Sudah tiga hari mereka berada di Bandung, dan sekarang mereka harus kembali ke Jakarta, menghadapi kenyataan, dan kerasnya hidup.
Alif sedang menyetir, pandangannya terfokus pada jalanan di hadapannya. Sementara Via yang duduk di sebelah Putri, tengah asik memainkan handphone baru yang Alif belikan untuknya.
"Kak," panggil Via pelan.
"Ya?"
"Kakak ikut aku ke Bandung, enggak pamitan sama Kak Reyhan, ya?"
Reyhan?
Putri tersenyum sinis, dan mengalihkan pandangannya keluar jendela.
Ia sudah banyak memikirkannya seharian ini. Tentang bagaimana harusnya hubungan mereka berlanjut.
Kalimat Alif selalu terngiang-ngiang di kepalanya, tentang Reyhan yang tidak mencintainya.
Dan setelah berpikir cukup keras, mengulang-ulang lagi memori kebersamaan mereka, sepertinya memang seperti itu.
Mereka tidak pernah membicarakan apa pun sebagai sepasang kekasih, mereka tidak pernah bersikap selayaknya sepasang kekasih, dan tidak pernah sekali pun Putri mendengar kata suka, sayang, maupun cinta keluar dari mulut Reyhan.
Jadi, bisa disimpulkan, bahwa Reyhan memang tidak mencintainya.
Dan tentu saja hal ini membuat Putri marah, sedih, dan kecewa. Seolah ia telah menyia-nyiakan hidupnya selama ini hanya untuk menjadi calon istri yang baik utuk seseorang yang bahkan tidak menganggapnya sebagai kekasih.
Putri merasa kehilangan masa mudanya yang berharga. Saat ia seharusnya bersenang-senang dengan teman, memiliki pacar, dan sebagainya, ia malah menyia-nyiakan waktu dengan berdiam diri di rumah untuk belajar memasak makanan yang Reyhan suka.
"Kok malah bengong, sih?"
Putri tersentak kaget saat Via menyenggol lengannya pelan.
"Enggak kok. Emangnya kenapa, sih?"
"Ini, di group chat, pada nanyain Kakak. Mereka enggak tahu kalau Kakak ikut aku. Kak Rey panik nyariin Kakak!"
'Reyhan panik? Oh Tuhan, untuk apa dia seperti itu? Bukankah dia bersenang-senang dengan Lusi? Bukankah lebih leluasa untuknya menjalin hubungan dengan Lusi saat aku tidak berada di dekatnya?' batin Putri.
"Biarin aja." ucap Putri pelan.
"Kenapa? Kakak lagi ada masalah sama Kak Rey?"
"Enggak, bukannya gitu, cuman agak risih aja. Dia, 'kan bukan siapa-siapanya aku, terus ngapain kek gitu?"
Putri menghela napas berat saat kekehan pelan terdengar dari arah Alif. Ya, pria itu pasti sedang menertawainya sekarang.
"Bukannya dia saudara Kakak?" tanya Via bingung.
"Bukan!" sahut Putri enggan.
Via langsung menutup rapat-rapat mulutnya setelah mendengar jawaban Putri.
Gadis itu pun kembali sibuk dengan handphone barunya, sementara Alif sibuk menyetir.
Waktu berlalu begitu lambat kali ini, dan itu melelahkan. Semua amarah yang tengah berkecamuk di dalam dada Putri, membuatnya merasa begitu lelah.
Sesampainya di share house, Reyhan langsung menyambut gadis itu dengan omelan panjang dan tatapan kesal.
Oh, ini tidak benar. Apa arti dari kemarahannya itu? Siapa Putri baginya hingga ia marah seperti itu?
"Bisa kita bicara nanti saja? Aku lelah!" sela Putri.
Reyhan terdiam. Mungkin ia menyadari betapa buruknya suasana hati gadis itu sekarang ini.
"Kita bicara malam nanti. Gue tunggu lo di rooftop!" ucap Reyhan sebelum akhirnya pergi meninggalkan kamar Putri.
Sungguh, melihat wajahnya saja sudah membuat dada gadis itu begitu sesak.
Ini tidak adil baginya. Untuk apa yang sudah ia lakukan untuk pria itu selama ini, penghianatan yang pria itu lakukan benar-benar tidak pantas ia dapatkan.
***
Putri menarik napas dalam-dalam.
Baiklah, ia sudah membuat keputusan. Ia terlalu berharga untuk pria itu.
"Rey, kita udahan ya. Kita putusin aja perjodohan ini." seru Putri tanpa tedeng aling-aling.
Saat ini, mereka sedang berada di rooftop. Sesuai dengan permintaan Reyhan sebelumnya.
"Apa?" pekik Reyhan tak percaya.
"Jujur aja deh. Aku tahu kok, kamu enggak suka sama aku, dan soal kita yang mau belajar saling mencintai, kayaknya juga nggak akan berhasil!"
"Lo apaan sih, Put?!" sahut Reyhan bingung.
Putri menggeleng lemah setelah menghela napas yang begitu panjang.
"Aku tahu, kamu suka sama perempuan lain! Aku tahu, kamu suka sama Lusi. Jadi, ya udah. Enggak ada gunanya juga hubungan kayak gini dipertahananin. Aku lelah!"
Reyhan menarik pundak Putri, dan membuat gadis itu duduk menghadap ke arahnya.
"Kenapa bawa-bawa Lusi?" serunya tidak terima.
"Kenapa? Kamu tanya kenapa? Aku lihat sendiri! Aku lihat dengan kedua mataku sendiri, apa yang kamu lakukan sama dia di kamar kamu! Bahkan selama kita bersama, enggak pernah, 'kan sekali pun kamu nyentuh aku? Terus tiba-tiba aku lihat kamu sama dia berdua di kamar kamu! Kamu pikir aku nggak sakit hati?!"
'Semoga aku masih sanggup menahan air mataku. Aku tidak ingin terlihat menyedihkan di hadapan Reyhan.'
Reyhan terdiam. Ia bahkan tidak berani menatap mata gadis itu sekarang.
"Aku pikir, mungkin memang banyak kurangnya aku, jadi kamu lebih suka sama dia daripada aku. Tapi, ya udah, enggak apa-apa kok, Rey. Aku ngertiin kamu. Lagipula yang namanya cinta itu nggak bisa dipaksakan, 'kan? Jadi ya udah. Aku lepasin kamu dari ikatan kita. Mulai sekarang, kamu bebas. Kamu bebas jalin hubungan sama dia, atau sama perempuan mana pun. Aku nggak apa-apa!"
Reyhan masih mematung di hadapan Putri. Ia hanya memperhatikan gadis itu dalam diam.
"Jadi, lo pergi selama beberapa hari ini, karena lo lihat gue sama Lusi?" tanya Reyhan setelah cukup lama terdiam.
Putri hanya mengangguk pelan mengiyakan pertanyaan pria itu.
"Sorry, Put. Gue nggak ada maksud mau hianatin lo. Gue ngga ada maksud buat nyakitin lo. "
"Tapi kenyataannya apa? Ya udah sih! Sakit sih memang. Tapi aku nggak
apa-apa. Seperti yang tadi aku bilang. Cinta itu nggak bisa dipaksakan. Aku nggak bisa, dan nggak boleh maksa kamu buat sayang juga ke aku. Jadi, ya udah. Aku juga, mulai sekarang bakal nyoba lebih terbuka buat bergaul, biar banyak temen dan bisa cepet ngelupain kamu."
"Put," Reyhan meraih kedua tangan Putri, lalu menggenggamnya erat.
Dada gadis itu kembali terasa begitu sesak dan panas. Ini menyakitkan. Tapi ia harus kuat, karena ini baru permulaan. Ia akan membuat Reyhan kembali kepadanya, ia akan membuat pria itu merasakan bagaimana rasanya jadi dirinya.
Putri segera melepaskan tangannya dari genggaman Reyhan.
"Rey, untuk ke depannya, sebisa mungkin jauhin aku dulu ya. Gimana pun juga, aku udah terlalu terbiasa sama kamu. Aku harus membiasakan diri hidup tanpa kamu. Kamu tahu, 'kan? Ini nggak mudah. Jadi, aku mohon, bantu aku buat lupain kamu. Ya?" pinta Putri.
'Apakah saat aku tidak bersamamu, kamu akan merasa kehilangan? Apa aku masih ada artinya buat kamu?' batin Putri menjerit pilu.
"Put, jangan seperti ini. Gue tahu kok lo sakit hati. Gue tahu lo terluka. Gue salah. Maafin gue. Kalo lo mau, gue nggak akan deket-deket Lusi lagi."
Semudah itu?
"Enggak. Maaf, Rey. Keputusanku udah mutlak. Aku nggak bisa sama kamu lagi. Lagipula, kamu cocok kok sama Lusi. Dia baik, cantik, keren, modis, sexy. Dia sempurna. Beda sama aku. Aku kuno, nggak modis, body pas-pasan."
"Jangan ngomong gitu, Put."
"Kenapa? Kenyataan, 'kan? Buktinya aja selama ini kamu nggak pernah semesra itu sama aku. Kamu nggak tertarik sama aku. Padahal aku tunangan kamu, 'kan? Aku calon istri kamu. Tapi sekalipun kamu nggak pernah mesra sama aku."
"Put," lirih Reyhan.
"Udah ya, Rey. Di sini dingin banget. Aku mau masuk."
Setelah mengatakan itu, Putri langsung beranjak menuju pintu. Akan tetapi, Reyhan menahan lengannya. Ia langsung berdiri tepat di depan gadis itu.
"Lepasin!"
"Put, kita belum selesai bicara!"
"Kamu lepasin, atau aku teriak, biar anak-anak pada bangun terus ke sini?!"
Mendengar ancaman gadis itu, Reyhan pun langsung melepaskan genggamannya.
"Tuh, 'Kan! Gitu aja kamu udah takut. Kamu takut kalau anak-anak tahu hubungan kita ya?"
"Putri."
"Apa? Emang bener, 'kan? Rey, dengerin aku. Enggak ada perempuan yang mau ada di posisi aku. Enggak ada perempuan, yang mau nggak diakuin kayak aku. Aku pengen punya hubungan yang terbuka. Aku pengen semua orang tahu aku tunangan kamu. Aku pengen kamu memperlakukan aku seperti pasangan pada umumnya. Tapi kamu nggak bisa, 'kan ngasih apa yang aku pengen? So, semua udah jelas, 'kan? Hubungan ini emang nggak bisa dilanjutin."
Putri mendorong tubuh Reyhan, dan berjalan cepat melewatinya.