Mater Mortir= Ibu kematian
"Selamat pagi."
Kami berjingkat karena kaget. Menoleh untuk mendapati seorang gadis yang sangat menawan berdiri tak jauh dari kami. Mata honey nya menatap kami hangat, dengan senyum dibibir yang sangat merah. Rambut silver blonde terurai melewati bahu dan jatuh begitu saja. Dia memakai kemeja putih dengan celana hitam. Walau sederhana, entah kenapa aku merasakan aura bangsawan yang sangat kuat terpancar dari sosok itu. Dia memegang sebuah pedang hitam dengan gantungan bundar merah dengan rumbai-rumbai cantik disalah satu tangannya.
"Selamat pagi juga," Balasku.
Gadis itu berjalan kearah ku. Langkahnya ringan tanpa meninggalkan bunyi. seperti melayang andai aku tidak melihat sepasang kaki berbalut sepatu indah bergerak menapak tanah.
"Sedang apa kau disini sendirian?" Tanyanya.
Tanpa sadar aku bergidik pelan. Suara gadis itu terdengar indah bagai lonceng magis yang dapat menghipnotis makhluk. Mataku mengerjap, guna menutupi kegugupanku. "Aku ingin membawa Shio kerumah," Jawab ku sambil menepuk pelan tubuh rusa itu.
Gadis itu mengamati Shio dengan intens. Tubuh shio menegang. Merintih pelan sambil bergidik. Setelah beberapa detik mengamati, gadis itu tersenyum hingga semburat merah terlihat jelas dikedua pipi pucat nya. "Kau memiliki tunggangan yang sangat indah."
"Sungguh?" Aku bersemangat. Shio memiliki tubuh yang sangat besar dan tinggi. Ketika kami berjalan-jalan di taman kota, tidak sedikit orang yang menunjuk dengan ngeri sebelum melarikan diri. Mereka sering menyebut Shio monster dan bahkan hampir membuat nya dibawa oleh Departemen hewan magis untuk ditempatkan di kebun binatang. Sejak itu, aku merasa takut membawa Shio berjalan-jalan di taman kota. Kami lebih sering bermain di savanah dengan resiko bertemu hewan buas.
"Tentu saja. Dia sangat istimewa."
Aku mengangguk. "Shio memang istimewa."
Gadis itu tiba-tiba menatap jauh kebelakang. kearah semak-semak yang membuat Shio beberapa saat lalu menjadi waspada. Walau tidak tahu apa yang dia lihat, aku ikut mengamati semak-semak itu dengan serius. "Apa ada sesuatu?" Tanyaku penasaran. "Shio juga menatap tempat itu tadi. Dia sangat waspada."
"Tidak ada," Jawabnya. "Hanya binatang kecil."
Dahi ku mengernyit. "Aneh, shio tidak pernah salah mendeteksi bahaya."
"Mungkin dia tertekan beberapa hari ini sehingga dia selalu waspada. Bukahkan di London ada kasus pembunuhan?"
"Kamu benar," Aku menyahut pelan kemudian tersenyum lebar. "Aku Rhys. Siapa namamu?"
Gadis itu kembali tersenyum. Senyum kecil yang membawa kesejukan musim semi seorang bangsawan. Aku merasa nyaman ketika melihat senyumnya, bahkan tubuh shio yang masih kaku kini berangsur-angsur tenang.
"Nama ku Sonja. Senang bertemu dengan mu, Rhys," Sahutnya lagi. "Sebaiknya kamu segera kembali. Tidak aman berkeliaran di hutan sendirian."
Aku mengangguk. "Kau juga. Aku memiliki Shio untuk menyeruduk predator. Kau hanya memiliki pedang dan sendirian. Itu juga berbahaya."
Pedang legam'nya terangkat. Gagangnya terbalut kulit hitam. Ada corak kecil berbentuk bunga salju tersebar keseluruh gagang. Tidak ada yang istimewa dari pedang itu. Seperti pedang mata satu pada umumnya, dengan panjang seratus dua puluh senti berwarna hitam seluruhnya.
"Ini hanya hiasan untuk menakuti hewan. Apa kau ingin memegang pedang ini?" Sonja menyerahkan pedang itu kepada ku. Aku meraihnya, ketika pertama kali menyentuh sarung pedang itu, hawa dingin menyerbu hingga menembus kulit ku. Bobot pedang itu cukup ringan untuk ukuran anak berumur delapan tahun. Terasa nyaman dan pas. "Suntikkan sedikit sihir kedalam pedang, lalu tarik perlahan keluar dari sarungnya."
Aku mengikuti instruksi Sonja. Sihir biru menari-nari dari dalam tubuhku. Keluar seperti ular yang merayap disepanjang gagang pedang kemudian menyebar keseluruh bagian. Perlahan tangan ku menarik gagang pedang, mengungkapkan tubuh segelap malam yang memancarkan kilau dari sinar matahari.
"...Wah," Sonja terdengar terkejut untuk beberapa detik. Jemari panjangnya membelai bilah hitam seperti membelai hewan kesayangannya. "Ada beberapa pedang yang memiliki roh di dunia ini, salah satunya pedang ini." Gumamnya.
"Pedang yang memilih tuanya?"
"Benar. Ketika sesuatu pedang kehilangan tuannya, secara otomatis dia akan menyegel dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa membuka nya kecuali dia telah memilih tuan barunya." Sonja menatap mataku, sebelum kembali berkata. "Sangat jarang orang yang mengetahui informasi ini, apalagi daerah barat. Tetapi informasi ini sangat umum untuk masyarakat Asia."
Aku kembali menyarungkan pedang itu ketempatnya. Mengamati sejenak secara singkat kemudian menyerahkan kembali kepada Sonja.
"Kau bisa menyimpannya," Tolaknya pelan. "Dia telah memilih mu sebagai tuannya. Walaupun aku ambil, itu hanya akan menjadi hiasan dinding perapian. Sangat disayangkan."
Mataku terbeliak menatap Sonja dengan antusias tinggi. Aku tidak perlu lagi meminta Caspar menyisihkan penghasilannya demi membuatkan pedang yang cocok untuk ku. Sebagai gantinya, uang itu bisa untuk membayar biaya kelulusan Caspar awal musim panas tahun depan. "Terimakasih kasih banyak."
"Sama-sama. Kau ingin memberikan nama apa untuk pedang itu?"
"Simba!" Sahutku cepat.
Hening. Satu detik, dua detik, tiga detik, empat de...
"Dia tidak terlihat seperti Simba," Ujar Sonja.
"Yap. Tapi Caspar mirip Simba."
Sonja menyerah. "Baiklah, selama kamu menyukainya."