Tujuh tahun sudah berlalu sejak saat 'itu'. Lord kini tengah melangkahkan kakinya, memasuki gudang bawah tanah yang menjadi markas Righnero selama beberapa tahun terakhir.
Semua para anggota Righnero yang menyadari kehadiran sang boss besar mulai menghentikan aktivitas mereka masing-masing dan menatap satu objek yang ada di hadapan mereka.
Tanpa mempedulikan tatapan para anggota Righnero, Lord mendudukan dirinya di kursi kebesarannya, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja. Tatapan tajam nya menghunus semua yang ada di sana. Hal itu membuat para anggota Righnero menunduk, tak berani menatap Lord George de Clain - sang penguasa dunia underground.
"Kasus Martinez masih belum selesai di tangani. Itu semua karena strategi yang di buat saat melakukan penangkapan Martinez, terbongkar. Kita hampir menangkapnya, tapi ada yang mencoba membantu." Lord menjeda, tatapan semakin tajam dengan raut intimidasi di dalamnya.
"Siapa yang berani berkhianat di sini?"
Semuanya hening, para anggota Righnero tak ada satupun yang mengaku.
"Baiklah, jika kalian tidak ada yang mengaku. Aku yang akan mencari tahu nya sendiri." Lord melirik sekilas pada salah satu ballpoint di dalam desk set di atas mejanya.
"Besok, kita akan melakukan penyelidikan kembali tentang kasus Martinez sebelum benar-benar mengangkap nya." Lord meraih salah satu ballpoint di desk seatnya yang sedari tadi menarik perhatiannya. Lord membuka ballpoint tersebut. Seperti dugaannya, terdapat sebuah penyadap di dalamnya. Lord, Felix dan Adrian pun saling berpandangan penuh arti.
"Aku ingin kalian membantuku mencari pengkhianatnya," ucapnya dengan suara tertahan. Tanpa menunggu jawaban dari kedua teman kepercayaannya. Lord berdiri dari duduknya, berjalan angkuh meninggalkan markas Righnero.
***
Leanore kini terduduk di depan meja riasnya, gadis itu menatap setiap penjuru kamarnya.
Bertahun-tahun di sini, ia bagaikan seorang putri. Tinggal di mansion bergaya Eropa yang begitu megah dan mewah. Betapa beruntungnya Leanore menjadi seorang anak billionaire yang hartanya tidak pernah habis hingga tujuh turunan, bahkan banyak orang pasti menginginkan posisi Leanore.
Tapi tidak ada yang tau bahwa Leanore tidak menginginkan kehidupan seperti ini. Dia memang kaya, apapun yang di inginkannya pasti akan terkabulkan.
Tapi bukan kehidupan ini yang diinginkannya. Ia menginginkan semua keluarga nya untuk kembali. Ia ingin kembali seperti dulu lagi. Ia ingin memiliki tempat pulang yang benar-benar tempatnya 'pulang' jika ia lelah menghadapi kerasnya dunia.
Leanore menatap dirinya di depan cermin, matanya sembab karena terus-menerus menangis, dan terdapat lingkaran hitam di bawah matanya. Selama tujuh tahun terakhir, Leanore tidak bisa tidur dengan nyenyak. Setiap malam ia selalu menangis, merindukan keluarga nya.
"Lea, jangan menangis, tidak apa-apa." Sienore berdiri di samping Leanore, mengelus bahu kakaknya itu. Ia tersenyum menenangkan.
Leanore memandangi Sienore dari arah cermin. Tanpa sadar air mata mulai kembali luruh dari matanya. Gadis itu mulai menangis dan terisak kecil.
"Pergilah Sie! Jangan terus-menerus ada dalam bayanganku," usir Leanore dengan halus. Ia tau jika penyakit sindrom yang ia derita mulai datang lagi.
Leanore menghembuskan napas pelan ketika dalam sekejap Sie langsung menghilang dari pandangannya setelah mengucapkan kalimat itu.
Leanore menurunkan tatapannya, ia melirikan matanya sejenak menatap majalah yang ada di tangannya. Matanya menajam menatap sebuah foto yang ada di dalam majalah tersebut. Foto Lord yang akhir-akhir ini sering menjadi perbincangan banyak orang. Selain karena wajahnya yang sangat tampan, Lord juga terkenal menjadi seorang pembisnis yang hebat.
Drttt ... drttt ....
Bunyi telepon yang menggema di kamar luas itu mengundang atensi Leanore. Tanpa membuang waktu lagi, gadis itu segera mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja rias-nya dan mulai mengangkat panggilan yang ternyata dari Moa - gadis yang menjadi asisten pribadi yang merangkap menjadi manager selama memasuki dunia permodelan.
"Halo," sapa Leanore dengan suara seraknya.
"Kenapa kau masih lama! Aku sudah menunggumu di depan perusahaan George Company selama satu jam lebih, tapi kau tidak kunjung datang-datang. Ingat! hari ini kau akan melakukan pemotretan di perusahaan itu untuk pertamakalinya! kau juga di gaji dengan harga tinggi, jadi datanglah dengan tepat waktu. Jangan membuat mereka kecewa."
Leanore mengusap kupingnya yang mendadak sakit mendengar suara cempreng dari Moa.
"Sebentar lagi aku akan datang." Tanpa menunggu balasan dari Moa lagi, Leanore pun mulai mematikan panggilannya.
Leanore mulai bersiap-siap. Gadis itu mulai mengaplikasikan make-up, foundation dan bedak di wajahnya agar kelopak bawah mata hitamnya tidak begitu nampak dan terlihat samar. Tak lupa, gadis itu juga mulai mengganti pakaian rumahnya dengan pakaian yang cocok di gunakan ke kantor, juga tak lupa untuk mengurai rambutnya membentuk curly.
Drtt ... drttt ....
Dering telepon yang kembali menggema membuat tangan Leanore yang akan mengambil slinbag Leanore terhenti. Ia mengambil ponselnya, melihat nama pemanggil yang ternyata dari Moa lagi.
Leanore sedikit berdecak, Moa memang gadis tidak sabaran. Tanpa mengangkat panggilan telepon dari Moa, Leanore dengan asal memasukan ponselnya ke dalam slinbag nya dan berlari dengan stiletto setinggi sepuluh meter menuruni anak tangga tanpa takut terjatuh.
Menggunakan stiletto memang menjadi santapannya sehari-hari. Walau dulunya selalu mengalami pegal karena terus-menerus menggunakannya, sekarang tidak lagi, karena Leanore sudah terbiasa menggunakannya. Walau sesekali ia juga mengalami naik betis.
Tapi mau bagaimana lagi, Leanore memang harus menggunakannya agar tubuhnya yang sedikit pendek, sekitar tiga centi dan badan ideal.yang sebenarnya bisa tertutupi dengan menggunakan heels itu.
Sesampainya di lantai bawah, Leanore mulai berlari kembali menuju basement untuk mengambil mobilnya. Tanpa kata, gadis itu mulai memasuki mobil nya, menginjak gas dengan dalam untuk menaikan kecepatan mobilnya.
Leanore menekan klakson mobil nya berkali-kali ketika satpam penjaga gerbang tak kunjung membuka pagar.
"Menyebalkan!" gerutunya dengan menahan kesal.
***
Tatapan Lord kini fokus pada laptop yang ada di hadapannya dengan jemarinya yang bergerak seirama di atas keyboard.
Tok ... tok ... tok.
"Masuk."
Ketukan pintu dari arah luar terdengar, Lord tetap fokus pada laptop yang ada di hadapannya tanpa melirikan matanya sedikitpun menatap orang yang datang.
Adrian mendudukan dirinya di depan kursi Lord.
"Produk baru kita sudah selesai diluncurkan. Tinggal melakukan pemasaran. Brand ambassador yang akan melakukan pemotretan untuk memasarkan barang dari perusahaan kita kali ini telah datang. Apa kau ingin melihat hasilnya?" jelas Adrian.
Lord tak menjawab, tapi ia berdiri dari duduknya untuk melihat secara langsung siapa model yang akan menjadi ambasador barang-barang luncuran dari perusahaannya.
Langkah lebarnya terus menuntunnya untuk memasuki ruang pemotretan. Lord menghentikan langkahnya ketika telah sampai di dalam ruangan pemotretan.
Semua para karyawan yang melihat keberadaan sang boss besar menunduk hormat, Lord melirikan matanya sekilas menatap seorang model yang kini sedang melakukan pemotretan dengan membelakangi dirinya.
Lord terdiam di tempat ketika melihat model yang menjadi ambasador pakaian keluaran terbaru mereka berbalik menatap dirinya.
"Leanore." Lord menggumamkan satu nama tanpa sadar.
***
Bersambung.