Rowena pun akhirnya bangun dari tidurnya. Saat ia membuka matanya, ia langsung melihat Sir Cedric yang tengah duduk di sebuah kursi yang ada tepat di depan tempat tidurnya sembari membaca buku.
"Kau sudah bangun? Bagaimana keadaanmu sekarang?" ujar Sir Cedric.
"Kurasa lebih baik dari sebelumnya. Aku ingin pergi ke ruang makan sekarang. Apakah kau ingin pergi bersamaku?" tawar Rowena.
Sir Cedric bangkit dari kursinya dan berjalan menghampiri Rowena yang sudah duduk di tempat tidurnya. Ia mengulurkan tangannya untuk membantu Rowena berjalan karena perempuan itu terlihat sangat lemas. Rowena pun mencengkeram tangan Sir Cedric dengan kuat. Lalu mereka pun keluar bersama dari kamar itu.
Sesampainya di ruang makan, Rowena memutuskan untuk duduk bersebelahan dengan Sir Cedric. Para pelayan berbondong-bondong datang untuk menyajikan makanan. Satu per satu makanan sudah dihidangkan di atas meja yang panjang itu. Semua makanan itu memang terlihat enak dan mengunggah selera, tetapi Rowena sama sekali tidak bisa menikmatinya. Ia hanya mengaduk-aduk sup yang ada di mangkuknya.
Sir Cedric yang tengah menyantap makanannya pun menegur Rowena. "Bukankah tadi kau ingin ke ruang makan karena ingin makan? Tetapi kenapa kau hanya mengaduk-aduk sopmu seperti itu?"
"Saat aku baru bangun tidur, aku memang merasa sangat lapar. Tetapi saat sudah berada dihadapan makanan-makanan ini nafsu makanku mendadak hilang," jawab Rowena.
"Apa aku perlu menyuapimu?"
Rowena tertawa mendengar tawaran Sir Cedric. "Aku bukan anak kecil lagi, Cedric. Tidakkah menurutmu keterlaluan jika aku memintamu untuk menyuapiku?"
"Tentu saja tidak. Jika kau ingin maka aku akan langsung menyuapimu sekarang," jawab Sir Cedric dengan cepat.
Tiba-tiba Rowena merasa ada seseorang yang menepuk pundaknya dengan lembut dari belakang. Ia pun menoleh ke arah belakang. Ternyata yang menepuk pundaknya barusan adalah Sir Damian.
"Bagaimana keadaanmu sekarang? Apa sudah lebih baik dari sebelumnya?" tanya Sir Damian sembari duduk di sebelah Rowena.
"Sudah sangat baik. Saking baiknya kurasa kita sudah bisa kembali ke istana Valeccio besok," jawab Rowena.
"Woah, bukankah kau terlalu terburu-buru. Bagaimanapun juga kau tetap harus istirahat untuk sementara waktu. Daripada nanti saat kita sampai di istana Valeccio, kau sama sekali tidak bisa fokus untuk membuat strategi perang," balas Sir Damian yang tengah menunggu para pelayan menghidangkan makanan untuk dirinya.
"Tapi aku sudah baik-baik saja dan sudah bisa kembali ke istana Valeccio untuk merancang strategi selanjutnya, Kakak," ucap Rowena dengan wajah cemberutnya.
Sir Damian menusuk pipi Rowena menggunakan jari telunjuknya dan berkata, "Berhentilah menunjukkan ekspresi wajah seperti itu dan turutilah perkataanku atau akan kucubit pipimu dengan kencang."
Rowena menatap Sir Damian dengan tatapan tajamnya. "Jika kau berani melakukan hal itu, aku tidak akan segan-segan mematahkan tangan yang mencubit pipiku itu."
"Hey, sudah cukup kalian berdua. Kalian benar-benar mengganggu makan malamku yang indah ini. Lagipula jika Rowena sudah mengatakan kalau dia baik-baik saja dan sudah bisa kembali ke istana Valeccio, bukankah lebih baik kita turuti saja keinginannya. Aku yakin Rowena tidak akan mencampurkan masalah pribadinya dengan peperangan," omel Sir Cedric karena merasa ketenangannya telah diganggu oleh kedua manusia itu.
"Tuh, Cedric saja setuju dengan permintaanku. Tetapi kenapa kau bersikeras menyuruhku untuk beristirahat di kastil Terania ini?" gerutu Rowena.
"Dasar perempuan yang menyebalkan! Aku itu mengkhawatirkan dirimu tahu!" ucap Sir Damian sambil mengunyah makanannya.
"Sudahlah. Nanti aku akan memerintahkan para pelayan di sini untuk menyiapka kereta kuda agar kita bisa segera berangkat ke istana Valeccio besok pagi," ujar Sir Cedric.
Rowena langsung menoleh ke arah Sir Cedric dan berteriak, "Kau memang yang terbaik, Cedric. Hanya kaulah satu-satunya yang sangat mengerti diriku. Tidak seperti pria yang satu itu."
"Berhentilah menyindirku, Wahai Adikku, Rowena yang tersayang." Sir Cedric menyeringai sembari menatap Rowena.
Rowena langsung bangkit dari kursinya dan berkata, "Kalau begitu aku akan kembali ke kamarku dulu. Sampai jumpa besok semuanya."
"Kurasa kakimu masih belum kuat untuk berdiri apalagi untuk berjalan. Jadi, apakah kau ingin aku antar ke kamarmu?" Sir Cedric menawarkan diri untuk membantu Rowena.
Rowena hanya tersenyum dan menjawab, "Tidak perlu. Aku bisa kembali ke kamarku sendiri."
Rowena pun berjalan meninggalkan ruang makan. Ia melangkahkan kakinya dengan pelan karena kondisi tubuhnya yang masih lemah. Entah mengapa rasanya kamarnya berada di tempat yang sangat jauh dan susah untuk dicapai padahal kamarnya itu adalah kamar yang paling dekat dari ruang makan.
Setelah sampai di dalam kamarnya, Rowena langsung merebahkan seluruh badannya yang sudah kelelahan di tempat tidur empuknya. Ia terus memandang langit-langit di kamarnya karena seberapa besar usahanya untuk memejamkan matanya dan tertidur selalu gagal.
Ia memang sengaja ingin cepat kembali ke istana Valeccio, bukan untuk menyelesaikan perang dan penaklukkan yang menyebalkan ini dengan cepat. Tetapi kematian Edgar, memicu rasa kesal dan dendamnya menjadi semakin meningkat sehingga dirinya ingin segera menghancurkan dan menjadi mimpi buruk bagi Kerajaan Edelle bagaimanapun caranya.
Di pagi selanjutnya, Rowena bersama Sir Cedric dan Sir Damian sedang berdiri di depan gerbang kastil sembari menunggu seorang pria memperbaiki roda dari kereta kuda yang akan ditumpangi mereka sampai ke Istana Valeccio. Secara tiba-tiba Pangeran Helios muncul di belakang mereka sembari membawa sebuah pedang kayu.
"Kalian akan pergi kemana?" tanya sang Pangeran.
"Kami akan kembali ke istana Valeccio untuk menyusun strategi perang dan melanjutkan perang," jawab Rowena dengan santainya.
"Apa?? Kenapa tidak ada satupun orang yang memberi tahuku tentang hal itu?" teriak Pangeran Helios yang terlihat kaget.
Rowena, Sir Cedric, dan Sir Damian saling bertatapan satu sama lain dengan ekspresi wajah kebingungan.
"Kau tidak memberi tahunya?" ucap mereka bertiga dengan bersamaan. Mereka bertiga pun menggelengkan kepalanya dengan bersamaan lagi, yang berarti kalau tidak ada satupun orang diantara mereka yang memberitahu Pangeran Helios tentang keberangkatan mereka ke istana Valeccio di hari itu juga.
Rowena pun tertawa geli. "Maafkan aku, Yang Mulia. Kami bertiga merencanakan hal ini secara mendadak kemarin malam. Jadi, kami semua lupa memberi tahumu soal hal ini."
Pangeran Helios menghela napas panjang mendengar permintaan maaf dan alasan singkat dari Rowena. "Aku sampai tidak bisa berkata-kata lagi. Bagaimana bisa kalian melupakan diriku?"
Sir Damian tertawa kencang dan merangkul leher Pangeran Helios. "Ayolah, kami bertiga adalah manusia normal yang bisa melakukan kesalahan dan juga lupa. Lagipula kau tinggal ikut kami saja ke istana Valeccio atau jika kau masih ingin disini, kau bisa melakukannya lalu kembali lagi ke istana Valeccio setelah beberapa hari kemudian."
Pangeran Helios langsung mendorong tubuh Sir Damian. "Baiklah. Aku akan ikut dengan kalian. Awas saja jika lain kali ada hal penting tetapi kalian tidak menyampaikannya padaku."
Akhirnya mereka berempat pun menaiki kereta kuda itu. Perjalanan kembali ke istana Valeccio pun dimulai.