Chereads / MATER MORTIS / Chapter 5 - Chapter 3

Chapter 5 - Chapter 3

Tanganku menepuk tubuh Shio dua kali. Memberikan isyarat untuk rusa itu agar menghenyakkan diri ke tanah. Aku menyelipkan simba di tanduk, memastikan benda itu tidak akan jatuh ketika Shio bergerak kemudian naik keatas tubuh rusa itu.

"Aku akan pulang lebih dahulu. Selamat tingga, Sonja," kataku.

"Hati-hati di jalan."

"Baik!"

JALAN setapak di hutan masih sepi. Hanya ada langkah kaki Shio yang terdengar memecahkan keheningan. Sinar matahari berdesakan masuk dari celah-celah dedaunan, menyinari area dimana kegelapan pagi bersemayam. Shio Melangkah pelan, membiarkan aku untuk menikmati rerimbunan hutan di siang hari. Dikejauhan aku samar-samar melihat seekor rusa tengah tertidur didekat semak-semak. Rusa berjenis kelamin betina itu tidur membelakangi jalan setapak, hinggap aku tidak bisa melihat wajahnya. Dengan antusias melihat binatang lain, aku membelokkan Shio kearah sang rusa itu. "Lihat, hewan pertama yang kita temui hari ini."

Shio mendengking. Hewan itu tampak gelisah ketika kami mendekati rusa itu. Tubuhnya tegang sehingga mengakibatkan tubuh ku ikut merasa tidak nyaman disetiap langkah yang Shio ambil.

"Ada..." Belum selesai aku bertanya, tiba-tiba tercium bau darah yang sangat pekat di udara.

Ugh..!

Aku menepuk punggung shio dengan keras. Menyuruhnya untuk berhenti sebelum aku memuntahkan seluruh sarapan ku ke tanah. Bau darahnya sangat buruk. Belum pernah aku mencium bau darah sepekat ini selama hari-hari bertahan hidup di alam liar. Bahkan seekor predator tidak akan meninggalkan bau sepekat ini ketika berburu. Lalu siapa yang berani melakukan hal kejam itu disini?

Aku turun dari Shio dan berjalan kearah rusa yang menjadi sumber bau itu berasal. Rusa itu berbaring tenang dengan mata kecil melotot. Ada garis-garis jari tangan yang sangat besar berwarna ungu. Posisi lehernya tampak ganjil, seakan tidak ada tulang yang pernah menyangga sebelumnya. Aku melirik perut bawahnya dan hampir memuntahkan lagi isi perutku. Disana sangat berdarah. Seperti ada benda tajam yang membuka perut dengan cara perlahan. Sangat rapi hingga tidak ada cipratan darah dimana-mana, hanya bekas darah yang menempel di rumput kemudian melintasi semak belukar.

Bekas itu terasa tidak benar. Seperti seseorang yang mengeluarkan isi perut rusa itu lalu menyeretnya.

Aku menyentuh darah diperut rusa itu. Hangat.

Jantungku terasa berhenti berdetak. Darah itu masih hangat, yang berarti belum lama ini pembunuhannya terjadi. Dengan cemas aku mengelap tangan diatas rumput kemudian menunggangi Shio untuk segera meninggalkan tubuh rusa itu.

Shio berlari cepat untuk keluar dari hutan. Tidak jauh dari sini, ada bangunan satu lantai yang diperuntukkan untuk polisi hutan.

Aku berhenti didepan bangunan itu lalu masuk kedalam. Ruang kerja opsir Tom tampak lengang. Tidak ada orang yang biasanya duduk dibelakang meja sambil menulis laporan. Aku menarik nafas perlahan, menenangkan detak jantungku yang mulai ketakutan. Mengumpulkan keberanian, aku kembali masuk lebih dalam kebangunan itu. Dipojok ruangan dekat papan pengumuman, ada pintu yang mengarah ke dapur. Beberapa meter lagi, ada sebuah pintu bertuliskan toilet yang sebenarnya kamar tidur. Dulu aku pernah masuk saat mengira itu kamar mandi sungguhan. Melihat aku tertipu oleh tipuan murahannya, opsir Tom tertawa keras hingga hampir jatuh dari kursi. Ketika mengingat momen itu aku hanya ingin menggigit diriku yang berumur tujuh tahun karena mudah sekali ditipu.

"Opsir Tom?" Teriakku. "Opsir Tom, dimana kau?"

Tidak ada jawaban. Aku berlari kearah kamar tidur. Disana kosong tanpa jejak manusia. Aku berbalik kearah dapur. Ketika ingin membukanya, tangan ku terasa gemetar tanpa sebab. Perasa ini membuatku semakin gelisah hingga membutuhkan waktu lama untuk menarik pintu itu terbuka.

Ah....

Hidung ku mencium bau darah samar bercampur dengan daging busuk yang kuat. Didalam sana aku melihat pintu belakang telah rusak parah. Sebagian dinding hancur berantakan. Ada dengung familiar yang sering kudengar dari bangkai hewan ketika tidak sengaja bertemu di jalan.

Tidak. Tidak, tidak, tidak.

Ketakutan melanda ku, menyedot seluruh keberanian untuk melihat kearah sumber suara itu. Ada cakar yang merambati punggung ku kemudian naik lalu mencengkeram jantungku. Rasa sakit itu memaksakan tubuhku untuk menoleh ke kiri lalu aku membeku.

Jeritan ku terdengar menusuk tajam ditengah-tengah keheningan.