Bab 5
Sirene di Tengah Hari
"Awwww!"
Saking kencangnya, teriakan itu terdengar hingga ke lantai bawah, di mana kamar kedua orang tuanya berada.
Tepat tengah malam, Sagara terbangun oleh mimpi buruk. Keringatnya bercucuran memenuhi seluruh tubuhnya.
Dia memegangi kepalanya yang terasa pening dan berat.
Dalam mimpi, dia melihat dirinya terlempar ke sebuah jurang. Di jurang itu dia disambut oleh lahar dan binatang-binatang aneh yang mengerikan.
Kenapa mimpi mengerikan ini selalu berulang? hatinya bertanya dalam kegundahannya.
Sungguh, dia belum pernah merasa jiwanya tak tenang seperti yang dialaminya sekarang ini.
Lagi-lagi dia membayangkan dirinya saat menodai Safira. Ternyata beberapa ini dia baru menyadari, itu semua hanya kenikmatan sejenak. Kini, justru dia merasakan berbukit-bukit beban menghantam jiwanya.
Beban-beban itu tak lain karena dosa besar yang telah dilakukannya. Dia sadar dan memang sengaja melakukan perbuatan nista itu. Dia memasukkan obat bius ke dalam minuman semenjak dia mengikuti perjalanan Safira saat menuju Puncak Bogor.
Mungkin setan sekarang sudah menertawaiku, pikir Sagara. Tiba-tiba dia teringat Safira saat dia memaki-maki dirinya dengan sebutan iblis dan setan. Ya, Safira benar. Aku memang layak dipanggil begitu.
Berhari-hari Sagara dihantui kegelisahan. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak. Dia juga merasa malas untuk pergi ke kampus untuk menuntaskan bimbingan skripsinya.
Ada rasa penyesalan yang memenuhi ruangan hatinya. Mengapa dirinya setega itu telah menyakiti gadis yang selamanya ini dicintainya. Mengapa dirinya telah dikuasai nafsu durjana.
Ya, Tuhan, masih adakah kesempatan bagiku untuk memperbaiki diri? Pertanyaan itu berulang-ulang memenuhi hatinya setiap hari.
Namun nasi sudah jadi bubur. Semuanya sudah terlanjur. Dia sudah terlanjur melakukan sebuah dosa besar.
Pertanyaan yang makin menghujam dadanya, bagaimana kalau Abi dan Umi tahu? Haruskah aku bercerita pada mereka?
Setelah mimpi buruk itu, biasanya Sagara tak bisa tidur sampai jelang Azan Subuh berkumandang. Kepala rasa berat. Namun anehnya, beberapa menit ke waktu salat Subuh matanya malah mengantuk berat.
Kalau saja abinya tidak memaksanya bangun dan dipaksa untuk berangkat shalat berjamaah ke masjid. Karena masih mengantuk berat, Sagara sepulang dari masjid akhirnya tidur lagi.
***
"Semalam abi dengar suara teriakan dari lantai dua, itu suara kamu ya, Nak," ungkap Ustaz Reza siang itu ketika mereka sudah berkumpul di meja makan.
Sagara mengangguk. "Mimpi buruk, Bi..." jawabnya singkat.
"Sa, akhir-akhir ini, abi perhatikan kamu kok kayak aneh. Seperti ada sesuatu yang kamu sembunyikan," ungkap sang ayah di sela-sela makan siang sambil melirik ke arah putra bungsunya.
Sagara menunduk dan menghentikan suapan di sendoknya.
"Enggak, kok. Biasa aja, Bi," balas Sagara melirik abi dan uminya secara bergantian.
Jika abinya sudah berkata seperti itu. Dia sudah takkan bisa mengelak. Dia harus mengumpulkan kekuatan untuk berkata jujur. Tak mungkin berbohong. Berbohong pun pasti akan ketahuan.
"Jangan pernah berbohong di depan abi!" ucap abi tegas.
"Ayo, Nak. Ceritalah..." ungkap umi tetap lembut membujuk Sagara.
Sekalipun di keluarga dia anak bungsu, abinya merasa tak pernah memanjakannya. Namun entah mengapa dia menjadi satu-satunya anak di keluarga Ustaz Reza yang paling aneh. Anak-anak yang lain menurut, tetapi Sagara sering kali membantah.
Hari ini tepat hari libur. Saat libur, mereka biasanya makan siang bersama. Di rumah itu hanya tinggal mereka bertiga. Kakak-kakak Sagara sudah semua berkeluarga dan sudah tinggal di keluarga kecil mereka masing-masing.
Umi dan abi memandangi Sagara, menunggu putranya berbicara. Keringat dingin membasahi tubuh Sagara. Keningnya pun berkeringat. Tubuhnya terasa panas dingin.
Secepat inikah aku harus jujur ceritakan? Hati Sagara belum sepenuh hati untuk terbuka, jujur apa adanya.
"Abi... Umi..." Nada suara Sagara sangat lemah. "Aku... aku... sudah melakukan dosa. Mungkin nanti kalian akan kecewa," Sagara mengawali.
Orang tuanya masih menunggu pengakuan sang anak. Suasana siang makin panas. Terlebih bagi Sagara.
Sagara masih terdiam menunduk. Butuh kekuatan ekstra untuk melanjutkan perkataan dan bercerita dengan jujur.
"Lanjutkan, ayo ceritalah..." kata abi. Sementara umi terlihat gusar, "Apa yang kamu lakukan, Nak?"
"Aku sudah menodai seorang gadis..." ungkap Sagara terbata-bata.
Umi menutup mulutnya sendiri dengan kedua tangannya. Syok bukan main. Sementara abi mematung. Dia menatap putra bungsunya itu tanpa berkedip. Benar-benar tak percaya atas ucapan anaknya barusan.
"Maksud kamu apa? Kamu berzina?" tanya abi dengan nada suara tinggi.
"Aku memperkosa seorang gadis tak berdosa," jawab Sagara, masih terbata-bata.
Umi dan abi mengucapkan istigfar berkali-kali.
Tak kuasa menahan marah yang sudah naik ke puncak, abi spontan berdiri. Dia mengangkat kerah baju anaknya.
Tamparan berkali-kali mengenai seluruh wajah anaknya. Wajah sagara mulai terlihat lebam-lebam. Dari hidungnya mengucur darah. Bahkan perutnya terasa ngilu karena berkali-kali terkena pukulan abi.
"Abi, sudah, tolong hentikan!" pinta umi. Namun ucapan itu sama sekali tak berguna. Ustaz Reza masih mendaratkan pukulan demi pukulan ke tubuh Sagara.
"Kamu sudah dikuasai nafsu dan setan!" abi alias Ustaz Reza nyaris mencekik leher anaknya. Namun dia masih berusaha menahan murka hingga akhirnya melepaskan tubuh anaknya.
"Abi, istigfar, Abi. Tolong hentikan!" umi kembali berucap.
"Abi gagal mendidik kamu..." ucap lelaki itu. "Ke sana kemari abi mengajak jutaan umat untuk taat kepada syariat, tapi darah daging abi sendiri kini yang bermaksiat, melanggar hukum syariat. Apa yang akan abi katakan nanti di hadapan umat?," ucap abi dengan suara pelan sambil menangis tergugu.
"Kamu sudah merusak kemuliaan dan bersihnya silsilah keluarga kita," lanjut abi. "Kamu tidak sadar risiko atas dosa yang kamu perbuat hah? Murka Allah. Abi juga ikut menanggung dosamu. Aku gagal mendidikmu. Bagaimana kalau gadis itu hamil?" abi nyaris membentak Sagara.
Sagara kembali duduk. Wajahnya masih menunduk.
Dalam suasana yang masih panas, Bell tiba-tiba berbunyi.
Sekali dua kali, suara itu diabaikan. Namun ketika bunyi terdengar berkali-kali dan di luar terdengar suara sirene, Ustaz Reza dan isteri segera mengambur ke halaman rumah.
Ketika dibuka, gemuruh suara terdengar. Sekelompok orang berseragam polisi sudah bersiaga.Warga sekitar pun mulai berdatangan.
"Selamat siang, kami ditugaskan untuk menangkap saudara Sagara Biru. Ini suratnya," ucap salah seorang polisi tampak segan. Polisi itu mengenal orang yang menerima surat itu adalah sosok ulama yang ceramahnya biasa viral di media sosial dan sering muncul di televisi.
Ustaz Reza melangkah ke dalam. Tak lama dia menyeret anaknya sendiri dan menyerahkannya kepada polisi.
"Ini, Pak orangnya...." Ustaz Reza sudah pasrah.
Sementara istrinya, bagaimana pun dia seorang ibu. Sejahat apa pun anaknya, tetap dia menyayanginya.
Dia tak kuat menahan syok, malu, dan perih yang mengiris dadanya. Tubuhnya lunglai. Dia pingsan. Ustaz Reza menahan tubuh istrinya. Dia membawa istrinya ke dalam rumah dibantu oleh Sagara.
"Umi, semuanya salahku," kata Sagara. Kelopak matanya memanas. Air mata berderai. "Maafkan aku, Umi maafkan aku karena sudah mengecewakanmu."
"Air matamu sudah tak berguna lagi, percuma," kata Ustaz Reza. "Cepat kamu pergi dari sini. Nikmatilah hidupmu di penjara. Abi tak sudi lagi melihat wajahmu."
Sagara melangkah. Dia keluar menghampiri polisi yang masih menunggu.
Politis itu hendak memasangkan borgol ke pergelangan Sagara. Lelaki itu menepisnya.
"Nggak perlu dipasang!" tolak Sagara. "Aku takkan melarikan diri," lanjutnya.
Tak dinyana, masyarakat di sekitar rumah ulama terkenal itu sudah berkumpul dalam waktu yang singkat. Sebagian ada yang melihatnya dengan simpati, tampak sedih.
Namun sebagian dari mereka ada juga yang nyinyir.
"Tiap hari sibuk ceramah nasihatin orang, eh tak tahunya anak sendiri bikin ulah," celetuk seseorang di antara kerumunan massa.
"Makanya, sebelum nasihatin orang, nasihatin tuh keluarga sendiri," yang lainnya menimpali.
Sagara menatap kerumunan massa sekilas. Dia tak kuat. Dia lebih memilih menundukkan wajahnya.
Baru kali ini dia merasakan dirinya amat terhina. Ya benar-benar terhina karena perbuatannya sendiri.
Mobil polisi yang membawa Sagara pun melaju melewati kerumunan orang yang menatap Sagara. Tatapan itu dirasakan lelaki itu benar-benar sangat menghakimi dirinya.
Bersambung...