tak menjawab, ia berdiri dari duduknya dan berjalan untuk keluar dari ruangan rahasia itu dengan tangan yang memegang remote control bom.

Adrian yang melihat kepergian Lord langsung berdiri dari duduknya dan ikut keluar dengan Lord.

Sret.

Adrian menghela napas lega ketika ia sempat sampai di luar, untung saja dia tidak terkurung dan membusuk di dalam ruangan itu karena ia yakin Lord tidak akan mau mengeluarkan dirinya lagi.

Lord yang akan keluar dari ruangan menghentikan langkahnya. Lord berbalik, menatap Adrian sesaat.

"Amankan seluruh persenjataan yang ada di gudang persenjataan baru dan,-" Lord menjeda, wajahnya tersenyum menyeringai.

"--segera gantikan dengan senjata-senjata palsu." Kembali, Lord melanjutkan langkah nya. Ia berjalan menuju ke arah kulkas dan mengambil botol wine di dalam, meneguknya hingga tandas.

***

Bersambung.