Chereads / Ikatan Tak Dirindu / Chapter 4 - Bab 4 | Bagaimana Kata Dokter?

Chapter 4 - Bab 4 | Bagaimana Kata Dokter?

Bab 4

Bagaimana Kata Dokter?

Setelah berhari-hari dibujuk Berliana dan Mama, Safira akhirnya mau untuk memeriksakan diri ke dokter.

"Ayo, Lian kita berangkat," ajak Mama yang sudah siap mengenakan gamis dan kerudung warna coklat tua. "Mana, Kakakmu?" tanya mama melirik ke kanan dan kiri mencari Safira.

"Kayaknya masih di kamar, Ma," jawab Berliana yang tak kalah rapinya mengenakan kerudung dan gamis hijau pastel.

"Lha, gimana ini, bukannya harusnya dia udah siap?!" Papa yang yang juga sudah rapi dengan suara agak meninggi wajahnya tampak sedikit kesal.

"Sabar, Pa," Mama mengusap-usap dada papa. "Mohon, Pa. Kejadian kemarin jangan terulang lagi. Kita udah sepakat kan?" ucap mama mengingatkan.

Diingatkan demikian, Papa membayangkan saat ia dan istrinya keluar dari kamar Safira. Di kamar mereka berdebat panjang lebar.

Papa diingatkan, dalam kondisi Safira yang masih labil, tidak bijak jika disalahkan. Maman juga mengingatkan Papa agar lebih sabar, demi menjaga kondisi psikologis Safira biar tidak makin tertekan.

Papa masih mengingat pesan mama agar mendukung Safira agar bisa menghadapi pulih dari trauma yang kini tengah dihadapinya.

"Baik, Ma," kata Papa mencoba memendam emosi negatifnya. "Makasih, udah ngingetin," lanjutnya dengan nada yang tenang.

Papa sudah menyadari kesalahan yang dilakukannya, yaitu menyudutkan Safira. Saat ini dia belum sempat meminta maaf. Dia masih mencari waktu yang tepat untuk mendekati putri pertamanya itu.

"Lian Sayang, kamu gih yang samperin Kak Fira," pinta Ayah.

"Oke, Pa. Aku coba," ucap Berliana langsung melangkah menuju kamar Safira.

Ketika sudah masuk kamar kakaknya, Dia pelan-pelan membujuk Kakaknya yang masih menutup tubuhnya di balik selimut.

"Kak, Mama dan Papa udah nunggu," Berliana berkata perlahan, Dia memegangi pundak Kakaknya, "Ini demi kebaikan Kakak. Ayo Kak, lekas."

"Aku takut, Lian," keluh Safira. "Aku takut...."dia mengucap dua kata itu berulang-ulang.

"Aku paham, Kak," ucap Berliana. "Tapi ini penting, biar kita sekeluarga bisa terus support Kakak. Ini dilakukan demi Kakak," Berliana merangkul Kakaknya.

Kemudian sang adik menggenggam tangan kakaknya kuat-kuat. "Apapun yang terjadi, insya Allah kita akan melalui ini semua sama-sama, Kak."

Ucapan adiknya sedikit membuatnya lebih tenang sekalipun ketakutan di jiwanya masih begitu mendominasi.

Papa tiba-tiba muncul dari pintu kamar yang sedari tadi masih terbuka. Perlahan dia menghampiri kedua putrinya.

Menyadari kehadiran papa, Safira memalingkan muka. Hatinya masih tak terima mengingat beberapa hari kemarin dia disudutkan. Sama sekali dia tak mau memandang papanya. Papanya juga paham, tandanya berarti Safira masih marah padanya.

Papa berpikir, apakah yang bisa ia lakukan dalam kondisi tersebut. Dia memandangi, kedua putrinya secara bergantian. Saat memandangi Berliana, dia melempar kode agar membujuk lagi kakaknya.

"Ayo, Kak. Kita berangkat..." Berliana beranjak sambil memegangi tangan kakaknya. Tak lupa dia singkirkan selimut yang masih menutupi tutuh kakaknya.

Menyaksikan Safira yang masih mengenakan baju tidur, Papa berpikir lagi. Masa iya, ke dokter berpenampilan seperti itu.

Papa melangkah mendekati lemari pakaian. Dia segera membuka pintu lemari. Dia mengambil beberapa potong pakaian atas dan bawahan. Lalu membawanya ke hadapan Safira.

Safira yang masih acuh pada papanya, kini bersitatap dengannya. Dia merasa ganjil, kok papanya tiba-tiba berubah begini, tidak seperti yang sebelumnya.

"Nak, pilih dulu mana koleksi pakaian yang kamu suka," kata Papa. "Lian, kamu bantuin kakakmu ya," papa mengedipkan matanya ke arah Berliana.

"Ok, sip, Pa," Berliana membalas dengan membentuk simbol welldone dengan jemari tangan kanannya.

"Papa tungguin kamu di depan pintu ya," ucap papa sambil melangkah keluar. Dia menutup pintu kamar putrinya.

Beberapa menit kemudian, Safira dan Berliana membuka pintu.

Papa menyaksikan Safira sudah siap dengan mengenakan salah satu pakaian yang tadi dia pilihkan. Dia mengenakan blouse biru dengan bawahan rok panjang berwarna senada..

Namun ada yang berbeda. Padahal, barusan tadi papa merasa tak memilihkan kerudung untuknya. Safira mengenakan kerudung pashmina panjang.

Papa teringat, bukannya pashmina itu pernah dia hadiahkan saat papa pulang umrah tahun lalu?

Sekalipun kerudung itu belum sempurna menutupi kepala dan bagian dada Safira, hanya dililit sembarang, masih memperlihat rambutnya, namun pemandangan itu membuat pangling sang papa.

Papa menatap Safira agak lama. Luar biasa bahagia melihat penampilan putrinya.

"Ayo, masuk mobil, Mama dari tadi udah nunggu di mobil," ajak ayah, sambil meraih tangan Safira.

Safira lagi-lagi merasakan sesuatu yang beda. Papa lebih hangat dan perhatian dari sebelum-sebelumnya. Safira tidak menolak, dia menurut mengikuti langkah papanya sembari digandeng Berliana.

***

Usai mengikuti rangkaian pemeriksaan dokter. Safira dan mama duduk menunggu di ruangan dokter. Sementara Berliana dan papa, duduk di ruang tunggu rumah sakit.

Beberapa saat kemudian, dokter yang ditunggu datang. Dia duduk berhadapan dengan Safira dan mama yang sedari tadi tampak tegang.

"Jadi bagaimana hasilnya Bu Dokter?" tanya mama, sedikit gusar.

Kemudian dokter itu menjelaskan bahwa memang telah terjadi kerusakan pada hymen (selaput dara).

Mendengar penjelasan itu, Saifra menunduk. Ya Tuhan, apakah masih ada masa depan untukku?

Lantas dokter itu menyerahkan amplop yang berisi hasil pemeriksaan itu.

"Saya turut berduka atas kejadian ini," ucap dokter. "Semoga hasil pemeriksaan ini bisa ditindaklanjuti dan bisa dijadikan sebagai bukti untuk menyeret pelaku biadab itu," jelas dokter berempati.

"Iya, terima kasih, Dok," ucap Safira. Dia berjanji pada dirinya sendiri, dia tidak akan berdiam diri, membela hak-haknya sebagai seorang wanita. Setan itu harus mendapatkan ganjaran setimpal sesuai perbuatannya, tekad Safira.

Mama dan Safira keluar dari ruangan dokter. Saat keluar, papa dan Berliana yang dari tadi menunggu segera menghambur.

"Yuk langsung, pulang. Ngobrolnya nanti di dalam mobil aja," ucap mama.

Papa dan Berliana mengangguk. Keduanya menatap Safira yang dari tadi lebih memilih menunduk.

"Okey... kalau begitu, kalian jalan sebentar ke depan, Papa ke parkiran. Kita ketemu di depan ya."

Papa berjalan sangat tergesa-gesa menuju parkiran. Dia segera melajukan kendaraannya, menghampiri tiga wanita yang sudah menunggu di bagian depan, tak jauh dari gerbang rumah sakit.

Setelah semuanya lengkap, mobil kembali melaju.

"Ma, Pa... aku sudah tak gadis lagi," tangis Safira pecah. Papa dan mama bisa menyaksikan raut kesedihan mendalam di wajah putrinya melalui kaca spion dalam. Fokus papa terpecah, tetap awas memperhatikan jalan, dan sesekali mengintip Safira.

"Papa nggak akan biarkan penjahat itu lolos!" suara papa geram.

"Kita harus ke kantor polisi sekarang juga," timpal mama.

"Tapi, Pa. Sekadar bukti dari dokter itu apa cukup?" tanya Berliana.

Mama dan Papa saling pandang. "Maksud kamu harus ada bukti lain, bukti apa kira-kira?" tanya mama.

Berliana mengusap-usap pundak Kakaknya yang masih sesenggukan. "Kak, mungkin kakak punya bukti lain yang bisa melengkapi."

"Malam itu aku tak bisa melawan karena pengaruh obat," kata Safira. "Tapi, aku sempat memfoto wajah iblis itu. Aku masih menyimpannya. Ada di hape. Aku foto wajah dia dan juga plat nomornya..."

Safira sangsi apakah itu bisa menjadi bukti kuat. "Itu bisa dijadikan bukti?"

Semua masih tertegun.

"Kita coba saja. Papa ingin dia menanggung hukuman setimpal atas perbuatan bejatnya!"

Papa mengubah rute arah mobilnya. Dari yang tadinya mau pulang langsung ke rumah, kini kendaraan itu melaju menuju kantor polisi.

"Sini, Papa pengen lihat wajah penjahat itu?"

Safira mengambil hapenya. Dia membuka galeri dan menekan salah satu gambar. Lalu dia menyerahkannya kepada papanya.

Papa mengamatinya dengan saksama. Rasanya dia pernah melihat wajah itu. Dia mencoba mengingat-ingat.

"Ma, coba liat..." kata papa seraya mendekatkan foto itu ke arah istrinya. "Pa, bukannya dia ini putra bungsu Pak Ustaz Reza ya, siapa namanya?"

"Sagara..." jawab Papa, "Apa jangan-jangan mirip," lanjutnya.

Mendengar nama lelaki itu disebut, Safira terhenyak. "Papa kok bisa tahu namanya?"

"Kan Ustaz Reza itu ustaz Favorit Papa," jawab Papa. "Astagfirullah, bisa-bisanya anak itu... " papa tak bisa berkata-kata lagi. Kerongkongannya tercekat!

Bersambung...