Setelah bertemu kurang lebih 1 jam, Fatma dan Yusuf pun saling berpamitan untuk pulang.
Sementara itu Syahdu menatap rintikan hujan dari jendela kamarnya. Tenang, sunyi dan damai.
Dia dapat melupakan sejenak masalah yang sedang ia hadapi saat ini.
Namun terkadang kenangannya bersama Yusuf tiba tiba terputar dalam otaknya.
Kenangan manis waktu mereka masih duduk di bangku kuliah.
Mengerjakan tugas bersama, membeli makanan bersama dan bercerita bersama.
Mereka selalu bersama, tetapi, Syahdu selalu mengajak Fatma ketika mereka bertemu.
Yusuf pernah berkata kepada Syahdu bahwa ia tak akan pernah membiarkan satu orang pun untuk menyakiti Syahdu.
Tiba-tiba Syahdu teringat Yusuf ketika ia berkata pada Syahdu. (Flashback masa kuliah).
"Nggak akan aku biarkan satu orang pun yang menyakitimu Sya". Kata Yusuf.
"Ah, kamu bisa aja, orang kamu aja playboy, pacar kamu banyak". Syahdu mengejek Yusuf sambil tertawa.
"Apaan sih kamu Sya". Yusuf merasa kesal.
"Ciee jangan jangan nanti kalian berdua jodoh nih". Timpal Fatma.
"Amit amit dah aku jodoh sama dia, bisa bisa aku makan hati tiap hari, dia kerjaannya godain cewek mulu". Syahdu mengelak.
"Jangan gitu, nanti kalian jodoh baru tau rasa kamu Sya". Tambah Fatma.
"Lagian siapa juga yang mau nikah sama cewek kutu buku kayak dia". Ejek Yusuf pada Syahdu.
Fatma hanya tersenyum melihat kedua sahabatnya itu bertengkar.
Memang Syahdu dan Yusuf bersahabat tetapi mereka seperti kucing dan tikus yang saling mengejek satu sama lain.
Namun Fatma mengetahui jika mereka berdua sebenarnya saling menyayangi.
"Nak, maem riyen". (Nak, makan dulu). Suara ibu Nafsiyah sambil mengetok pintu kamar Syahdu.
Sontak Syahdu tersadar dari lamunannya dan menjawab panggilan ibu Nafsiyah.
"Nggeh, Bu". (Ya, Bu). Jawab Syahdu.
"Syahdu nanti turun, ibu dan ayah makan saja dahulu". Imbuhnya.
Mendengar jawaban anaknya tersebut ibu Nafsiyah merasa lega karena Syahdu akhirnya mau turun dan keluar dari kamarnya untuk makan bersama.
Syahdu pun bersiap siap turun, ketika ia hendak meninggalkan kamarnya terdengar telpon dari Hp nya berdering.
Ternyata sebuah panggilan dari sahabatnya yaitu Fatma.
Syahdu menjawab telpon Fatma dan berbicara dengannya selama kurang lebih 10 menit.
Fatma menceritakan jika ia baru saja bertemu dengan Yusuf dan Yusuf telah menceritakan semuanya pada Fatma.
Fatma ingin bertemu dengan Syahdu besok di warkop langganan mereka.
Tanpa pikir panjang Syahdu menyetujuinya.
Setelah mengangkat telepon dari Fatma, Syahdu bergegas turun untuk bergabung dengan kedua orangtuanya untuk makan malam bersama.
Malam itu suasana sangat hangat, mereka makan bersama tanpa membahas permasalahan yang sedang dialami Syahdu.
Namun, dari raut muka kedua orangtunya, tak bisa membohongi dirinya jika memang kedua orang tuanya juga merasakan pilu menembus relung dada.
Syahdu tak ingin melihat kedua orang tuanya larut dalam kesedihan.
Namun, bukanlah hal yang mudah untuk melupakan apa yang terjadi hari ini.
Syahdu berusaha menunjukkan pada orang tuanya jika dia baik baik saja.
"Pak, Bu mboten usah khawatir kalih Syahdu". (Pak, Bu nggak perlu khawatir dengan Syahdu). Ucap Syahdu pada kedua orang tuanya.
"Syahdu akan belajar ikhlas dan sabar menerima ujian ini". Tambahnya dengan raut wajah meyakinkan kedua orang tuanya.
"Sing sabar lan tawakkal ke Allah, Nak". (Yang sabar dan tawakkal kepada Allah,Nak). Tutur Pak Rahman pada putri semata wayangnya itu.
"Allah niku mboten sare, Allah nyubo sampeyan karena Allah semerap sampeyan kuat". (Allah itu tidak tidur, Allah memberi ujian kepadamu karena Allah tau kamu kuat). Sambil memeluk Syahdu.
Ayah yang biasanya sosok kuat dan tegas seketika menitihkan air matanya.
Begitu pula Syahdu, ia tak tahan menahan air matanya. Sedangkan ibu Nafsiyah mengelus elus pundak Syahdu, matanya pun berkaca kaca.
"Mboten usah disesali Pak, Bu, niki pun takdir saking Allah, mboten usah khawatir Syahdu niki Inshaa Allah Syahdu akan bersabar". (Nggak perlu disesalkan Pak, Bu, ini sudah takdir dari Allah, nggak perlu khawatir Inshaa Allah Syahdu akan bersabar). Jawab Syahdu.
Jawaban dari Syahdu tersebut membuat Pak Rahman makin bangga dengan anak perempuannya itu, anak yang dulu ia gendong dan ia timang, sekarang sudah menjadi pribadi yang dewasa dan hebat.
Sementara itu, di rumahnya, Yusuf bersiap siap menata bajunya untuk pergi ke Jakarta menemui pamannya dan tinggal bersamanya.
Memang berat baginya meninggalkan kota kelahirannya, namun, ia tak ada pilihan lain.
Umi dan Abahnya memintanya meninggalkan kota kelahirannya ini sementara waktu sampai situasi normal kembali.
"Suf, jaga diri baik-baik ya di Jakarta". Suara ibu Salamah dari balik pintu kamar Yusuf.
Sontak hal itu membuat Yusuf kaget karena tiba tiba ibundanya masuk kedalam kamarnya tanpa memberitaunya.
"Nggeh, Bu". (Iya, Bu). Jawab Yusuf singkat.
"Yusuf minta maaf jika selama ini Yusuf selalu merepotkan Umi dan Abah". Tambah Yusuf sambil mencium kaki ibundanya itu.
Wanita paruh baya yang telah melahirkan ia dan membesarkannya.
"Ndak kok, Yusuf ndak pernah merepotkan Umi kalih Abah". (Nggak kok, Yusuf nggak pernah merepotkan Umi dan Abah). Jawab ibundanya sambil memeluk anak kesayangannya.
Sebenarnya Yusuf ingin sekali bertemu dengan Ayahnya dan berpamitan sebelum ia pergi besok pagi.
Namun tampaknya Ayahandanya tidak mau melihat wajahnya, ia takut jika ia menemui ayahnya, beliau menjadi sedih dan marah.
Yusuf juga bertanya kepada ibunya mengapa ayahnya tidak mau menemuinya dan mengucapkan salam perpisahan sebelum ia pergi.
Ibunya menjelaskan pada Yusuf, jika Ayahnya butuh waktu untuk menerima semua kejadian yang baru saja terjadi.
Yusuf memakluminya, kemudian ia meminta ibunya untuk berbicara pada ayahandanya jikalau ia meminta maaf atas apa yang telah terjadi.
Ibunda Yusuf menyetujuinya dan berjanji akan menyampaikan apa Ayahandanya.
Keesokan harinya.
Hari ini Yusuf akan terbang ke Jakarta.
Tak tampak Ayahandanya mengantarkan ia ke bandara.
Dia hanya diantar oleh seorang supir pribadi keluarganya serta ibunya.
"Sebenci itukah Abah denganku?". Tanya Yusuf pada ibunya.
"Abah tak membencimu, Nak". Jawab Ibundanya.
"Kau pun tau bagaimana watak Abahmu jika ia sedang marah". Imbuh Ibu Salamah.
Yusuf hanya menganggukkan kepala sebagai tanda jika ia paham betul bagaimana sifat dan wataknya ayahandanya itu.
Bandara.
Setelah perjalanan selama setengah jam akhirnya Yusuf dan Ibunya sampai di Bandara.
Ibundanya melepas anaknya itu dengan penuh haru. Sebenarnya Yusuf memiliki seorang adik perempuan. Namun, sekarang adiknya sedang melanjutkan studinya di Jakarta dan tinggal bersama paman dan bibinya.
Disisi lain Yusuf berat meninggalkan ibu dan ayahnya di kota Malang.
Disisi lain ia harus melakukan itu. Di Jakarta ia berpikir ingin memulai hidup baru dan juga bisa menjaga adik kesayangannya itu.
"Umi jaga diri baik-baik ya". Ucap Yusuf sambil mencium tangan ibunya.
"Kamu juga ya, Nak". Kata Ibu Salamah.
"Pesan umi cuma 1 yaitu jangan lupa sholat". Tambah ibu Nafsiyah.
"Nggeh, Umi". (Iya, Umi). Jawab Yusuf singkat.
Bagaimana kisah kelanjutannya?
Surat apakah yang ditulis Yusuf untuk Syahdu?
Nantikan di episode selanjutnya.
Selamat membaca teman-teman :)
Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar ya :)