Ya Tuhan, mengapa dunia ini tiba-tiba gelap teramat pekat dan mencekam? Padahal jauh-jauh hari aku sudah merencanakan kebahagiaanku bersamanya. Bersama Queenku...
Dunia Ben kini menggelap, lebih gelap dari jutaan malam yang telah dilaluinya. Selama ini, segelap apa pun malam yang dijalaninya, tetap saja indah karena di langit hatinya ada satu bintang, yaitu Safira yang selalu ia sayang setulusnya.
Malam itu, Benua termenung sendiri di kamarnya yang gelap tanpa nyala lampu. Dua memang sengaja mematikan lampu di kamarnya.
Sekalipun hatinya mencoba untuk tenang menghadapi masalah asmaranya ini, namun jiwanya tetap saja muncul gelisah.
Ada hitam yang semakin membesar di dadanya. Jika dibiarkan, tentu kegelapan itu akan memakan cahaya hati dan membuat jiwanya terguncang.
Dalam kegalauannya dia memainkan gawai yang tergeletak di nakas di samping tempat tidurnya. Dia meraihnya perlahan dengan rasa malas.
Sungguh beberapa hari ini jiwanya tak berenergi karena masalah besar yang mengancam pernikahannya dengan Safira.
Saat membuka media sosial, dia membaca sebuah berita viral dengan judul yang sangat fantastis dan provokatif.
VIRAL, MAHASISWI INI DIPERKOSA SAAT ACARA DI PUNCAK BOGOR!
Membaca berita viral di media sosial itu membuatnya sangat kesal. Hatinya hancur berkeping-keping.
Entahlah, apakah satu bintang di langit hatinya itu akan tetap bersinar atau justru perlahan redup hingga akhirnya mati ditelan semesta kegelapan?
Makin detil membaca kalimat demi kalimat dalam berita itu, dadanya kian panas dan sesak.
Jelas sekali berita yang share dan likenya mencapai ratusan ribu itu memberitakan calon istrinya, Safira yang menjadi korban pelecehan.
Tak kuasa, air mata Benua tumpah membasahi layar skrin gawainya.
Safira, Sayang kenapa kamu harus mengalami nasib pilu seperti ini, lirih Benua dalam hati sambil sesenggukan. Aku menyayangimu lebih dari apapun. Aku tak ingin mencampakkanmu dalam kondisi yang cukup berat ini.
Namun, aku pun sebagai laki-laki berhak mendapatkan malam pertamaku dengan pasangan yang suci dan masih murni.
Benua tak ingin membayangkan lebih jauh, bagaimana nanti seandainya dia resmi menjadi suami Safira yang sah dan mendapati istrinya itu sudah tak perawan lagi.
Lelaki tampan itu juga tak mau berandai-andai, bagaimana jadinya kalau orang tuanya tahu Safira sudah tak suci lagi.
Sementara di satu sisi, Safira menginginkan calon mertuanya tahu kondisi dia yang sebenarnya dan tidak ditutup-tutupi.
Dada Benua masih sesak, menyimpan pedih yang teramat perih. Dia kini mesti bagaimana?
Hingga saat ini, lelaki itu belum juga membicarakannya dengan orang tuanya karena ada rasa segan. Benar-benar segan, bahkan enggan.
Entah mengapa, lidahnya tiba-tiba merasa kelu dan cadel saat beberapa hari lalu mencoba berbicara empat mata dengan orang tuanya.
Emosi Benua saat ini benar-benar kacau. Dia ingin marah, tapi marah pada siapa?
Dia kesal, tapi cintanya pada Safira sama sekali tak lelang.
Ya Tuhan, aku harus bagaimana?
Lagi-lagi Benua menangis dalam suasana yang penuh luka, kecewa, dan amarah. Semua rasa itu berpadu jadi satu menciptakan emosi jiwa yang kian kacau.
Pada saat yang sama, tiba-tiba pintu kamarnya dibuka dengan paksa. Saat terbuka, suara pintu itu menyisakan kekagetan karena pegangan pintunya beradu dengan tembok di belakang pintu itu.
Di lubang pintu, papa dan mamanya berdiri dengan wajah merah dan mata menyalak.
"Ben, kamu ini apa-apaan? Mau bodohi kami?" bentak ayah Benua.
Benua tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.
Dia memandangi ayahnya. "Maksud Papa apa sih?" Suara Ben meninggi tidak seperti biasanya. Mungkin akibat rasa kesal yang terpendam berhari-hari lamanya.
"Kenapa kamu menyembunyikan kejadian yang menimpa Safira, Nak?" protes ibunya.
"Tunggu... tunggu... maksud Mama apa sih?" Benua merasa makin bingung.
Papa melempar surat kabar yang dari tadi digenggamnya. Lembaran koran itu, tepat mengenai mukanya sebelum terjatuh ke lantai.
"Kamu sengaja pura-pura nggak tahu..." bentak ayahnya.
Tal kalah ketusnya, ibunya menimpali. "Apa jadinya harga diri keluarga kita kalau mantu sudah direnggut kesuciannya lebih dulu oleh pemerkosa, hah!"
Benua kini sudah mengerti kenapa kedua orang tuanya murka.
Perlahan Benua membungkuk mengambil koran. Dalam suasana remang, dia membaca berita tentang Safira yang menjadi headline di surat kabar itu.
Dengan bantuan sedikit cahaya dari lampu masuk lewat jendela dan pintu kamar, ia membacanya semampunya. Isinya tak jauh berbeda dengan yang ia baca di media sosial.
Kenapa sampai viral begini? Benua tak habis pikir.
"Ben, segera batalkan pernikahan kamu dengan Safira. Papa dan Mamamu tidak mau menanggung malu," pinta ayah Benua tegas.
"Tidak mungkin, Pa. Aku tidak ingin membuat Safira makin hancur," tolak Benua, sama tegasnya.
"Ben, dengar apa kata Papamu. Papamu benar. Batalkan saja!" kata Ibu Benua, memaksa.
Ucapan ibunya itu makin membuat Benua terpojokkan. Nuraninya jelas menentang kuat permintaan orang tuanya.
"Jadi kalian hanya mementingkan kehormatan, harga diri. Sangat picik. Apakah kalian nggak berpikir bagaimana kondisi jiwa Safira saat ini. Ma, Pa, please mengertilah, dia hanya korban. Sudah sepatutnya kita iba padanya."
Benua mengatakan hal itu dari hati terdalamnya. Dia berharap apa yang diucapkan dari hati akan masuk ke dalam hati juga.
Namun Benua tak bisa berharap banyak. Karena dua orang yang paling disayanginya di dunia ini, melebihi apapun belum bisa memahami posisi dirinya dan Safira.
Pertengkaran antara anak dan kedua orangtuanya itu masih terus berlanjut di ruangan kamar yang gelap. Cahaya temaram muncul dari lampu ruangan rumah dan jendela kamar Benua.
"Lantas bagaimana depanku jika harus mengikuti keinginan kalian yang tak berperikemanusiaan?" tanya Benua dengan ketus. Dia membuang wajahnya karena merasa kecewa pada sikap ayah dan ibunya.
"Sayang, masa depanmu masih panjang. Kamu akan mudah menemukan wanita mana pun... Banyak gadis yang menunggumu," jelas ibunya dengan enteng.
Ucapan yang sangat klise sekaligus menyakitkan, menurut pandangan Benua. Semudah itukah kamu bilang begitu? Padahal kamu juga seorang wanita yang seharusnya lebih mengerti dibanding lelaki.
"Dengerin kata-kata Mamamu tuh," ayah Benua menimpali.
Mama dan Papa sebelas dua belas. Ke mana hati kalian? Mengapa kalian tiba-tiba menjadi manusia jahat. Kalian sama jahatnya dengan si pemerkosa itu.
Mengingat wajah Sagara yang tersebar di media sosial dan surat kabar yang barusan ia lihat, mendadak kepala Benua mendidih. Kalau saja ia bertemu dengan lelaki bejat itu, sudah pasti dia menghajarnya tanpa ampun.
Sekali lagi terbayang wajah lelaki menjijikkan itu, dalam imajinasinya dia menghujamkan ribuan tusukan ke perut dan selangkangan Sagara.
Ego Benua memuncak. Seharusnya akulah, calon suaminya yang berhak memilikinya.
Sayangnya, aku gagal menjaganya seutuhnya. Terbit penyesalan yang makin menyesaki dadanya. Jiwanya kini benar-benar terhimpit.
"Kenapa, kamu masih pikir-pikir, Ben," ucapan ayahnya membuyarkan pikiran Benua. "Sudahlah... Papa yakin kamu pasti bisa segera move on."
"Bener, Sayang. Jangan pikir-pikir lama lagi. Siap-siap ya. Lusa kita ke rumah keluarga Safira untuk segera menyelesaikan ini," ucap ibu Benua seraya menepuk-nepuk pundak putranya.
Bersambung...