Chereads / Falling To The Lord Of Mafia / Chapter 7 - Terluka Untuk Melindunginya

Chapter 7 - Terluka Untuk Melindunginya

Lord meringis kecil ketika seorang dokter melepas anak peluru yang bersarang di lengannya. Ia mengalihkan pandangan ke depan, menunggu dokter itu selesai membersihkan dan mengobati lukanya.

Lord sedikit beruntung karena tembakan musuh meleset saat melepas anak pelurunya hingga hanya lengannya yang terkena tembakan. Setelah luka Lord berhasil di bersihkan, kini dokter itu pun keluar. Lord melirikan mata sejenak, menatap lukanya yang sudah di perban.

"Kau sudah sembuh?" tanya seseorang yang baru saja memasuki ruangan.

Lord tak menjawab, tanpa perlu memutar tubuh lagi, ia tau jika yang saat ini tengah memasuki ruangan itu adalah Adrian.

"Aku baru saja membereskan semua kekacauan di gudang persenjataan baru kita."

"Bagaimana dengan Felix?" tanya Lord tanpa menatap sedikitpun ke arah Adrian yang saat ini tengah duduk di atas sofa.

"Dia baik-baik saja." Adrian berpikir sejenak.

"Aku masih bingung kenapa putri Mr. Richard bisa ada di situ?" tutur Adrian pada dirinya sendiri karena ia yakin Lord tidak akan menjawab pernyataan yang menurutnya tidak penting. Adrian mengusap dagu.

"Dimana dia?" tanya Lord dengan menunjukkan ekspresi dinginnya.

"Saat ini Leanore juga tengah di rawat di sebelah ruanganmu."

Setelah kejadian tertembaknya lengan Lord, saat itu juga Leanore jatuh pingsan di pelukan Lord. Lord terdiam dengan menampakkan ekspresi yang sulit untuk di jelaskan.

"Kau mau kemana?" Adrian di buat bingung ketika melihat Lord berdiri dari duduknya untuk keluar dari ruangan. Lord tak menghiraukan ucapan Adrian, pria itu malah melenggang pergi begitu saja.

"Tunggu! Aku ikut." Adrian berlari, mengikuti langkah Lord.

Adrian berusaha mengulum senyum ketika melihat Lord memasuki sebuah ruangan dimana di dalamnya terdapat seorang gadis yang sedang duduk melamun dengan tubuh bersandar dia atas kepala ranjang.

Lord terdiam sesaat sebelum benar-benar masuk ke dalam ruangan itu.

"Hei, Nona," sapa Adrian menyadarkan Leanore yang terus saja melamun. Bahkan gadis itu tidak menyadari kedatangan mereka sedikit pun.

Lord menempatkan diri tepat di samping Adrian.

"Untuk apa kalian ke sini?" Gadis itu bertanya seraya memalingkan wajah. Mata gadis itu terlihat memerah ketika melihat Lord. Lord hanya menarik napas pelan, tidak mengeluarkan suara atau berniat menjawab pertanyaan gadis di hadapannya.

"Pergilah," pinta Leanore masih memalingkan wajah. Dari raut wajah gadis itu, Lord sangat tahu bahwa gadis itu masih terlihat takut padanya.

Ucapan Leanore membuat Adrian terdiam, ia tau apa yang sedang ada di pikiran gadis itu. Lord bergeming di tempat, ia menatap intens wajah Leanore yang perlahan mengeluarkan air mata.

"Kenapa kalian masih di sini?" Leanore berujar dengan ketus tapi bibirnya bergetar ketika mengucapkan kalimat itu, "Pergilah!"

Lord dengan perlahan berjalan mendekat hingga suara ketukan sepatu pantofel yang beradu dengan lantai membuat Leanore semakin gugup. Gadis itu terlihat meremas ujung selimut yang di yang di gunakannya seraya memejamkan mata.

Lord hanya menatap gadis yang tengah memejamkan matanya takut itu, tidak melakukan apa-apa. Beberapa saat kemudian, mata gadis itu terbuka dan bersitatap dengan Lord yang belum mengalihkan pandang sedikit pun.

"K-kau, mau apa ke sini?" tanya gadis itu dengan gugup. Adrian yang melihat itu terkekeh kecil, ia tau jika raut intimidasi Lord selalu berhasil membuat orang-orang merinding.

Adrian dibuat berdecak ketika terdapat sebuah pesan dari Felix yang mengharuskannya untuk ke sana. Tanpa berpamitan dengan Lord, Adrian pun keluar dari ruangan itu. Padahal dia masih ingin menyaksikan wajah Leanore yang ketakutan karena Lord.

Lord tak menjawab, ia terus menatap intens gadis itu, kemudian mata pria itu beralih melirik lengan Leanore yang di perban sama seperti dirinya.

"Pergilah! Jangan menggangguku! Apa kau masih tidak puas telah membunuh keluargaku!" raung Leanore dengan tatapan tajamnya. Namun air mata terus mengalir membasahi pipi gadis itu.

Lord masih belum membuka suara. Mendengarkan dengan baik segala amarah yang di tumpahkan Leanore padanya.

"Jika kau memang ingin membunuhku juga, segera lakukan! Karena aku juga ingin mati sekarang juga!" teriak Leanore dengan wajah memerah menahan emosi.

"Baiklah, jika kau tidak ingin membunuhku! Maka biar aku saja yang lakukan! Semoga kau puas setelah ini! Karena aku juga memang tidak sanggup hidup sendiri di dunia ini." Leanore meraih sebuah pisau buah yang ada di atas meja hal itu membuat mata Lord memincing tajam.

Gadis di hadapannya membalikkan ujung pisau yang berkilat tajam di depan perutnya. Lord yang melihat hal itu segera menahan tangan gadis itu sehingga pisau buah tersebut mengoyak telapak tangannya yang masih berusaha menghentikan aksi bunuh diri dari Leanore.

"Lepaskan, Lord! Aku ingin mati sekarang!" raung gadis yang tengah ia tahan tangannya itu, berusaha menarik pisau yang setengah lagi di genggamnya.

Lord memejamkan mata menetralisir rasa sakit dan perih yang mendera tangannya yang tertusuk pisau tajam. Meskipun hanya tertusuk pisau buah biasa, namun itu tetap saja luka yang bisa membuat seorang manusia merasa kesakitan. Lord juga manusia biasa. Pisau itu menggeret telapak tangannya begitu dalam.

Lord menghirup napas sejenak sebelum benar-benar menarik pisau tersebut dari tangan Leanore dengan sekali hentak.

Pisau tersebut pun terpental jauh di lantai dengan sisa darah yang terdapat di ujungnya.

"Kenapa kau menahanku! Bukankah kau senang jika aku mati! Kau pasti akan puas jika membunuh hampir seluruh keluarga Richard!" teriak gadis itu dengan raut wajah penuh amarah. Lord bergeming sebentar, membiarkan gadis itu meluapkan amarahnya. Begitu tidak ada suara dari gadis di hadapannya lagi, Lord menghela napas.

"Aku hanya akan membunuh orang yang memang layak untuk dibunuh." Setelah sekian lama terdiam akhirnya Lord membuka suara. Menatap gadis itu lekat, tajam namun penuh akan sorot penjelasan yang begitu dalam.

Tatapan yang biasanya sangat tajam seperti belati itu mendadak berubah melembut dan itu hanya di tunjukkan untuk Leanore seorang.

"Aku memang layak kau bunuh, karena aku merupakan anak dari pembunuh orang tuamu! Jika daddy-ku telah membunuh orang tuamu, maka kau juga harus membunuh anaknya! Kau akan sangat puas! Minggir, Sialan!" teriak Leanore masih tidak puas dengan ucapan Lord. Melihat gadis itu yang hendak mengambil pisau itu kembali, Lord segera menahan dengan tubuhnya.

Gadis itu masih terus memberontak, begitu keras kepala, sehingga Lord dengan sekali sentak menarik tubuh gadis itu sehingga membentur dada bidangnya.

Lord memeluk lembut tubuh Leanore, mengukungnya di dalam lengan kekarnya. Lord berusaha meyakinkan gadis itu dengan pelukannya, bahwa ia tidak ada sedikitpun niatan buruk untuk gadis itu.

"Jangan lakukan itu, Leanore," lirih Lord tanpa sadar, ia bisa merasakan tubuh yang berada di dekapannya itu pun menegang atas kalimat yang ia ucapkan.

***

Bersambung.