New York, Amerika serikat.
Lord melangkahkan kakinya, memasuki Perusahaan George dengan stelan jas mahal dengan beberapa bagian dalam kancing kemeja yang terbuka, juga tanpa menggunakan dasi.
Ketukan sepatu pantofel yang beradu dengan lantai mengundang seluruh atensi orang-orang yang ada di sana. Lord yang menjabat sebagai pemilik sekaligus Chief Executive Owner perusahaan George mendudukan dirinya tepat ujung meja yang selalu menjadi tempat duduk sang CEO, kepala pemimpin anggota rapat.
Lord tetap menatap datar kedepan, tak mempedulikan semua tatapan-tatapan anggota rapat yang kini masih tertuju padanya. Karena ia memang sudah terbiasa mendapat perhatian seperti itu.
Adrian yang sedari tadi juga berada tepat di belakang Lord ikut mendudukan dirinya di barisan bagian meja yang memanjang
Hari ini adalah rapat intern, di mana seluruh petinggi perusahaan, perwakilan setiap divisi dan karyawan menghadirinya. Jika dihitung, mungkin terdapat sekitar tiga puluh peserta rapat yang akan di pimpin oleh Lord.
Untuk informasi, Adrian juga ikut dalam rapat ini karena dia merupakan manager perusahaan yang sering di jadikan tangan kanan oleh Lord.
Selain karena bisa di percaya, Adrian juga sangat kompeten dalam bekerja.
"Semua sudah hadir?" tanya Lord sambil membuka laptop yang ada di hadapannya tanpa melirikan matanya sedikitpun melihat apa ada kursi yang masih kosong atau tidak.
"Semua hadir, Pak," jawab salah satu ketua divisi, mewakili yang lain.
Rapat pun di mulai, kali ini perusahaan hanya akan membahas tentang seputar masalah intern perusahaan. Mulai dari kinerja laporan setiap perwakilan, dan laporan divisi keuangan. Rapat itu berjalan cukup lama, karena ada beberapa masalah yang harus di tuntaskan saat itu juga.
Di tengah-tengah rapat, mata tajam Lord kini berfokus pada Adrian yang kelihatan tidak fokus saat rapat, pria itu sesekali mengecek ponsel yang bersembunyi di bawah meja.
Setelah rapat selesai, kini semuanya keluar terkecuali Lord yang masih terus menatap Adrian dengan alis terangkat. Adrian mengehela nafas panjang ketika akhirnya rapat selesai juga.
"Lord,--" Adrian berjalan mendekati Lord yang kini masih duduk di kursi dengan kaki kiri yang di lipat di atas kaki kanan.
"Gudang persenjataan baru bagian selatan kita di serang oleh segerombolan mafia yang berasal dari Italy. Felix baru saja melaporkan padaku dan saat ini mereka sedang lengah, mereka kalah jumlah. Gerombolan dari mafia Italy datang dengan membawa lima helikopternya, dan,--" Adrian meneguk ludahnya.
"Mereka juga kini sedang mencuri beberapa senjata api kita. Aku menduga jika orang-orang itu merupakan suruhan dari Martinez. Kemungkinan dia ingin balas dendam karena kita ikut campur dalam kasusnya."
Lord terdiam, tapi tak lama kemudian bibirnya tersungging miring, tak sedikit pun ada reaksi ketakutan di wajahnya. Adrian yang melihat itu menaikan alisnya, di tengah-tengah kepanikan seperti ini, Lord malah biasa saja.
"Kau takut?" Hanya kata itu yang keluar dari mulut Lord, tapi hal itu sukses membuat Adrian membulatkan matanya karena merasa tersindir dengan ucapan Lord.
"Bagaimana aku tidak takut kalau gudang persenjataan baru kita di serang dan beberapa senjata api kita mungkin telah di curi sekara,--" Adrian terdiam dan menutup mulutnya rapat-rapat ketika Lord kini mengeluarkan sesuatu dari dalam lacinya dan menunjukkannya pada Adrian.
"Masih takut?"
"Tentu saja! aku masih belum percaya dengan bom kecil hasil rakitan darimu!" Adrian memang masih belum percaya dengan bom hasil rakitan Lord.
Lord tak menjawab lagi ucapan dari Adrian.
"Perintahkan Felix dan seluruh anggota Righnero untuk meninggalkan gudang persenjataan itu," titah Lord tanpa bantahan.
Bahkan saat Adrian kembali membuka suaranya Lord memberi isyarat melalui tatapan matanya agar Adrian tidak berbicara lagi.
Adrian yang langsung menangkap isyarat dari Lord langsung mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
***
Lord menatap gerombolan mafia dari Italy melalui layar monitor yang ada di hadapannya.
Ya, Adrian memang sudah menempelkan beberapa CCTV di dalam gudang persenjataan itu, tentunya hal itu ia lakukan atas perintah Lord.
Mata Lord tetap fokus menatap para gerombolan mafia Italy yang saat ini tengah mencuri semua senjata-senjata yang ada di dalam itu.
Lord terkekeh mengejek dalam hati melihat kebodohan para mafia itu yang mencoba mencari keuntungan.
Tidak tau kah mereka kalau itu hanya senjata-senjata palsu?
"Kapan kau akan menjalankan rencanamu?" tanya Adrian yang terlihat jengah karena Lord hanya memperhatikan layar monitor saja tanpa berbuat apa-apa.
"Sekarang." Lord tersenyum miring. Ia menekan alat pengendali bom yang ada di tangan nya, dan dalam sekejap bom itu meledak dengan kuat. Menghancurkan seluruh gudang-gudang persenjataan juga orang-orang yang ada di dalamnya.
Lord terkekeh kecil dalam hati mendengar suara jeritan yang tertahan. Seakan-akan hal itu merupakan sebuah hiburan bagi nya.
Adrian menatap tak percaya hasil rakitan bom dari Lord.
Saat Adrian hendak berbicara, suara panggilan yang berdering di tengah keheningan itu mengundang atensi Adrian yang hendak membuka mulut.
Ponselnya berbunyi, Adrian mengabaikan.
Satu kali. Dua kali, di penelpon tidak menyerah.
Adrian pun meraih ponselnya yang terus berdering di atas meja. Adrian menerima panggilan tanpa melihat si penelpon.
"Maaf, Adrian. Felix ... dia terkena ledakan bom," lapor seseorang dari arah sebrang telepon.
"Apa maksudmu! Aku sudah menyuruhnya mengamankan diri! Kenapa bisa seperti itu!" teriak Adrian dengan raut wajah marah.
Lord yang mendengar karena speaker yang di aktifkan oleh Adrian menajamkan tatapan nya. Tangannya ada berada di atas meja terkepal erat.
"Aku tidak tau, tiba-tiba dia berlari mendekati gedung sesaat sebelum bom berhasil di ledakkan. Tolong bantu kami! Saat ini ada sebagian dari gerombolan mafia Italy yang berhasil menyelamatkan dari ledakan bom dan mereka kembali menyerang anak buah Righnero yang masih berada tidak jauh dari gudang itu. Jumlah mereka terus-menerus bertambah, helikopter baru kembali muncul. Arrgghh!"
Panggilan telpon langsung mati sesaat setelah anak buah Righnero berteriak kesakitan.
Lord menggertakkan giginya penuh amarah. Ia berdiri dari duduk nya dan menatap Adrian.
"Kerahkan seluruh anggota Righnero untuk melawan dan segera bawa helikopter ke sini!" titah Lord dengan bergumam, menahan amarah yang membuncah.
Lord mengangguk tanpa menjawab, dia pun mulai melaksanakan perintah dari Lord yang saat ini tidak ingin dibantah.
Ternyata sangat sulit dari yang di kira! Karena mengalahkan Mafia Italy tak semudah yang di bayangkan.
Lord ingin menaiki helikopter karena ia memang ingin cepat sampai.
Lord kembali mendudukan dirinya di layar monitor, memperbesar layar untuk melihat bagaimana penyerangan mafia Italy terhadap kelompok Righnero. Giginya kembali bergemelutuk menatap Felix yang saat ini terbaring dengan lemah dengan beberapa tubuh mengalami luka karena mengelupas, dan beberapa anggota Righnero mencoba melindungi tubuh Felix dari tembakan mafia Italy.
***
Bersambung.