Bab 3
Menggarami Luka
Safira, kamu sudah tak suci lagi! Wanita itu memandangi wajahnya sendiri dan berkata pada dirinya sendiri di depan cermin di kamar mandi. Dia kerap kali bolak-balik ke kamar mandi tak kenal waktu.
Di kamar mandi, Safira berkali-kali membasahi seluruh tubuhnya dengan air. Bahkan saat ini, saat malam hari dia tetap melakukannya.
Namun perasaannya tetap saja nyaman. Rasanya, walaupun seluruh air di dunia ini telah ia habiskan untuk membersihkan tubuhnya, sungguh tubuhnya saat ini tetap kotor. Kesucian dirinya sudah ternoda.
Usai mengenakan kimono handuk berwarna pink dan menutupi rambut kepalanya yang masih basah, Safira keluar dari kamar mandi.
Aku sungguh tak berharga. Batin Safira terus menerus mengulang kata itu dalam hatinya. Dia menutup seluruh tubuh dan wajahnya dengan selimut. Badannya terasa lemas, namun sampai hari selera makannya benar-benar hilang.
Pikirannya tak menentu. Setiap saat dia menangis, bahkan tangisnya pun terbawa hingga saat tidur. Dalam tidurnya, dia kerap dihantui dengan berbagai mimpi buruk.
Seminggu telah berlalu. Pascaperistiwa tragis itu Safira lebih banyak mengurung diri di kamar. Kuliahnya mulai kacau balau.
Dia juga berusaha menyembunyikan apa yang telah menimpa dirinya dari orang tuanya.
Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus ceritakan kepada Mama dan Papa? Aku takut mereka malah menyalahkanku. Aku takut mereka menghakimiku, nggak bisa jaga diri. Batin Safira berkecamuk di kamar.
Tubuhnya terbujur di kamar yang berantakan karena seminggu ini sama sekali tak pernah ia bereskan. Jiwanya benar-benar kalut. Jangankan ruangan, tubuhnya pun tak terurus meskipun sudah mandi sesering mungkin.
Memang mengurus diri bukan hanya dengan mandi bukan? Namun tubuh juga perlu asupan nutrisi. Namun semenjak dirinya tertimpa kemalangan, itu selera makannya benar-benar hilang.
Tak ada sama sekali aktivitas yang ia lakukan kecuali mengurung diri di kamar, bolak-balik kamar mandi, dan merebahkan tubuhnya di atas Kasur.
Sejauh ini, shalat 5 waktu masih dia sempatkan. Setidaknya ia paham, kewajiban itu tak bisa ditinggalkan. Dia masih ingat nasihat papa dan mamanya, dan juga gurunya ngajinya saat ia masih kecil.
Namun karena tak mampu konsentrasi, dalam shalat pun ia tetap menangis. Ia tak tahu apakah Allah masih menerima ibadah dirinya yang kini sudah kotor. Setiap selesai shalat dia berdoa, mengadu dan memohon ampun. Tak lupa dia juga memohon agar diberikan jalan keluar.
Ya Allah, ampunilah aku. Berikanlah aku jalan keluar dari semua sesak yang menghimpitku saat ini. Itulah kalimat doa yang kerap kali ia panjatkan usai shalat.
Sementara itu, selepas Isya, mama dan papanya berbicara empat mata.
"Pa, kita nggak bisa biarin Safira terus-terusan mengurung diri di kamar," ucap mama.
"Iya, aku tahu," kata papa ketus. "Kamu nggak liat ya, aku dari tadi lagi mikir, gimana caranya biar Safira mau cerita apa yang menimpa dirinya.
"Sudah, sudah... kok jadi malah berantem sih," Berliana yang baru pulang tiba-tiba menengahi kedua orang tuanya. Adik Safira itu mengenakan kerudung dan gamis berwarna abu muda.
"Ya terus gimana ini?" nada mama makin meninggi.
"Aku juga nggak tahu. Lagian kenapa sih, Safira itu selalu saja bikin orang tua nggak tenang!" papanya malah mengeluh.
"Sudahlah Pa, Ma. Nggak ada gunanya berantem. Ngelihat Kak Safira akhir-akhir ini aku kuatir. Aku yakin ada hal besar yang menimpanya. Ayo sekarang juga kita bujuk dia supaya mau bercerita," ajak Berliana.
"Lian, Sayang. Anak papa yang satu ini memang super, kamu nggak pernah ada capenya. Baru datang, udah langsung ngegas aja," puji papa mengacungkan dua jempol ke arah putrinya.
Mama ikut tersenyum. "Mama seneng, kamu sangat peduli sama kakakmu. Mama liat kamu juga pantang menyerah nyeramahin kakakmu soal hijab dan menutup aurat. Ya udah, yuk Sayang. Nanti Lian bantu bujuk Kak Fira ya..."
"Ya udah, yuk coba kita samperin aja ke kamarnya."
Ketiga mulai beraksi. Mereka pun meluncur ke kamar Safira. Sayangnya, sampai di depan kamar Safira, ketiganya malah terdiam. Mereka saling melempar kode untuk mengetuk pintu kamar itu lebih dulu.
Berliana dan mama memperkuat kodenya agar papa mengetuk pintu duluan. Namun papanya, malah mematung. Entah kenapa ada rasa segan. Kemudian otak papa berpikir.
"Mama dan Lian Sayang, kalian kan sama-sama wanita, ayo kalian lebih dulu aja. Papa kuatir Fira menolak Papa. Tahu sendiri kan, Papa sama dia nggak pernah akur," papa mencoba bernegosiasi.
"Ah, Papa ini..." kata Berliana, "Jangan ngeper gitu dong, Pa," godanya.
Mama mendukung putrinya. Wanita itu memasang wajah jutek kepada suami tercintanya. "Bisanya ngeles aja kamu, Pa," ucap Mama sambil berkacak pinggang dan tampak galak. Dia membetulkan kerah daster birunya yang terlihat kurang rapi.
Akhirnya Berliana dan mama mengetuk pintu Safira secara bergantian.
Lama tak ada respon.
"Aku takut terjadi apa-apa sama Kak Fira, Ma," Berliana mendesah. "Gimana kalau kita masuk aja. Mudah-mudahan nggak dikunci!" harapnya.
"Ya, udah kita coba aja."
Berliana mencoba membuka pintu kamar. Memang tak dikunci. Akhirnya dia masuk diikuti mama dan papanya.
Perlahan, Berliana duduk di samping Kakaknya yang tampak menangis tersedu-sedu di pojok ranjang sambil menutupi dirinya dengan selimut.
"Kak, di sini Kakak nggak sendiri. Ada aku, papa, dan mama yang sudah siap menjadi tempat kakak untuk mengadu."
Safira tak merespon. Dia masih menangis.
"Tolong kalian pergi dari kamarku. Aku ingin sendiri."
"Sampai kapan kamu sendiri, Nak?" ungkap Mama. Dia perlahan duduk di samping Safira sambil memegangi jemari anaknya yang tampak lemah. "Kami khawatir, Nak. Kami sangat menyayangimu."
"Ayo, berceritalah, Nak. Sebenarnya ada apa?" Papa tampak mulai tak sabar. Dia langsung memberondong anaknya dengan pertanyaan itu.
Mendengar pertanyaan itu, Safira makin kalut. Lagi-lagi dia takut. Lidahnya tak kuasa berkata. Haruskah mereka tahu? Wanita itu membatin.
Berliana dan mama memegang jemari Safira. Sebagai sesama wanita, keduanya berharap, Safira punya kekuatan untuk mengutarakan kejadian yang menimpanya.
"Baiklah..."Safira memulai kalimatnya. "Aku... aku... aku diperkosa, Ma," tangis Safira pecah lagi. Dia menyandarkan tubuhnya di mamanya.
Semua orang yang di ruangan itu tersentak. Petir seakan menyambar ruangan itu. Semua terpaku.
"Bagaimana bisa, Kak?" Berliana tak percaya. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya, berusaha menyembunyikan rasa syoknya.
Safira pun akhirnya menuturkan kronologis kejadiannya. Mama dan Berliana yang mendengarkannya tampak berlinang air mata. Papa pun menangis. Dia merasa terpukul. Tubuhnya terasa dihantam gunung.
Tak kuasa lagi berkata, Safira sesenggukan di pelukan mama dan adiknya.
"Sudahlah! Berhenti menangis. Semua ini karena salahmu sendiri, Fira!"
Safira tersentak. Begitu pula Berliana dan mama.
"Maksud Papa apa?" Safira tak habis pikir dalam kondisi yang tengah berkabut seperti itu, ayahnya malah menyudutkannya.
"Kamu masih nggak juga nyadar?" pertanyaan papanya itu makin menohok. "Kamu bisa dilecehkan seperti ini karena salahmu sendiri. Kamu nggak pernah nurut. Disuruh berhijab menutup aurat. Selalu abai!"
Air mata Safira berderai lagi. Dia tak menyangka, dalam suasana yang menyedihkan seperti itu ayahnya akan makin menyudutkannya.
Apakah semua lelaki tak punya perasaan, termasuk ayahnya? Apakah mungkin juga Benua jika mengetahui kondisinya yang seperti ini juga akan menyalahkannya?
Safira lebih memilih diam dan menahan perih di dadanya.
"Coba kalau dari dulu, kamu nurut tuh kayak adikmu. Mungkin ini nggak akan terjadi," ucap ayahnya sambil menunjuk adiknya.
Jiwa Safira tercabik-cabik saat dirinya dibanding-bandingkan dengan adiknya yang sudah berhijab sejak lama.
Safira pun menjadi kesal. Dia memandangi Berliana dengan ketus. Sementara Berliana sendiri menjadi tak enak. Dalam hati dia sangat menyayangkan kenapa papanya berkata seperti itu. Gadis berhijab itu paham, siapa pun tentu tak ada yang suka dibanding-bandingkan.
Tak tahan dengan situasi yang serba tak nyaman, mama segera menarik lengan papa. Dia dengan segera menarik ayahnya keluar ruangan itu.
Berliana yang masih mematung akhirnya memeluk erat kakaknya.
Safira meronta, menepis pelukan adiknya. Namun tak sedikit pun Berliana memberikan kesempatan melepaskan pelukannya.
"Kak, tolong abaikan ucapan Ayah. Aku juga nggak setuju dia bilang begitu," pinta Berliana sembari meneteskan air mata.
Safira mendengus. "Pergi! Kamu pergi dari sini!"
Bersambung...