"Hubungan rumah tangga harus dilandasi dengan kejujuran dan keterbukaan," Safira mengawali. "Aku tahu ini pahit untukku. Tapi aku tidak mau mengecewakanku, sehingga malam ini aku harus berkata apa ada padamu, Ben."
"Ya, aku sepakat," jawab Benua lugas.
"Ben, apa kamu nggak tahu berita viral?" tanya Safira saat dia bersama Benua sudah duduk di kursi halaman rumah. Di samping Safira, Berliana ikut duduk menemani.
Kenapa nanya soal berita viral sih, pikir Benua. Nggak ada pertanyaan lain apa? Benua belum memahami alur pembicaraan calon istrinya.
"Berita viral apa? Maksud kamu apa?" tanya Benua polos. Dia memang belum paham.
Mendengar jawaban seperti itu, Safira menyimpulkan bahwa Benua memang belum mengetahuinya. Mungkin dia belum sempat baca-baca berita di media sosial.
Safira menghirup napas dalam-dalam, mengumpulkan kekuatan untuk menjelaskan.
"Ben, sebelumnya aku mau minta maaf. Aku..." kerongkongan Safira tercekat, ia tak kuasa melanjutkan ucapannya. Bukan kata-kata lagi yang keluar, malah air mata di pelupuk matanya yang membanjiri pipinya.
Sambil terisak, Safira menguatkan diri untuk melanjutkan ucapannya. "Aku... aku... sudah tak pantas menjadi istrimu. Aku... diperkosa..."
Benua terperanjat. Sungguh benar-benar dia tak menyangka. Sedih dan geram campur aduk. Kedua tangannya mengepal. Jiwanya berusaha menahan remuk redam yang tiba-tiba menimpanya.
Tubuh Safira lemas setelah mengatakan itu. Dia bersandar ke bahu adiknya sembari terus menitikkan air mata.
"Siapa pelakunya?!" nada bicara Benua terdengar kaku.
"Sagara," hanya satu kata yang keluar dari mulut Safira.
Lantas Sagara meminta Safira menjelaskan kronologi kejadiannya. Safira pun menjelaskan dari awal sampai akhir.
Benua mendengarkan penjelasan dengan penuh perhatian. Dia merasa iba dan kasihan pada Safira.
Queen, malang sekali nasibmu. Kenapa ini bisa sampai menimpamu? Lelaki itu berkata dalam hati.
"Sungguh aku sangat mencintaimu, Ben," ungkap Safira.
"Aku juga. Aku sangat menyayangimu," balas Benua.
"Apa keputusanmu setelah mengetahui musibah yang menimpaku ini?"
Ben terdiam sejenak. Dia berusaha memilih kata-kata yang tepat.
"Aku akan tetap maju..." kata Benua mantap.
"Jadi, pernikahan masih akan tetap dilangsungkan?" Safira butuh penegasan.
"Ya, Queen," balas Ben sambil tersenyum.
Safira merasa lega. Dia merasa bahagia, karena Ben ternyata masih menerimanya. Safira dan Berliana bertatapan. Adiknya yang ikut mendengarkan juga turut merasa senang.
"Kenapa kamu masih mau menikah denganku?"
"Queen, dengar. Kamu itu hanyalah korban. Kamu tak bersalah. Bagaimana mungkin aku membatalkan pernikahan dengan orang yang paling aku cintai?"
Safira masih berpikir. Kalau Benua tidak mempermasalahkan, lalu bagaimana dengan orangtuanya?
"Bagaimana dengan Pipi dan Mimi?"
"Aku tidak harus menceritakan kejadian ini kepada mereka bukan?"
"Seperti yang aku bilang dari awal, semuanya harus dimulai dari keterbukaan. Aku khawatir justru mereka tahu berita ini lebih dulu dari media. Bagaimanapun apa yang menimpaku ini sudah kadung viral," kata Safira.
Benua berpikir sejenak. Ia belum mampu membayangkan apakah orang tuanya juga akan sependapat dengan dirinya. Mudah-mudahan begitu. Jika mereka pun sependapat, artinya pernikahannya akan berjalan mulus.
"Baiklah, aku akan coba bicarakan dengan mereka," kata Benua.
"Terima kasih banyak, Ben. Aku akan menanti kabar baikmu," Safira menatap Benua dengan mata berbinar-binar. Rasa lega ini belum pernah ia dapatkan semenjak musibah itu menimpa dirinya.
"Kelihatannya sudah malam, Ben," kata Safira. "Kelihatannya kamu sangat Lelah."
"Iya, kayaknya jetlag, Queen."
"Pulang, gih. Istirahat yang cukup," pinta Safira.
"Ok... Kalau gitu aku pulang dulu. Kamu juga istirahat yang cukup. Jangan banyak pikiran. Matamu sembab gitu, pasti akhir-akhir ini banyak nangis!"
Safira tersenyum.
"Baik, Paduka. Queen menuruti perintah sang Raja," ucap Safira sambil tersenyum.
Berliana ikut bahagia melihat kakaknya bisa ceria seperti itu.
"Kayaknya ini pernikahan harus diselenggarakan lebih cepat, nih. Kalau ada Kak Ben kakakku yang cantik ini jadi bisa senyum," goda Berliana.
"Iya, dong. Kita akad nikah besok aja ya, siap nggak, Queen?"
"Waaw, secepat itu. Emang bisa?"
"Ya bisa-bisa aja, Kak," potong Berliana. "Akad dulu aja, resepsi belakangan, yak an Kak Ben?"
"Hehe... iya, gitu juga bisa. Tinggal kita masing-masing harus bisa meyakinkan Papa, Mama, Pipi, dan Mimi," kata Benua menyebutkan orang tua Safira dan orang tuanya sendiri.
"Oke, akan aku coba...yakin nih, kalau nikah, studi juga nggak akan kehambat?"
"Yakin, bisa kok. Kita coba pandai-pandai aja manage waktu. Nanti kita rencanakan. Kalau misal agak kesulitan bisa wisuda bareng-bareng, ya berati plan B-nya wisuda bergantian, tinggal pilih kamu atau aku yang duluan tuntaskan studi."
"Oh, gitu ya, tapi kayaknya sih kamu dulu, Ben. Kamu lebih penting. Kalau aku kan di dalam negeri ini. Aku nyusul setelah kamu, aku akan kejar studiku yang tertinggal."
"Eh, by the way, kok ini malah ngobrol ngelantur jauh sih, bukannya aku tadi nyuruh kamu pulang ya?"
"Ya, nggak apa-apa kalau kamu masih pengen ngobrol, lanjutin aja, habisnya lama juga kita nggak ketemu kayak gini," kata Benua.
"Ya udah deh, aku pamit kalau gitu," Benua berdiri.
"Hati-hati di jalan ya?" kata Safira, "Kamu ke sini bawa motor?"
"Iya, biasalah biar cepet, nggak kejebak macet," balas Benua.
"Udah malem begini, mudah-mudahan nggak masuk angin ya," ucap Safira.
"Tenang, Queen. Perlengkapan udah lengkap. Jaket juga tebel begini," ucap Benua sambil menunjuk jaket parasut yang dikenakannya. Memang terlihat tebal, karena model jaketnya itu cocok digunakan untuk musim dingin atau musim hujan.
Benua mengucapkan salam, lalu pamit. Dia mengambil motor gedenya di garasi.
Safira dan Berliana mengikutinya dari belakang. Keduanya bermaksud ingin mengantarkan Benua sampai ke gerbang rumah.
Tak lama kemudian, Benua meluncur dengan motornya.
Di depan gerbang rumah, Benua membuka kaca helmnya. "Cepet masuk rumah, udah malem, nggak baik perempuan malem-malem masih di rumah," goda Benua.
"Iya, iya. Cerewet banget sih," kata Safira. "Kamu juga, buruan pulang, Ingat, jangan ngebut-ngebut ya..."
Benua kembali menutup kaca helmnya. Motor kembali meluncur.
Safira menatap punggung Benua yang makin lama makin mengecil dan tak kelihatan sama sekali.
Setelah gerbang rumah itu dikunci oleh seorang petugas security, Safira dan Berliana melangkah kembali ke rumah.
"Alhamdulillah Kak, sudah tenang sekarang?" Berliana menatap kakaknya.
Malam ini hatinya sedikit lega. Belum benar-benar lega sepenuhnya. Karena bagaimanapun dia belum tahu bagaimana keluarga Benua. Apakah Pipi dan Mimi masih mau menerimanya?
"Tenang, sedikit, tapi masih ada yang mengganjal?"
"Pasti soal orang tua Kak Benua ya?" Berliana menebak-nebak.
"Tebakanmu tepat, Lian. Aku harus bagaimana sekarang?"
"Kak... kalau urusan itu, kayaknya sudah bukan lagi wilayah yang dikuasai sama Kakak. Kita nggak bisa ngubah hati orang sesuai keinginan kita kan?"
"Iya, benar juga sih..." Safira kini bingung.
Safira membayangkan orang tua Benua. Dia mengingat terakhir ketemu saat melangsungkan lamaran. Saat itu, mereka memuji-muji kecantikan dirinya. Mereka menyebutkan, dia calon menantu tercantik, dan pujian-pujian yang sangat membuatnya tersanjung.
"Kakak nggak nguasain hati pipi dan mimi Kak Benua. Yang menguasai hati mereka adalah Zat yang menguasai setiap hati. Mintalah pada-Nya agar hati mereka terbuka dapat menerima kondisi Kakak," saran Berliana.
Safira menerima saran adiknya. "Makasih banyak, Lian. Bantu doain aku ya, Aku yakin Allah mengabulkan doa orang sebaik kamu."
"Insya Allah, kita sama-sama berdoa Kak. Apa pun yang terjadi nanti, semoga itu terbaik untuk Kakak."
Ucapan adiknya ini menjadi pengingat Safira. Safira sadar masih ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi mengenai sikap dan penerimaan orang tua Benua atas kasus yang menimpa dirinya.
Bersambung...