Bab 22
Sementara itu di sebuah gudang gua yang sudah tak terpakai, Joya yang sedang di sekap sedang berusaha melepaskan ikatan yang membelenggu tangan dan kakinya.
Sudah cukup lama dia berusaha, tapi tali yang mengikatnya terlalu kuat. Joya akhirnya menyerah, karena tangannya sudah terasa sakit.
Dia pun berusaha memikirkan cara lain agar bisa lolos dari tempat itu.
"Halo, Om, Mas yang ada di luar. Tolong bantu aku, perutku sakit. Aku mau ke kamar mandi!" teriaknya memanggil para penjaga yang menjaganya.
Joya ingin menggedor pintu yang terkunci dari luar itu. Tapi tubuhnya yang terikat di kursi tak memungkinkan untuk berjalan ke pintunya Tak lama seorang pria bertubuh gemuk muncul dari balik pintu yang baru saja dibuka.
Pria tersebut berjalan mendekatinya dengan waspada.
"Ada apa?" tanyanya.
"Perutku sakit, mules. Tolong lepaskan ikatanku!" kata Joya sambil memasang wajah memelas.
Pria tersebut tampak berpikir sejenak, kemudian merunduk untuk membuka ikatan kakinya.
"Sudah, pergilah ke kamar mandi sana!" katanya.
"Tanganku masih terikat, Om. Bagaimana aku akan membersihkan diri nanti. Apa Om mau membantuku?"
"Ck! Menyusahkan saja!" omelnya.
Dia pun membuka ikatan di tangan Joya, selanjutnya dia menjerit kesakitan karena kemaluannya ditendang Joya dengan sekuat tenaga.
Sebelum dia bersiap, Joya kembali menendang perutnya. Pria tersebut pun terkapar, dia pingsan. Joya tersenyum puas melihat musuhnya terkapar tak berdaya di lantai.
"Rasakan tendangan mautku! Hmm, tak sia-sia aku belajar ilmu bela diri selama setahun ini," ujar Joya pada dirinya sendiri.
Rupanya selama bersembunyi di Surabaya, Joya belajar ilmu bela diri untuk mempertahankan dirinya sendiri.
Dia pun berlanjut ke pintu yang masih terbuka. Dengan mengendap dia melihat keadaan di luar. Joya melihat masih ada dua orang lagi yang sedang asyik bermain ponsel di ruang tengah.
Joya keluar dengan perlahan agar tak menimbulkan suara. Joya melihat ada tongkat baseball yang terletak di atas meja makan. Sepertinya ketiga orang tersebut yang meletakkan di sana.
Joya pun mengambilnya lalu berjalan kembali ke dekat dua orang yang masih asyik dengan ponselnya masing-masing. Saat Joya sudah benar-benar dekat dengan mereka, Joya memukul salah satu pria dengan sekuat tenaga.
Pria itu pun jatuh tersungkur mencium lantai dan tak bergerak. Sepertinya dia pingsan karena Joya memukul kepalanya dengan sekuat tenaga. Sementara pria yang satu lagi berdiri dengan kaget sampai ponselnya terlempar ke lantai.
"Kau! Kurang ajar!" teriak pria itu sambil menghambur ke arah Joya.
Joya yang sudah bersiap langsung memukulkan tongkatnya tersebut ke arah sang pria dan mengenai perutnya. Dia pun jatuh tersungkur juga, tapi langsung berdiri kembali. Joya kembali bersiap dengan pukulannya
Joya urung memukul karena pria tersebut mengeluarkan sebuah pistol dari balik bajunya. Joya mundur beberapa langkah, untuk mengatur strategi. Namun, belum sempat dia berpikir pistol pria tersebut sudah meletus.
Joya mencoba mengelak, tapi peluru tersebut tetap bisa mengenai lengannya. Pria tersebut tertawa mengejeknya. Kemudian menembakkan lagi pistolnya ke arah Joya. Kali ini Joya berhasil mengelak dan langsung memukulkan tongkatnya bisbol tersebut ke tangan di pria.
Pistolnya pun terjatuh, Joya mengambil kesempatan itu untuk menghajar pria itu habis-habisan sampai dia pingsan. Setelah dirasa cukup, Joya pun kabur setelah mengambil kunci motor yang tergeletak di atas meja.
Joya kabur dengan mengendarai motor para penculik karena dia takut mereka sadar lalu mengejarnya. Joya pun melapor ke kantor polisi, setelah selesai membuat laporan polisi segera bergerak ke lokasi yang diberikan oleh Joya.
Sambil menunggu polisi menangkap mereka, Joya mengobati luka tembak di lengannya di sebuah klinik yang terletak dekat dengan kantor polisi. Namun, sungguh disayangkan saat para polisi tiba di sana para penculik sudah tak ada.
Tampaknya ada yang datang dan segera membereskan tempat kejadian perkara. Terpaksa kasus Joya tak bisa dilanjutkan karena tak ada bukti yang bisa menguatkan laporannya.
Joya kecewa, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Joya pun ingat kalau dia belum menghubungi Erik untuk memberitahukan keadaannya sekarang. Joya pun segera meminjam ponsel seorang suster tempat dia sedang berobat.
Erik sangat bahagia mendengar Joya telah berhasil melarikan diri dengan selamat. Namun, dia sangat khawatir dan kecewa karena Joya terluka terlebih lagi para penculik gagal di tangkap.
"Alhamdulillah, kamu selamat Sayang. Aku akan ke sana besok. Kamu sembunyikan saja dulu dengan ibu kamu, ya!" ujar Erik sebelum mengakhiri teleponnya.
Setelah menyimpan ponselnya di kantong celana, Erik pun bergegas menemui Heru di ruangannya.
"Pa!" panggilnya begitu memasuki ruangan Erik.
Heru yang sedang berbicara di ponselnya memberi isyarat agar Erik menunggunya sebentar. Erik pun memilih duduk di kursi yang ada di seberang kursi papanya.
Lima menit kemudian, Heru selesai dengan ponselnya lalu bertanya ada apa kepada Erik.
"Barusan Joya menghubungi aku, Pa. Katanya dia berhasil kabur dari para penculik, tapi sayangnya mereka berhasil melarikan diri dari sergapan polisi, Pa," jawab Erik panjang lebar.
"Alhamdulillah, sekarang bagaimana keadaan Joya?" tanya Heru.
Dia merasa senang dan bersyukur mendengar berita ABG disampaikan oleh Erik barusan.
"Joya terluka di lengannya terkena peluru, tapi sudah diobati, Pa. Sekarang dia aku suruh sembunyi dulu bersama ibunya."
"Hmm, bagus. Namun, Papa masih memikirkan bagaimana caranya menunda pernikahan kamu dengan Sarah. Anya tinggal beberapa hari lagi aja, kan?"
"Iya, Pa. Sebenarnya aku ada ide, tapi gak tahu Mama sama Papa setuju atau tidak."
"Rencana apa?" tanya Heru.
"Aku punya rencana, agar Mama pura-pura sakit dan koma. Tidak mungkin, kan kalau aku e ialah sedangkan Mama sedang sekarat di rumah sakit. Jadi kita bisa menunda pernikahanku dengan Sarah. Bagaimana, Pa?" tanya Erik setelah dia selesai memaparkan rencananya pada Heru.
"Luar biasa, Papa gak menyangka jika kami bisa memikirkan hal seperti itu, Rik. Mama pasti setuju, dia juga akan suka dengan Sarah, kan?" jawab Heru penuh semangat.
"Baiklah, kalau Papa sudah setuju, aku akan menghubungi temanku di ruang sakit. Kita perlu bantuan mereka," kata Erik.
Dia pun mengunjugi Darren, temannya yang berprofesi sebagai dokter di rumah sakit. Setelah Darren setuju, Heru dan Erik pun pulang untuk menjemput mamanya Erik dan membawanya ke rumah sakit.
Skenario pun dirancang sedemikian rupa. Setelah selesai, Erik pun menghubungi Sarah dan mengabarkan kalau mamanya Erik sedang sekarat di ruang ICU.
Sarah yang mendengar berita itu bergegas pergi ke rumah sakit. Dia begitu syok melihat mamanya Erik terkapar tak berdaya di ruang ICU. Dia hanya terdiam aja mendengar penjelasan Erik kalau mamanya jatuh di kamar mandi lalu tak sadarkan diri.
"Lalu, bagaimana dengan rencana pernikahan kita dua hati lagi, Rik?" tanya Sarah.
Erik kesal karena Sarah lebih memikirkan pernikahannya dari pada kesehatan calon ibu mertuanya itu.
Bersambung.