Rasanya sangat sakit. Butuh beberapa jam untuk aku menerima kematian Tom. Laki-laki itu sangat baik, dengan senyuman cerah dan wajah rupawan. Kami berkenalan dua tahun yang lalu saat Tom dipindah tugaskan dari Bristol. Aku yang sering mengunjungi Shio, mau tidak mau juga sering berpapasan dengan Tom ketika dia sedang berpatroli di hutan. Sejak saat itu kami sering berinteraksi hingga menjadi teman. Namun semua itu telah menjadi kenangan saat aku menguburkan jasad Tom dibelakang kantornya.
Aku mendesah
"Kita tidak akan melihat Tom lagi, Shio," kataku dengan pedih."Tidak akan pernah.
Shio mendengking sebagai tanggapan. Dia berjalan pelan menuju kawasan perumahan kami. Ada banyak orang yang melirik shio, bahkan beberapa pejalan kaki berhenti untuk menunjuk-nunjuk Shio dengan pandangan waspada. Untuk kali ini aku menutup mata. Mengabaikan mereka, karena seluruh tubuhku terlalu lelah dengan semua kesedihan yang membuat setiap tarikan nafas terasa menyakitkan.
"Aku akan membunuh monster itu," gumam ku."Membalaskan kematian Tom dan orang-orang yang telah dibunuhnya!"
Sekali lagi Shio menyahut dengan menganggukkan kepalanya. Kaki kanannya mengetuk keatas aspal dua kali dengan keras. Membuat ku harus menepuk kepalanya, guna menenangkan hewan itu agar tidak menjatuhkan ku. "Ya, kita pasti membalasnya bersama."
Memasuki sekitar rumah, aku melihat kakek Xiao memindahkan tas kedalam mobil bututnya. Pegy, mobil Volkswagen beetle itu telah mengkilap dengan warna kuning pudar akibat usia. Aku mempercepat langkah shio untuk mendekati Pegy. "Kakek ingin pergi kemana?" Tanyaku penasaran.
Xiao Wenten, laki-laki enam puluh tujuh tahun keturunan China itu menoleh ke arahku. Wajah tampannya telah termakan usia, meninggalkan aura seperti guru yang bijak. Dia sangat baik kepadaku, mengajarkan banyak hal yang tidak bisa diajarkan Caspar padaku. Salah satunya adalah pelajaran kesukaan ku. Ilmu pedang dan mendongeng.
Kakek Xiao tersenyum sambil menutup pintu bagasi. "Aku akan mengunjungi putra ku untuk beberapa hari. Kemarin menantuku melahirkan bayi laki-laki."
"Itu kabar bagus, Kakek," kataku."Selamat."
Kakek Xiao mengernyit ketika melihat ku. Mata kecilnya mengamati ku dengan seksama. "Rhys, apa ada sesuatu yang terjadi? Kau tampak lesu."
Bibir ku keluarkan. Terasa ada bola besar yang mengganjal ditengah-tengah tenggorokan ketika aku ingin bicara. Sangat menyakitkan hingga aku hanya mampu menggeleng pelan sambil tersebut samar.
Kakek Xiao mendesah pelan seraya menepuk kepalaku. "Sebaiknya ceritakan kepada Caspar. Jangan memendam'nya sendiri."
"Baik, kakek," sahutku.
Aku meraih Simba untuk diperlihatkan kepada kakek. Sepintas terlihat mata kakek melebar sebelum kembali ke keadaan tenangnya. Dia mengamati Simba dengan sangat teliti kemudian menganggukan kepalanya untuk memberikan persetujuan nya. "Pedang yang bagus. Dari mana kau mendapatkannya?"
Aku memberitahu kakek Xiao semua yang Sonja katakan. Dia hanya mengangguk sesekali tanpa berkomentar apa-apa. Setelah mengatakan semuanya, dia baru berujar. "Kau mendapatkan perang yang tepat. Rawat dengan baik agar belangnya tetap tajam. Aku harus segera berangkat. Jadi berhati-hatilah ketika keluar. Jangan bermain terlalu jauh agar kamu tidak bertemu dengan orang yang salah."
"Kamu juga kakek, berhati-hatilah ketika berkendara." Sejenak aku terdiam ketika teringat dua mayat yang ditenun di hutan."Sebaiknya kakek menghindari berjalan di pinggir hutan pada malam hari."
"Terimakasih telah khawatir. Saran mu akan aku ingat."
Aku terdiam sambil melihat Pegy melaju keluar komplek. Bahkan setelah mobil itu menghilang dari tikungan, aku masih duduk dengan tenang. Sejak meninggalkan kantor penjagaan hutan, aku merasa ada sesuatu yang mengawasi ku dari suatu tempat. Namun shio yang memiliki intuisi tajam terlihat tenang tanpa gelisah seperti sebelumnya.
Dahi ku mengernyit. Apa itu hanya perasaan ku saja?
*****
Malam ini Caspar tidak pulang. Beberapa saat lalu dia menelpon untuk memberitahu ku tidak ada bus untuk pulang. Karena itu dia terpaksa menginap di gedung tempat biasanya dia melakukan pertarungan.
Diluar, hujan turun dengan deras. Badai yang dikatakan Caspar telah sampai kemari. Angin berhembus sangat kencang, menerbangkan benda-benda kecil diluar hingga terlempar puluhan meter. Aku mengintip dari jendela untuk memastikan keadaan Shio yang tengah berbaring dipojokan dengan jerami sebagai alas.Dia tampak tenang. Tidak terganggu oleh suara badai yang sedang terjadi. Aku beranjak menuju tempat tidur sambil membawa sebuah buku dongeng yang aku pinjam dari kakek Xiao beberapa hari yang lalu. Buku ini sudah hampir selesai ku baca, tinggal beberapa lembar lagi aku bisa menyelesaikannya. Walaupun isinya aneh dan lebih mirip metode sihir gelap, aku tetap ingin menyelesaikannya.
Serap esensi mayat ketika aura masih pekat. Lalu-------
Aku baru tahu mayat memiliki esensi yang bisa diserap. Orang-orang lebih mengenal mantra dan ramuan dibanding esensi makhluk. Dan jarang sekali ada yang memakai hal seperti itu untuk kekuatannya.
Mataku mulai berat untuk tetap terbuka. Bibir ku terus menguap. Aku letakkan buku itu di samping bantal. Menarik selimut tipis bercorak abstrak lalu bergelung dibawah hawa dingin badai. Tidak butuh waktu lama aku telah tertidur lelap.