Dalam perjalanan tak ada yang bisa mereka bicarakan. Sorot mata Radit sudah menunjukkan kalau suaminya ini sedang marah kepadanya. Tak bisa disentuh sedikit pun ataupun diajak bicara.
Bella sungguh takut jika seperti ini. Mengingat dirinya tadi juga sudah mengabari Radit bahwa akan lembur. Pulang telat dan biasanya memang Radit tak pernah mempermasalahkan. Meski baru dua kali Bella pernah lembur.
Tapi kali ini, rasanya sungguh berbeda. Radit seperti sedang murka membuat Bella binggung tak mengerti. Khawatir dirinya akan mendapatkan siksaan setelah ini. Dalam diam, Bella memandangi pergelangan tangannya yang memerah.
Ya, ini semua memang kerena Radit. Suaminya yang langsung menarik tangannya tanpa aba-aba. Mencengkeram kuat dan menyeretnya keluar kantor. Memasuki mobil dengan kasar. Itu sungguh kesan buruk bagi Bella.
"Turun dari mobil langsung ke kamar! Enggak usah nyiapin apa pun ke aku. Mandi dan tunggulah aku di sana. Hal ini enggak bisa dibiarkan terus-menerus!" sarkas Radit tegas tanpa melirik keberadaan Bella sedikit pun.
Meski Bella yang sempat tersentak dengan nada bicara Radit, sedikit takut dengan Radit yang mulai mengeluarkan kata-katanya.
Tak ingin dirinya semakin memperkeruh suasana dan memperburuk mood suaminya, Bella pun langsung meraih tasnya dan turun dari mobil. Menuju kamar langsung seperti yang Radit perintahkan kepadanya. Bella menurut saja.
Entah ke mana Radit sekarang pergi, dirinya tak melihat suaminya turun dari mobil setelah penurunannya. Hari sudah larut malam, tapi Radit justru pergi entah ke mana.
Tanpa pikir panjang, Bella pun mulai membersihkan diri. Mandi dan berganti pakaian yang lebih bersih dan segar. Mempersiapkan malam kelamnya kali ini dengan keadaan fresh. Meski Bella tak tahu nasibnya setelah ini bagaimana dengan Radit.
KREEEEKKKK
Pintu kamar terbuka, menampilkan seorang lelaki bertubuh kekar memasuki kamarnya. Dirinya sedari tadi duduk di tepi ranjang sambil menghadap ke arah kaca. Memperhatikan diri sendiri sambil beberapa kali sedang intropeksi diri.
Radit lebih mendekatinya dengan ekspresi yang tak bisa dijabarkan lagi. Dengan dirinya yang mulai menundukkan pandangan, bersiap menerima apa pun yang akan Radit lakukan. Oke, ini adalah konsekuensinya juga.
"Gimana hari ini? Happy? Dengan segala kesibukan kamu hingga melupakan tanggung jawab?!" bentak Radit sambil bersedekap dada.
Bella terkejut bukan main saat Radit dengan keras membentak di depannya langsung. Menatap kedua matanya dengan pandangan yang berapi-api. Nyali Bella menciut seketika.
Dirinya yang sedari tadi berusaha meyakinkan kepercayaan bahwa semua akan baik-baik saja. Percaya bahwa Radit bisa memaafkannya kali ini. Tapi, Bella merasa semuanya sia-sia.
"Aku ... aku, kan udah izin sama kamu, Mas tadi pagi? Sore hari pun aku juga udah kabari kamu karena aku ada banyak tugas," sahut Bella lebih lembut setelah mendapat bentakan dari Radit.
"Hallah! Alasan!"
"Memangnya aku udah bilang 'boleh' sejak tadi kalau kamu mau sibuk sepanjang hari ini, Hah!
Aku mengizinkan kamu dengan pekerjaan kamu itu, bukan untuk membuatmu kabur dalam melayaniku, Bella! Ingat batasanmu dan ingat kewajibanmu di sini!"
Tak terasa, cairan bening yang berasal dari bola mata indah Bella pun luruh membasahi pipinnya. Hidungnya sudah mulai memerah karena menahan isakan tangis yang memang sama sekali tak berguna.
Ini kali pertamanya mendapat bentakan dan marahan dari seseorang sejak dirinya kecil. Orang tuanya dari dulu tak pernah memarahinya dan tak pernah melarangnya melakukan sesuatu. Hingga dirinya tumbuh menjadi wanita yang berhati sangat lembut.
"Tapi ... kupikir kamu mengerti posisiku di sana, Mas. Aku yang pegang usahaku sendiri, dan kalau aku suatu hari sibuk dengan pekerjaanku, bukannya itu wajar?
Selama ini juga aku selalu mengikuti apa katamu, kan? Tapi kenapa kamu semarah ini sekarang?"
Sungguh, dengan deraian air mata yang sudah tak dapat dirinya sembunyikan lagi. Suara pilunya yang mulai bergetar. Berusaha keras untuk bisa mengeluarkan ucapan meski sangat sulit, isakan tangis itu semakin lama semakin terdengar.
Dirinya masih berusaha membungkam mulut di sini. Tak ingin karena tangisnya, Radit lebih tak suka lagi. Mengartikan bahwa dirinya cengeng. Tapi memang benar. Bella tak pernah dimarahi sampai seperti ini.
"Enggak usah nangis! Kamu mau menunjukkan sisi lainmu sekarang agar aku lebih luluh, hah!
Tangisanmu itu enggak akan ngaruh sama aku, Bel! Aku tetep enggak suka kalau kamu terlalu menghabiskan waktumu di kantormu yang tak jelas itu!"
"Sekali, dua kali aku masih bisa memaklumi saat itu karena kita masih pengantin baru. Ini sudah berapa bulan pernikahan, Bel. Dan tiga kali kamu lari dari tanggung jawabmu!"
Masih pada tempat yang sama, masih pada pandangan yang sama, dan tubuh Bella semakin bergetar karenanya. Dirinya sudah tak bisa berkata-kata lagi sekarang. Tak tahu harus membela apa lagi, karena Bella tahu Radit tak akan menerimanya.
Hanya diam yang bisa Bella berikan sekarang. Air mata yang tak berhenti mengalir membasahi bajunya juga. Tundukan wajah yang hanya Bella berikan tak ingin Radit lebih jelas memandangnya. Bella tak kuasa menerima ini.
"Kenapa diem!? Kamu menerima semua kesalahan kamu sekarang karena kamu sudah hilang tanggung jawab, Hah!!
Kamu itu sudah aku kasih uang bulanan tiga digit, dan masih saja ingin bekerja yang tak ada apa-apanya. Kamu sebenarnya ingin mengembangkan usahamu sendiri apa mau memalukan aku, Bell!"
"Ma ... maafin aku, Mas. Aku ... akan aku usahain untuk selalu melayanimu mulai ... sekarang," sahut Bella terbata-bata.
Napasanya sudah mulai tercekat. Tak bisa mengeluarkan kata-kata lebih banyak. Semuanya begitu susah bagi Bella. Sudah ... cukup. Bella tak kuasa lebih lama.
Dengan pandangan yang masih tertunduk kembali. Tak mau menatap Radit lebih lama. Bella pun mulai beranjak dari duduknya.
Bangun dan tak ingin memperpanjang masalah. Hari sudah larut malam. Dirinya tahu pasti Radit juga sudah lelah dengan semua ini. Meski dirinya yang masih sedikit tersedu-sedu, Bella ingin lebih dahulu mengakhiri semua hal ini.
"Kita istirahat saja, ya? I ... ini sudah sangat larut malam. Pasti ... pasti kamu udah capek banget."
"Kamu ngusir aku?" nada Radit masih terdengar ketus meski perbincangan sudah berhenti beberapa menit yang lalu.
Masih berdiri tepat di depannya, tatapannya yang masih saja terkunci padanya. Bella hanya meliriknya sekilas dan kembali menunduk.
"Aku enggak ngusir kamu, Dit. Aku ... ngerti kamu pasti juga sudah lelah seharian ini. Kita sambung besok aja, ya? Sekarang tidur dulu," ajak kembali Bella dengan penuh kehati-hatian.
Pliss ... Bella sangat berharap kali ini Radit bisa mendengarkannya. Menyelesaikan masalah ini begitu saja tanpa harus diperkeruh kembali.
Okey, Bella mengaku jika dirinya juga tak sepenuhnya benar pada pertengkaran ini, Bella tahu bahwa dirinya juga salah dan Bella akui itu.
Tapi melihat jam yang sudah menujukkan pukul satu dini hari, Bella tak ingin hal ini lebih panjang bahkan membuat mereka berdua tak tidur sama sekali.
Hembusan napas gusar Radit sangat terasa pada Bella yang berada di depannya. Terlihat sangat meresahkan. Mungkin dia sudah begitu muak menghadapi Bella yang mungkin menguji kesabaran.
Tak ada perbincangan lagi yang keluar, Radit yang hanya diam dan langsung melenggang pergi meninggalkan kamar, Bella hanya memandangnya dari belakang dengan tatapan nanar.
BRAAAKKK
Suara gebrakan pintu kamar terdengar sangat keras membuat Bella terlonjat kaget. Kemarahan Radit ternyata masih sangat membara meski mereka sudah saling adu argumen.
Memejamkan kedua matanya kuat dan mulai beranjak menuju ranjang tidurnya. Bella berharap esok hari menjadi kabar baik untuknya.
*Bersambung ...