Keberadaan Intan sudah tak ada lagi di sisi Bella. Masih sendiri dirinya di ruang rawat dengan sejuta kebosanan yang pasti. Selain itu juga masih terasa rasa tak nyaman mengingat keberadaannya sekarang.
Beberapa jam yang lalu, Radit menyuruh Intan untuk pulang. Melakukan tugasnya kembali di rumah seperti biasa. Meminta juga untuk beberapa permbantu siap sedia jika di suruh kemari menemani Bella.
CKLEEEEKKK
Pintu ruangan telah terbuka menampilkan seorang lelaki yang Bella sangat tahu siapa pria itu. Radit, memasuki ruangan dengan membawa buah tangan yang sedikit membuat Bella penasaran.
"Gimana keadaan kamu? Ada yang sakit?" tanya Radit dengan suara datarnya.
Ini pertama kalinya Bella melihat Radit berada di ruangannya. Setelah mendapat kabar dari Intan jika Radit kemari, suaminya ini belum menampakkan batang hidungnya sama sekali.
Dan baru kali ini Bella menangkap keberadaan Radit yang sebenarnya.
"Enggak ada. Cuma masih pusing dikit aja," ujar Bella lirih sambil mendudukkan dirinya.
"Itu namanya masih ada. Masih cari bahasa lain."
Bella hanya mengangguk, mengiyakan apa yang Radit katakan saja terhadapanya. Melihat ekspresi dan intonasi yang Radit berikan, sepertinya Radit masih belum memaafkannya.
Setelah pengorbanannya ke kantor hingga jatuh pingsan dan berakhir di sini, Bella kira Radit akan sedikit luluh karenanya. Tapi, dugaannya salah.
Radit masih dengan sikap yang sama.
"Kalo kamu sibuk, enggak usah temenin aku enggak papa, Mas. Aku bisa jaga diri kok di sini.
Kamu masih ada kerjaan di kantor? Pergi aja," ucap Bella basa-basi tak ingin merepotkan suaminya.
Hembusan napas Radit bisa Bella dengar dengan jelas. Mengambil alih kursi yang berada di sampingnya. Duduk tepat di sisi Bella yang masih terbaring. Bella sedikit gugup kembali.
Apa yang hendak Radit lakukan setelah ini? Melihat jaraknya yang cukup dekat jika hanya sebatas mengobrol biasa.
Apakah Radit akan kembali memarahinya karena kesalahannya kali ini? Apakah Radit merasa terbebani jika harus merawatnya sakit dan terbaring di rumah sakit? Apakah Radit tak sudi jika berasa di sisinya sekarang?
Segala kemungkinan itu, seakan terputar secara otomatis di otak Bella. Menerawang semua hal yang bisa terjadi dalam kurun waktu beberapa detik ke depan. Tak bisa di pungkiri, setiap kedekatannya sekarang bisa berbuah luka yang kembali membekas.
"Enggak perlu. Istriku lebih butuh aku di sini dari pada pekerjaan kantor. Semua bisa dihandle sama sekretarisku. Aku cuma enggak mau istriku terlalu lama merasa sakit."
"Maafkan aku, Bel," sambung Radit dengan suara yang lebih memelan.
Bella terkejut bukan main saat kalimat terahkhir dengan jelas meluncur dari tutur kata Radit secara dalam. Pandangannya yang semula lurus ke depan, menatap dinding kosong di hadapannya langsung teralihkan.
Radit ... meminta maaf padanya? Atas dasar apa suaminya ini bisa mengatakan hal itu secara cuma-cuma? Orang keras seperti dia bukannya sangat sulit untuk mengatakan kata maaf jika memang tak benar-benar bersalah?
Radit bahkan sudah terbiasa dengan itu. Dingin, bicara seenaknya, dan tak peduli tempat. Dapat Bella simpulkan suaminya ini orang yang kekeh pendirian.
"Kamu minta maaf buat apa? Kamu enggak melakukan kesalahan," sahut Bella lirih
sambil menatap mata Radit dalam.
"Aku salah. Enggak seharusnya aku bentak-bentak kamu dan marahin kamu kemarin karena hal sepele itu. Kamu syok, ya?"
Ah ... Bella sudah tahu maksud Radit berbicara sekarang. Mengatakan maaf atas semua yang telah terjadi. Menyadari kesalahannya yang memang tak semua orang bisa diperlakukan sama. Radit sudah tahu semuanya.
Pertengkaran kemarin, memang pasti berdampak pada kesehatannya. Bella ... dia adalah anak tunggal yang penuh dengan kasih sayang orang tuanya. Diperlakukan bagaikan seorang putri raja memang membuat mental Bella kepada orang terdekat jadi lemah.
"Maaf, Mas. Aku terlalu nyusahin kamu, ya? Aku juga enggak tahu sama keadaan aku sendiri."
Pandangan Bella semakin lama kian menurun. Merasa bersalah kali ini karena menjadi beban untuk suaminya. Ini sangat menyakitkan bagi Bella di saat ketangguhannya harus diuji.
Dirinya juga tak bisa menyalahkan siapa pun di sini. Tidak tubuhnya dan tidak sikap Radit kepadanya. Semuanya memang saling bertolak belakang membuat Bella harus merasakan semuanya sekaligus.
"Kamu jangan banyak pikiran. Lupakan pertengkaran kita kemarin. Semua sudah berlalu dan sekarang fokus kesembuhan kamu aja."
"Mas Radit udah bicara sama Dokternya? Katanya apa?"
Tangan kekar itu mulai mendekati puncak rambut Bella. Mengusapnya lembut hingga kecupan hangat pun mendarap secara sempurnya pada kening sang istri.
Merapikan rambut yang sedikit berantakan. Menyelipkan anak rambut yang sedikit menutupi kecantikan Bella saat ini, Radit masih terbungkam dengan mulutnya.
"Mas?"
"Sudah ... enggak usah banyak tanya. Kamu nurut aja sama aku,ya?" sahut Radit
menyecup punggung tangan Bella beberapa kali.
Baiklah, jika itu pinta Radit kepadanya. Tak membiarkan dirinya tahu atas apa yang terjadi padanya. Atas apa penyebab sakitnya meski Bella juga sudah tahu sebenarnya. Biarkan saja Radit sendiri yang mengetahui hasil pemeriksaan, Bella berharap tak ada yang serius saja.
Saat ini hari sudah mulai menggelap. Matahari sudah mulai tak terlihat lagi sinarnya dari jendela ruangan yang Bella tempati sekarang. Hari sudah mulai malam, dan Bella mulai tak tega jika Radit harus menjaganya.
"Mas?"
"Iya?"
Bella masih memikirkan kembali apa yang hendak dirinya katakan sekarang. Apakah ini benar adanya, atau hanya membuat Radit kembali tersinggung.
"Kamu pulang aja, deh. Jangan tidur di sini. Biar bibi aja yang nemenin aku malam ini.
Aku enggak mau kamu tidur di sofa itu dengan tidak nyenyak."
Seburuk apa pun Radit telah memperlakukan Bella di luar sana, tapi Bella masih sangat pengertian kepada suaminya ini. Merasa iba jika Radit rela menghancurkan tubuhnya sendiri untuk tidur di sofa hanya untuk menjaganya.
Bella sungguh tak suka. Tak suka jika ada orang yang tersiksa dalam penjagaannya sendiri dan membuatnya tak nyaman. Alasan lain Bella tak suka di rumah sakit juga ini.
"Sudahlah, kamu itu butuh istirahat lebih, Bel. Enggak usah mikirin aku tidur di mana dan yang lainnya. Kamu itu istriku.
Oh iya! Ini waktunya kamu makan. Aku udah beliin sesuatu buat kamu, aku udah bilang kalau kita akan makan malam bersama, kan?"
Senyum Bella seketika merekah saat Radit mulai menujukkan perhatiannya. Meyakinkannya untuk tak perlu memikirkan hal-hal yang tak terlalu penting. Menyiapkan makan untuknya, dan juga membantunya makan sekarang.
Entah ini adalah sihir atau hanyalah mimpi. Bella sangat menikmati setiap detik kebersamaannya pada Radit sekarang. Suaminya yang tadi siang sangat cuek kepadanya, sekarang sudah berbeda menjadi pribadi yang perhatian dan lembut.
"Kamu makan juga, Mas. Kok aku terus dari tadi yang makan?" protes Bella yang sejak tadi mendapat sodoran sendok terus dari sang suami.
"Biar cepet sembuh, Bel. Makan yang banyak sampai kenyang. Pipi kamu lho udah tirus, digembulin lagi, ya?"
Pandangan Bella yang sedari tadi menyorot suaminya terlihat semakin nanar dalam hatinya. Radit, orang yang ada di hadapannya sekarang terlihat menyenangkan dan sangat mengasyikkan. Terlihat sangat menghargainya dan peduli.
Tapi di satu sisi, ingatan masa lalu muncul kembali memberikan sakit yang tidak Bisa Bella jelaskan.
"Kamu kenapa? Kok diem aja? Masih inget yang kemarin, ya?" tanya Radit cemas saat melihat dengan jelas perubahan ekspresi Bella. Senyum yang mulai berubah, dan tatapan yang berbeda lagi. Radit tak mengerti.
"Aku mau pulang besok, Mas. Please!"
*Bersambung ...