Rowena berjalan mendekati tempat tidur pria tua itu. "Hey, Pak tua! Bagaimana kabarmu?"
"Meskipun sudah lama kita tidak bertemu, cara berbicaramu masih saja sama seperti sebelumnya, ya," sindir Edgar yang tengah berusaha duduk di atas tempat tidurnya.
Rowena juga ikut duduk di atas tempat tidur itu dan berkata, "Padahal aku baru saja datang menjumpaimu tapi kau malah langsung menyindirku. Lalu dimana pria tua yang sangat kuat dan sombong lima tahun lalu itu?"
"Pria tua itu sudah dikalahkan oleh penyakitnya karena menunggu anak gadisnya yang tidak juga kembali selama lima tahun lamanya," jawab Edgar blak-blakan.
"Bisakah kau tidak mengatakan hal itu? Kau malah membuatku terjebak dalam rasa bersalah yang amat mendalam ini," keluh Rowena.
Edgar melihat penampilan Rowena dari atas sampai bawah. "Apakah kau sudah berhenti menjadi ksatria dan memilih menjadi wanita penghibur? Kurasa itu pilihan yang sangat buruk. Diantara kedua pria ini yang mana tuanmu?"
Rowena berusaha mendinginkan kepalanya agar tidak emosinya tidak meledak disana. "Pak Tua, bagaimana bisa kau menyimpulkan pekerjaanku dari pakaianku saja? Bukankah kau sudah sangat keterlaluan. Asalkan kau tahu saja, aku masih tetap menjadi ksatria. Hanya saja aku bukanlah ksatria Edelle lagi melainkan ksatria Sunverro."
Edgar menatap Rowena dengan tatapan prihatin. "Apakah kau sedang berhalusinasi? Meskipun aku tahu kau itu adalah wanita yang kuat, tetapi itu adalah hal yang tidak mungkin terjadi jika kau menjadi ksatria Sunverro."
"Menurutmu apakah wajahku ini sedang menunjukkan kalau aku tengah bercanda atau halusinasi?" tanya Rowena sembari menunjuk wajahnya sendiri.
"Aku yakin 100% kalau kau sedang berhalusinasi," ucap Edgar dengan penuh keyakinan.
Rowena menggertakkan giginya karena berusaha menahan kekesalannya. Ia menarik Sir Cedric ke hadapan Edgar. "Lalu orang ini akan menjadi bukti kalau aku telah menjadi ksatria Sunverro. Apakah kau masih ingat siapa orang ini?"
Pangeran Helios hanya berdiri di pojok ruangan sembari menatap Rowena dengan kebingungan. Menurutnya jika Rowena ingin membuktikan kalau dirinya merupakan ksatria Sunverro, dia bisa langsung menarik Helios ke sana dan bukannya Sir Cedric.
Edgar menatap wajah Sir Cedric dengan serius. "Kalau tidak salah ingat orang ini adalah anak dari perwakilan Sunverro saat di istana Odelette kan?"
"Tepat sekali. Dia adalah Duke Cedric, anak dari perwakilan kerajaan Sunverro pada saat itu," jawab Rowena.
"Baiklah, aku sudah percaya dengan ucapanmu," kata Edgar yang lalu mengeluarkan darah saat batuk.
Nampak sangat jelas dari wajahnya kalau Rowena tengah khawatir dengan Edgar yang sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri. Hatinya merasa teriris melihat keadaan pria tua itu. Padahal sebelum ia ikut berperang pria itu masih sangat sehat dan kuat.
Rowena memeluk pria itu dan mulai menangis. Ia sudah tidak mampu menahan air matanya lagi. "Maafkan aku, ayah. Andai saja aku berhasil kabur pada saat itu, kurasa kau tidak akan sakit-sakitan seperti ini. Sekali lagi aku minta maaf."
Edgar membalas pelukan itu dan membelai rambut hitam Rowena seperti sedang menghibur anak kecil. "Iya.. Iya... Aku akan selalu memaafkan setiap kesalahan yang kau buat itu baik yang kau sengaja maupun tidak. Lagipula kau tidak perlu merasa bersalah karena kau kan juga telah mengalami masa-masa yang sulit selama ini."
Tangisan Rowena semakin pecah. Pangeran Helios cukup terkejut karena ini pertama kalinya melihat perempuan itu menangis. Baru kali ini Rowena menunjukkan sisi lemahnya. Selama ini Pangeran Helios selalu menganggap Rowena tidak mempunyai hati nurani apalagi setelah melihat dua ratus lima puluh orang yang tewas dengan tragis akibat dibunuh oleh perempuan tersebut.
Sir Cedric yang cukup peka dengan situasi saat itu pun mengajak Pangeran Helios untuk menunggu diluar. Pangeran Helios menyetujui ajakan itu dan mereka berdua pun keluar dari sana.
"Aku sudah sangat lelah, ayah. Harus sampai kapan aku seperti ini? Aku tidak pernah bermimpi untuk menjadi ksatria apalagi sampai membunuh orang. Tetapi kenapa aku harus melakukan itu semua. Padahal saat itu aku hanya ingin kabur dari sana lalu hidup bersamamu disini," keluh Rowena sambil menangis.
Edgar melepas pelukannya dan mengusap air mata Rowena dengan kedua tangannya. "Mungkin itu adalah jalan takdirmu, Rowena. Aku harap kau bersikap baik dengan rekan-rekan kerjamu karena mulai sekarang mereka yang akan menjagamu. Hidupku juga sudah tidak lama lagi. Meskipun begitu aku tetap bersyukur karena tetap bisa dipertemukan dengan dirimu."
"Bagaimana kau bisa tahu kalau kau akan mati, Pak Tua? Kehidupan dan kematian itu adalah rahasia dewa."
Edgar tersenyum kecil. "Hey, padahal tadi kau memanggilku ayah, sekarang kau memanggilku Pak Tua lagi."
"Terserah diriku dong!" ujar Rowena.
"Intinya saat aku mati nanti, aku tidak akan menyesal karena sudah membesarkanmu sebagai seorang ksatria dan aku juga senang memiliki seorang anak sepertimu. Ingatlah kalau aku akan selalu bersamamu meskipun aku sudah tiada nanti," ucap Edgar.
"Bukankah sudah kubilang berhenti untuk membicarakan tentang kematian. Asalkan kau tahu saja bahkan dewa pun tidak berani mencabut nyawamu karena kau sangat kuat."
Edgar beranjak dari tempat tidurnya dan mengambil sesuatu dari laci yang ada di pojok kamarnya. Ternyata itu adalah sebuah kalung dan cincin. Edgar memberikannya kepada Rowena yang sedang kebingungan dengan yang dilakukan oleh pria tua itu sekarang.
Rowena melihat kalung dan cincin itu lebih dekat. Setelah dilihat-lihat ia baru menyadari kalau itu adalah perhiasan kesayangan milik ibunya. Rowena langsung menatap Edgar dengan tatapan yang ingin meminta penjelasan.
"Bagaimana kau bisa mendapatkan perhiasan ini? Bukankah ini perhiasan kesayangan milik ibuku? Dan bukankah semua barang ibuku telah dibakar oleh si Ratu Jahanam itu?" ucap Rowena yang masih tidak percaya dengan perhiasan yang dipegangnya sekarang.
"Pada saat sang Ratu membakar barang-barang milik ibumu, aku diam-diam memungutnya untuk diberikan padamu. Tetapi aku belum bisa menemukan waktu yang tepat untuk memberikannya padamu."
Rowena kembali memeluk Edgar. "Terima kasih, ayah. Aku benar-benar mengucapkan terima kasih dari dalam lubuk hatiku. Ini adalah hadiah terindah yang pernah ada."
"Simpan perhiasan itu baik-baik. Karena bagaimanapun juga itu adalah bukti kenangan dari ibumu yang masih ada sampai sekarang," jawab Edgar.
Percakapan antara Rowena dan Edgar terhenti karena Sir Cedric, Sir Damian, dan Pangeran Helios sudah kembali masuk ke dalam sana lagi. Edgar pun mulai mengobrol dengan ketiga pria itu agar mereka tidak bosan karena mau bagaimanapun mereka bertiga adalah tamu dan sebagai pemilik rumah Edgar memang diharuskan untuk memastikan agar mereka nyaman dan tidak bosan.
Saking asiknya pembicaraan mereka di sana, mereka sampai lupa kalau langit sudah mulai gelap. Untuk hari ini mereka memutuskan untuk menginap di rumah itu. Rowena dan Edgar tidur di tempat tidur yang sama, sedangkan Sir Cedric, Sir Damian, dan pangeran Helios tidur di tanah.
Malam itu Rowena sama sekali tidak bisa tertidur. Ia terus memandang wajah Edgar yang sudah tertidur lelap. Jujur saja ia sendiri takut kalau apa yang dikatakan Edgar beberapa jam yang lalu akan menjadi kenyataan. Ia menaruh jari telunjuk dan jari tengahnya di bawah hidung Edgar untuk memastikan apakah dia masih bernapas. Dan hasilnya adalah ia menemukan.kalau Edgar sudah tidak bernapas lagi.
Wajah Rowena menjadi pucat seketika. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan mulai berusaha membangunkan Edgar, hasilnya tetap nihil dan Edgar sama sekali tidak bangun ataupun bergerak. Keributan yang dibuat oleh Rowena membuat ketiga pria yang tertidur di tanah pun terbangun. Mereka bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi saat itu.
"Pak Tua, bangunlah. Kumohon jangan tutup matamu seperti itu, ayo bangunlah, Ayah," panggil Rowena dengan nada yang lirih.