Petir masih menggelegar diluar. tetes air terdengar keras ketika mengenai atap rumah. Ditengah-tengah kesadaran aku mendengar dengkingan rusa yang disusul suara benda bertabrakan. Mataku masih terpejam, mencoba terbuka lalu terpejam lagi. Aku berusaha membuka mata dengan susah payah hingga aku berfikir mataku akan juling jika aku terus memaksakan untuk segera terbuka sepenuhnya. Setelah berapa detik mengalami kesusahan untuk sadar, mataku akhirnya terbuka tanpa tragedi menjadi juling.
Suara benturan itu masih terdengar di tengah-tengah gemuruh petir dan hujan. Dengan penasaran aku melompat dari tempat tidur untuk memastikan jika suara itu tidak berbahaya.
Untuk sesaat rasanya ada yang merenggut seluruh nafasku.
Di halaman Shio tengah tergeletak lemas dengan tubuh penuh luka. Nafasnya tampak berat seakan ada beban puluhan ribu ton yang menghimpit paru-paru'nya. Dia tidak pernah terlihat selemah itu. Dengan belasan predator yang menghadang nya, Shio selalu percaya diri ketika harus melawan mereka. Sekarang aku tidak bisa melihat kepercayaan dirinya seperti biasanya. Aku hanya melihat sosok lemah yang hampir mati oleh apapun yang menyerangnya.
Kepalaku terasa ringan seperti tidak terkontrol. tangan ku meraih simba yang tergeletak di samping tempat tidur Kemudian keluar dari rumah untuk menghampiri Shio. Rusa itu terlihat lebih mengerikan jika dilihat lebih dekat. Bekas cakaran ada di mana-mana, darah mengalir keluar dari luka itu, menyatu dengan air hujan yang akan menyebar ke segala arah. Ada bekas cekikan samar di leher. Cetakan tangan besar yang mirip dengan yang ada di jasad Tom dan rusa tadi siang.
Instingku bergetar.
Aku berbalik dengan cepat seraya mengeluarkan simbah dari sarungnya. Bunyi benda tajam terdengar sangat nyaring disusul tekanan berat yang menyerang kedua tanganku. Dahiku mengernyit ketika merasakan sengatan sakit yang sangat hebat di kedua bahu. Kepalaku mendongak hanya untuk melihat sesosok Agrius tengah berdiri didepan sana sambil mencengkram bilah Simba dengan kuat.
Dalam Almanak Makhluk Mistis, Agrius selalu digambarkan dengan seorang manusia setengah beruang. Mereka tida menjabarkan jika tubuh atas seorang pria besar itu penuh dengan otot-otot kuat yang mencuat dengan mengerikan. Mata besarnya memancarkan kekejaman dari keinginan membunuh. Bibir yang dulu milik manusia hanya mengeluarkan geraman beserta air liur hijau yang menjijikan. Aku melirik pusat pusar ke bawah-----yang memang hanya terlihat tubuh beruang dengan bulu coklat.
Monster itu menyerang dengan moncongnya. Aku menarik Simba dengan penuh tenaga. Darah hitam mengalir dari tangan yang telah mencengkram nya, kemudian tubuhku berputar untuk menendang kepalanya. Monster itu tidak bergeming bagai patung. Sadar tidak berhasil aku meloncat dua langkah ke belakang untuk memberi jarak. Kaki ku mati rasa saat menyentuh tanah. Rasanya seperti habis menendang batu dengan keras.
Aku melirik Shio yang masih tergeletak di depanku. Sejenak aku ragu apakah harus tetap disini atau beralih ke tempat lain. Aku tidak bisa meninggalkan Shio dengan luka seperti itu, namun jika tidak beralih ke tempat lain aku takut tidak sengaja melukai Shio saat bertarung.
Haaaaaaaaaaaah....
Disaat seperti ini aku berharap Caspar ada disini membereskan kekacauan ini sehingga aku hanya perlu melihat tanpa harus merasakan betapa tidak mampu'nya aku menghadapi monster sendirian.
aku menatap tajam monster itu sambil berkonsentrasi untuk menggerakkan sihir di dalam tubuhku. Aliran sihir mengikuti arah pergerakan darahku, melesat dari telapak tangan lalu melingkupi seluruh pedang memanjang, terus memanjang membentuk cambuk. Aku melemparkan ujungnya untuk membelit tubuh besar Agrius. Dengan sekuat tenaga melemparnya jauh hingga keluar perumahan.
Aku mendekati Shio untuk memastikan dia masih hidup. Luka-lukanya terlihat mengerikan, tetapi tidak sampai membahayakan nyawanya. Aku merasa sangat buruk. Shio Tidak sepantasnya terluka parah. Rusa manis itu harus aman bersama kami di rumah setelah dipindahkan dari hutan. Sekarang semuanya kacau. Shio terluka dan aku tidak yakin bisa hidup atau tidak setelah ini. Aku ingin melarikan diri bersama Shio, meninggalkan monster itu berkeliaran di jalanan. Sayangnya ajarin Kakek Xiao untuk bertanggung jawab atas perbuatanku memaksaku untuk melawan.
"Shio." Aku berjongkok di dekat kepala Shio "Kau harus bertahan setidaknya tunggu sampai Caspar kembali untuk menyembuhkan luka mu. Aku tidak bisa melakukannya, sebab ada hal yang harus aku lakukan."
Aku beranjak meninggalkan Shio, melewati genangan air yang mulai terbentuk. Badai masih berlangsung, air turun sebesar biji jagung. Saat air itu mengenai kepala terasa sangat sakit. Tidak lama kemudian aku bisa melihat tiang telepon hancur dengan monster yang telah berdiri di sebelahnya tanpa tergores sedikit pun. Monster itu mengendus sesuatu dari udara, lalu menyeringai lebar . Dia menatap ku dengan intens yang membuat bulu kudukku berdiri.
Monster itu melesat cepat menembus hujan, tubuhnya yang besar tidak menghalangi untuk menjadi lincah. Dia mengangkat cakar tinggi-tinggi lalu menebas cepat ke arahku. Spontan aku mengelak dan menyerang perutnya. Satu sayatan dalam muncul di tubuh kerasnya, mengeluarkan darah hingga mengalahkan genangan air di bawah kakinya.
Raungan kesakitan terdengar menyayat keheningan malam. Mata merahnya memancarkan kilat marah dengan kebengisan yang tidak terbendung. Dia melancarkan serangan secara membabi-buta. Mencakar kesegala arah yang bisa dia raih hingga tempat-tempat yang terkena serangannya hancur berkeping-keping. Aku mengelak kiri dan kanan, melompat ke belakang hingga harus berguling-guling. Beberapa kali cakarnya mengenai bagian tubuh hingga berdarah. Aku mau tas bahu kirinya dan memotong setengah dari rambut pirang kusam menjadi setengah botak. Aku ingin menendangnya namun mengurungkan niat setelah ingat seberapa keras tubuh monster itu.
Tiba-tiba tubuhku terasa lemas. Luka-luka yang disebabkan dari cakaran itu berdenyut pelan sebelum denyutan itu sirna, disusul otot-otot yang mulai kehilangan fungsinya.
Oh tidak...
Rasa panik menyerang ku. Ketakutan akan kematian hadir tumpang tindih dengan gambaran monster itu yang kian mendekat. Aku ambruk ketanah. Secara ajaib Simba melekat erat ditangan, walau aku yakin jemari ku tidak menggenggam gagangnya.
Aku menangis...
Caspar....
Aku menginginkan Caspar. Aku tidak pernah seingin ini melihat Caspar pulang kerumah. Dihari biasanya aku malah senang Caspar terlambat pulang, karena itu berarti waktu bermain ku semakin panjang. Tapi sekarang aku ingin Caspar pulang. Menyelamatkan aku dari monster itu.
Agrius berdiri dihadapan ku. Hidung bengkok nya mengendus-endus diriku selama beberapa menit. Dia menyeringai semakin lebar, lalu tangan besarnya yang penuh kuku runcing mencengkeram kaki ku sambil menyeretku disepanjang jalan.