"Ini Putri? Kamu apa kabar, Put? Kok kamu kayak gak menua gini? Kamu skincare-nya apa? Sharing dong sama ibu!"
Putri tersenyum lebar mendengar sapaan Bu Ratih, salah satu guru yang mengajar dirinya dulu.
"Ibu bisa aja, dari dulu kan Putri pakai skincare yang pernah Ibu rekomendasikan dulu," sahut Putri seramah mungkin.
"Oh ya? Aduh, berarti gak salah dong ya rekomendasi dari ibu itu! Itu kulit kamu masih berseri macam waktu SMA dulu!" Bu Ratih nampak begitu senang dengan jawaban Putri.
"Bu Rat, masih ingat saya nggak?" Satria menyela sebelum Putri ataupun Bu Ratih kembali membuka mulut.
"Satria? Tentu ibu inget kamu! Biang krok yang selalu membuat suara ibu serak karena terus berteriak! Ngomong-ngomong kamu itu udah tobat, 'kan? Kamu udah gak suka bikin masalah kayak dulu, 'kan?"
Satria langsung kicep, ditodong pertanyaan yang menyudutkan seperti itu. Baginya, sangat wajar jika seorang sswa SMA itu bandel. Masa muda sangat cepat berlalu, dan tidak akan bisa diulang kembali. Jadi, bukankah semua siswa harus melakukan apa pun yang mereka inginkan?
"Dilihat dari ekspresi kamu, sepertinya kamu belum berubah!" cibir Bu Ratih.
"Bu Rat gak capek apa ngomel terus? Gak bosen apa marahin saya selama tiga tahun?" protes Satria.
"Lihat Put, bener kan kata ibu? Ini anak nggak berubah! Aduh, ibu jadi pusing! Ya sudah, kalian cepat pulang sana! Urusan kalian sudah selesai, 'kan?"
"Kok ibu ngusir kita?" protes Satria lagi.
Bu Rati mengbaikan protes dari Satria, dan memunggungi pria itu untuk menghadap ke arah Putri.
"Ibu ada kelas, Put. Kalau kamu mau, kamu bisa menunggu di kantor ibu, nanti kita bisa sambung lagi ngobrolnya," ucap Bu Ratih dengan sangat ramah.
"Iya, Bu. Makasih, tapi Putri masih ada acara setelah ini."
"Oh, gitu. Ya sudah, enggak apa-apa, sering-sering ya main ke sini, ajak Reyhan juga!"
Setelah mengatakan itu, Bu Ratih pun pamit untuk meninggalkan Putri dan Satria di sana.
"Bu Rat itu nggak berubah ya, masih suka pilih kasih. Dari dulu, baiknya ke Reyhan doang. Giliran sama gue? Judes banget, bukan main itu guru satu." gerutu Satria begitu Bu Ratih menghilang dari pandangan mereka.
Putri menggeleng pelan sambil menahan tawanya.
"Itu karena kamu itu bandel banget dulu, suka nyusahin Bu Ratih! Sedangkan Reyhan, meskipun dia bukan anak yang pinter ataupun rajin, dia itu nggak banyak tingkah kayak kamu!"
Satria langsung mencubit pipi Putri dengan gemas. Ia kesal karena baik Putri maupun Bu Ratih, selalu memuji Reyhan.
"Dia itu cuman pencitraan! Sok baik di depan orang!" protes Satria.
Ingin Putri tertawa sekeras yang ia bisa sekarang. Justru Satria yang suka pencitraan di depan gadis-gadis dulu.
"Ke lapangan basket yuk!" ajak Satria tiba-tiba.
Tanpa menunggu jawaban dari Putri, Satria langsung meraih pergelangan tangan gadis itu, dan membawanya ke arah lapangan basket yang tetrletak tak jauh dari tempat mereka sekarang.
"Lo tahu, nggak? Dulu, gue sama Reyhan sering taruhan pas main basket." seru satria sambil mengambil sebuah bola yang tergeletak di lantai, lalu memankan bola tersebut di tangannya.
Putri tahu jika mereka memang sering bermain basket berdua di sini, tapi soal taruhan, ia tidak mengetahui apa pun soal itu.
"Siapa pun yang menang, berhak buat deketin lo."
Putri cukup terkejut mendengar pengakuan dari Satria. Wah, niat sekali para pria itu. Namun sedetik kemudian, ia tertawa keras.
"Dan kamu enggak pernah menang dari Reyhan, karena itu kamu enggak berani deketin aku?" tebak Putri.
"Ah, sial! Itu yang sampai sekarang bikin gue kesel. Kenapa gitu gue bisa selalu kalah sama dia?" gerutu Satria.
"Kamu mungkin gak tahu, tapi ayah dan abang Reyhan itu mantan atlet. Jadi, karena biasa main sama keluarganya, Reyhan jadi jago meski dia gak ikut ekskul basket."
Satria semakin kesal setelah mendengar penjelasan Putri. Bukan fakta bahwa keluarga Reyhan adalah mantan atlet yang telah mengusiknya. Akan tetapi, fakta bahwa Putri sangat mengenal Reyhan dan keluarganya.
"Yaudah sih, yang lalu biarlah berlalu. Lagian, kita bukan anak SMA lagi. Sekalipun Reyhan ngelarang atau apa pun itu, gue akan tetep deketin lo!"
Putri terdiam.
Gadis itu merasa tersentuh dengan tekad Satria. Di satu sisi, ada pria yang mensia-siakan dirinya, tapi di sisi lain, ada pria yang memperjuangkannya.
***
"Bang," panggil Via saat Alif baru saja memasuki rumah.
"Weh, si gendut, kenapa lo di sini? Ini bukan weekend, 'kan?" sahut Alif sambil menghampiri Via.
"Vi mau ambil buku yang kemaren ketingalan di rumah. Abang sendiri kenapa pulang ke rumah? Kena PHK, ya?" tebak Via asal.
Alif bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Sama seperti Via, ia hanya bisa pulang ke Bandung tiap akhir pekan.
"Enak aja! Abang lagi ambil cuti, pengen makan seblak buatan mama."
"Kok Via nggak percaya ya?"
"Ya terserah lo mau percaya apa enggak. Masalah gitu, buat abang?" Alif melirik sinis ke arah Via, lalu merebahkan tubuhnya di sofa.
Via langsung manyun mendengar ucapan Alif. Tapi, beberapa detik setelahnya, ia meringis sangat lebar, dan mendekat sedekat mungkin pada Alif.
"Bang," panggil Via dengan ekspresi aneh.
"Apaan?"
"Abang suka ya, sama Kak Putri?" tanya Via penuh selidik.
Alif menatap adik kesayangannya itu dengan tatapan datar. Ia lalu menegakkan tubuhnya, dan menghadap lurus ke arah Via.
"Kepo!" seru Alif pelan.
"Vi sering mergoki Kak Put teleponan sama Bang Al! Mencurigakan tahu, nggak! Kalian ada afair, ya?" desak Via.
"Kalo abang bilang cuman temen, lo juga ga akan percaya. Jadi, suka-suka lo aja mau mikirnya kayak gimana."
"Ah, Abang mah nggak asik! Bilang aja iya! Atau, jangan-jangan, Abang suka sama Kak Put, tapi Kak Put nggak sadar, ya? Cuman dianggap temen? Tragis kali cinta abangku ini ya Tuhan."
Alif melongo mendengar tebakan Via. Setelah ini, akan ia pastikan bahwa adik kesayangannya itu menjauhi sesuatu seperti drama, novel, dan sebagainya. Pikiran adiknya itu sudah terkontaminasi dengan teori-teori aneh dari drama yang sering ditontonnya.
"Atau, bahkan Abang sendiri masih belum menyadari perasaan Abang? Ini jauh lebih rumit daripada yang Vi kira." imbuh Via.
"Lo lagi ngarang novel apa gimana? Sana jauh-jauh dari abang! Ngeri lama-lama deket sama lo!" Alif mendorong kening Via dengan jari telunjuknya agar adiknya itu menjauh darinya.
"Abang nggak perlu malu sam Via, Vi janji akan bantuin Abang deketin Kak Put, kalau Abang emang suka sama dia. Tenang, Via ini jago kalau soal mencomblangkan orang!"
Alif langsung tertawa keras mendengar pernyataan Via.
"Nyomblangin diri sendiri sama pria yang ditaksir aja gak bisa-bisa, mau sok-sokan nyomblangin orang!" sinis Alif.