Chereads / Terpaksa Menikahi Tetangga / Chapter 1 - part 1

Terpaksa Menikahi Tetangga

Achla_Aufa
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 13.4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - part 1

Hari ini matahari tampak malu-malu untuk memancarkan sinarnya. Lumayan mendung. Semendung hatiku yang kemarin baru saja habis putus sama pacar. Eh ralat, maksudnya mantan pacar. Ketika kesetiaan telah terkhianati, ya jalan satu-satunya adalah putus. Putus dari orang yang udah dua tahun ini menjadi pacarku. Menghiasi hari-hariku yang yah ... itu-itu saja. Menemaniku kemana pun aku pergi.

Kupikir dia laki-laki yang setia, tapi nyatanya sama saja dengan yang lainnya. Suka mengatakan cinta pada pasangannya hampir di setiap harinya, namun gemar juga melirik wanita yang berbeda, menebarkan pesona seakan-akan dia adalah lelaki paling sempurna.

Cih! Harusnya dulu aku tak termakan bujuk rayunya. Padahal jelas-jelas dia adalah mahasiswa jurusan sastra yang sudah pasti pandai berkata-kata. Bodohnya diriku yang waktu itu dibutakan oleh cinta. Andai saja aku dulu tak tertarik akan pesonanya, tak akan aku menjatuhkan hatiku untuknya. Dengan begitu pasti tidak akan ada sejarah kalau aku pernah menjalin hubungan dengannya. Dan sudah pasti dari kemarin sampai hari ini aku tak harus melewati fase patah hati.

Sebenarnya aku tak begitu patah hati dengan keputusanku untuk mengakhiri hubungan dengannya setelah tahu bahwa ia berselingkuh. Tapi, yang namanya pernah bersama pasti ada lah sedikit saja rasa sedih di hati. Meski dari kemarin setelah putus, aku tak sedikit pun meneteskan air mata. Bingung? Ya ... aku juga. Bingung pada diriku sendiri, di satu sisi aku mengakui bahwa ada namanya di hati, tapi di sisi lain aku tak bisa menangisi. Ah sudahlah nggak perlu lagi diperinci lagi isi hati ini.

Dari pada terus-terusan memikirkan mantan yang sama sekali unfaedah, lebih baik baca novel yang kemarin kubeli di salah satu toko buku favoritku. Setelah tragedi putus hubungan, aku langsung pergi ke toko buku. Nggak ada drama air mata yang mengalir di pipi selama perjalanan dari TKP pemutusan mantan menuju toko buku. Jangan dikira aku ini cengeng yah. Big No untuk menangisi hal seremeh itu.

Sambil rebahan, aku mulai membuka novel, membaca dari halaman ke halaman. Kebetulan ini hari Minggu, jadi sangatlah tepat waktunya untuk bermalas-malasan. Apalagi cuaca yang mendung ini, sangatlah cocok untuk memanjakan kaum rebahan sepertiku.

Tok ... tok ... tok ...

"Key ...." Mama mengetuk pintu sambil menyenandungkan namaku.

Biasa sih, Mama memang hobinya membangunkanku pagi-pagi, bahkan bisa lebih pagi lagi dari hari ini kalau aku sedang tak menstruasi. Tapi karena Mama tahu aku lagi mens, maka beliau baru membangunkanku. Sebenarnya aku yang tadi malem pesen buat dibangunin agak siang. Hehehe ...

"Iya Ma ... Key udah bangun kok," teriakku yang masih tak mau mengalihkan pandangan mataku pada novel di tanganku.

"Ya terus kenapa nggak keluar-keluar?" Dih, mama kayak nggak tahu kebiasaan anak gadisnya aja.

"Males ah, hari ini kan libur," sahutku.

"Kamu itu ya, perawan-perawan bukannya bangun pagi bantuin mama di dapur, eh malah males-malesan." Nah ... setiap pagi pasti selalu deh keluar kata-kata andalan mama yang itu.

"Hmmm ...." Aku hanya bergumam tak jelas. Maafkan anakmu yang nggak tahu diri ini ya Ma.

"Key, buka pintunya ih." Mama masih mengetuk pintu kamarku. Kalau belum dibukain, ya gitu, pantang menyerah membuat anaknya turun dari ranjang.

"Iya, iya." Aku bangun dari posisi rebahan tadi, kemudian menaruh novel di bawah bantal. Jangan tanya kenapa, karena Mama pasti bakalan marah-marah kalau aku beli novel baru. Katanya pemborosan. Setelah itu pasti novelnya disita. Tersebab itu aku harus pintar-pintar menyembunyikan novel yang dengan susah payah aku beli dengan mengumpulkan sisa uang jajan dari Mama yang sebenarnya tak seberapa. Bahkan kadang aku rela tidak jajan untuk beberapa hari, saking kepinginnya beli novel. Maklum lah, orang tuaku bukan termasuk orang kaya.

Aku beranjak dari ranjang menuju pintu kamarku, dan kemudian membukanya. Terpampang jelas Mama yang sedang berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang, tak lupa juga wajah garang yang coba mama perlihatkan.

"Hehe ... Mama." Aku nyengir di hadapan Mama, tidak tahu kan ya harus berbuat apa.

"Hehe ... Mama." Mama menirukan ucapanku dengan bibir yang sengaja dibuat-buat. Setelah itu Mama mencebikkan bibirnya.

"Duh! Jadi gemes deh sama Mama," ucapku dengan cengiran khasku.

"Kamu itu ya, udah dibilangin kalau udah bangun tidur, udah sholat subuh, langsung bantuin mama di dapur," ucap Mama sambil menjewer telinga kiriku. Mungkin saking kesalnya.

"Aw ... sakit Ma," tuturku sambil mencoba melepaskan tangan Mama dari telingaku. Dan berhasil terlepas juga.

"Makanya kalau di-- emmmph ...." Aku menghentikan ucapan mama dengan tanganku untuk membekapnya. Biarin lah kalau dikatain kurang ajar. Lagian pagi-pagi udah ngomel aja, mana anaknya lagi patah hati juga.

Sekali lagi maafkan anakmu yang kurang ajar ini ya.

"Nggak baik Ma, pagi-pagi udah ceramah, ntar dikira tetangga, Mama mau nyaingin Mamah Dedeh, hehe ...." Aku melepaskan tanganku yang tadi membekap mulut Mama.

"Nggak lucu!" Mama menyedekapkan tangannya di dada. Alamat ngambek nih.

'Ayo Key, ambil hati Mama'

"Aduh ... Mamanya Kay yang paling cantik, jangan ngambek dong, nanti cantiknya ilang lagi," ucapku sambil menjawil dagu Mama dan mendekap Mama dari samping.

"Biarin!" Mama melengos. Pertanda mode ngambeknya belum selesai.

"Ih, kalau nggak cantik nanti papa berpaling lho," godaku.

Sebenarnya itu sama sekali tidak mungkin. Karena aku tahu banget kalau Papa adalah laki-laki yang paling setia, dan bucin banget sama Mama.

Mama masih bergeming.

"Eh, nggak ding, Mama kan cinta matinya Papa, wanita teristimewa-nya Papa, yang bisa bikin Papa klepek-klepek, apalagi kalau pas Mama lagi senyum, beh ... ! Tambah jatuh cinta banget Papa sama Mama."

Mendengar godaanku, Mama pun tersenyum. Yes! berhasil. Artinya Mama nggak ngambek lagi, dan aku terbebas dari hukuman didiemin Mama.

"Apaan sih kamu, bisa aja deh." Mama mencubit pelan lengan tanganku dengan senyum malu-malu, dan pipi yang merona.

Nah, kalau digoda gitu baru deh ngambeknya hilang. Mama kan paling suka digoda kalau mengenai tentang dirinya dan Papa.

"Nah, gitu dong senyum ... kan jadinya tambah cantik Ma, kalau Papa lihat pasti tambah-tambah jatuh cinta yang kesekian kalinya." Dan Mama pun semakin kesengsem aku godain.

"Wow, lagi ngomongin apa nih, kok bawa-bawa nama Papa." Tiba-tiba Papa datang. Sepertinya papa habis jogging, terlihat dari keringat di dahinya.

"Iya nih, anak kamu Pa, suka ghibahin kamu," ucap Mama.

"Hmmm ... dosa lho, ngomongin orang tua," tutur Papa.

"Oh jadi dosa ya, kalau Key tadi mencoba membuat Mama tambah jatuh cinta sama Papa?" kataku menggoda kedua orang tuaku yang sampai saat ini masih suka kelihatan uwuw kalau lagi berduaan.

"Emangnya tadi kamu ngomong gimana ke Mama, Key?" Papa menaik turunkan kedua alisnya.

"Ada deh ... rahasia," ucapku.

"Ooh ... jadi nggak mau ngasih tahu ke papa nih?" tanya Papa.

"Enggak." Aku menjulurkan lidah ke arah Papa. Sontak papa pun terkekeh melihat tingkahku yang masih seperti kanak-kanak, padahal usia sudah duapuluh satu tahun. Sementara Mama hanya geleng-geleng kepala.

"Udah, udah, kalian cepetan mandi, udah siang nih, nanti kan kita mau dateng ke acaranya rumah depan," ujar Mama.

"Oke istiku sayang, Papa mandi dulu ya." Papa berlalu setelah sebelumnya mencium pipi Mama.

Tuh kan, pagi-pagi udah lihat yang uwuw aja.

Sabar Key, nggak boleh iri sama keromantisan orang tua.

"Emangnya Tante Mariska mau ada acara apa, Ma?" tanyaku.

"Kamu lupa ya, kalau Rey itu mau nikah," jawab Mama.

Mama berjalan menuju dapur dan meneruskan acara memasaknya yang tadi sempat tertunda karena drama membangunkan anak gadisnya yang paling imut ini. Eh.

"Hah! Rey mau nikah? yang bener aja," ucapku sambil mengikuti Mama menuju dapur.

"Lah, emangnya kamu belum tau kalau Rey mau nikah?" Mama bertanya sambil memotong sayuran.

"Nggak tuh, Key nggak tau, lagian Key kan bukan tipe orang yang suka ngegosip kayak Mama kalau lagi kumpul sama para ibu-ibu tetangga," jawabku sambil duduk di kursi meja makan "lagian kok bisa sih, Rey mau nikah, emang ada yah yang mau sama dia?"

"Hish! Kamu ini, ya jelas ada lah yang mau sama Rey, secara Rey kan ganteng, pinter, sekarang udah punya pekerjaan tetap lagi. Perempuan mana coba yang nggak mau sama dia? Emangnya kamu nggak ada yang mau?" cerocos Mama.

"Dih! Apaan sih pake ngebandingin Key sama dia," ucapku kesal "lagian ya Ma, Key kan masih kuliah, ya wajarlah kalau belum punya pekerjaan kayak dia, terus bukannya nggak ada yang mau sama Key, tapi karena saking cantiknya Key, jadi banyak yang berebut hati Key, tapi sayangnya Key masih mau fokus sama kuliah, jadi banyak yang Key tolak."

"Ya kenapa harus ditolak semua, kalau ada yang diterima kan lumayan kamu bisa secepatnya menikah, biar nggak ketinggalan Rey menikah," tutur Mama.

"Yaelah kan Key masih muda Ma, masih dua satu, kalau Rey kan udah tua, jadi wajar kalau nikah duluan."

"Ngaku Rey lebih tua, kok kamu nggak pake embel-embel kalau nyebut dia, pake kak, mas, atau abang gitu, biar lebih sopan, Key," ujar Mama.

"Males," jawabku acuh.

"Udah sana mandi, udah siang ini, ntar keburu telat lho, ke acaranya Rey," perintah Mama.

"Kan tadi Key disuruh buat bantuin Mama masak."

"Nggak jadi!"

***********

Sesungguhnya aku males banget kalau harus ikut Mama sama Papa ke acara nikahannya si Rey, tapi karena dari tadi terus dipaksa dan diseret sama Mama, jadi mau tidak mau akhirnya aku ikut juga. Nggak enak juga sih sama Tante Mariska, kalau aku nggak datang, soalnya dia itu tetangga yang baik banget sama aku, nggak kayak anaknya-- Si Rey, yang nyebelinnya minta ampun.

Dan di sinilah aku sekarang, di depan rumah tante Mariska. Acara akad pernikahan si Rey memang diselenggarakan di rumahnya. Nggak tahu kenapa, padahal setahuku kalau akad biasanya di tempatnya mempelai putri, eh ini malah sebaliknya.

"Ayo, Key, kita masuk temui tante Mariska," ajak Mama sambil menuntun tanganku masuk ke dalam rumah yang sedari tadi sudah banyak orang. Mulai dari para tetangga dan mungkin kerabatnya tante Mariska juga suaminya. Aku pun menurut saja, dan berjalan bersisian dengan Mama.

Setelah masuk ke dalam rumah, aku dan mama pun menghampiri tante Mariska yang terlihat sedang sibuk memberi intruksi pada petugas catering.

Melihat kedatangan kami, tante Mariska pun tersenyum, dan menyudahi instruksinya kemudian menyambut kami.

"Wah ... Bu Dela sama Keyla akhirnya datang juga." Tante Mariska bersalaman dengan Mama dan bercipika-cipiki, setelahnya ia juga menyalamiku, kemudian memelukku hangat. Tak lupa juga ia mencium kening dan pipiku, hal yang biasa ia lakukan kalau bertemu denganku sejak aku kecil. Diperlakukan demikian, membuatku merasa punya dua ibu.

"Ya jelas datang dong, Mbak, masa sih rumah hadap-hadapan kita nggak dateng," ucap Mama disertai senyuman manisnya.

"Saya seneng deh, kalau kalian datang, apalagi kamu Key, cantik banget hari ini, tante jadi berubah pikiran buat nggak jadi menikahkan Rey." Tante Mariska mengelus lembut rambutku.

"Ah tante bisa aja deh, kan Key emang cantik setiap hari," ucapku sambil memamerkan senyuman termanis yang ku punya "oh ya kenapa tante jadi berubah pikiran?"

"Iya, maksud tante, tante nggak jadi menikahkan Rey sama Eva, tapi jadinya sama kamu aja, habisnya kamu cantik banget sih, kan tante jadi pengen kalau kamu aja yang jadi mantunya tante hehe ...."

What? Mantunya tante Mariska? Jadi istrinya Rey dong? Dih! ogah banget, Big NO ya. Dari pada sama Rey, mending aku nikah sama kambing. Eh, nggak ding, masa sama kambing sih!

Seketika aku bergidik ngeri, dan menggelengkan kepala, mengenyakkan pikiran tentang menikah dengan Rey.

"Kamu kenapa geleng-geleng gitu?" tanya tante Mariska.

"Eh ... nggak papa kok tante," jawabku sambil memperlihatkan cengiran andalan.

"Biasa Mbak, Key emang suka mendadak konslet gitu," sahut Mama.

Eh, kok Mama bilang gitu sih? Tega banget anak sendiri dikatain konslet.

Obrolan demi obrolan antara Mama dan tante Mariska pun terus berlanjut, sesekali aku juga ikut menimpali, meski kebanyakan jadi pendengar sih.

Hingga akhirnya ada tamu lain yang datang, otomatis tante Mariska pun pamit pada kami untuk menemui tamunya itu.

Mama menawarkan diri untuk membantu kesibukan di acara ini. Masih pukul delapan pagi, acara akad katanya diadakan pukul sembilan nanti. Masih ada satu jam-an lah buat nunggu acara. Mama sama Papa memang sengaja datang lebih awal gini, katanya biar bisa bantu-bantu sedikit. Katakanlah solidaritas antar tetangga.

Oh iya, tadi aku sempat tanya ke tante Mariska, kenapa kok acara akadnya di sini bukan di tempat pengantin putri, jawabnya katanya ini memang kemauannya calon pengantin putri supaya akadnya dilaksanakan di sini, nggak tahu juga alasannya apa.

Sementara Mama bantu-bantu, aku menghampiri Difi, temanku sekaligus tetangga, yang kini sedang berada di meja kue. Hmm kayaknya dia mau nyomot itu kue.

"Oi, acara belum mulai, Lo udah main makan aja itu kue," ucapku dari balik punggung Difi. Dan berhasil membuatnya kaget.

"Eh, copot eh copot." Difi latah setelah aku kagetin. "Dasar Lo, Key, ngagetin aja, nggak tau apa gue lagi ngambil kue."

"Heh, belum mulai acaranya, udah main nyomot aja."

"Ye ... bilang aja Lo juga mau kan Key?" Aku memutar bola mata.

"Enggak." Bohong, padahal sebenarnya juga pengen. "Nggak nolak maksudnya."

"Udah gue duga, seorang Key, yang doyan makan, nggak akan mungkin menolak kue-kue ini, ni cobain." Difi menyuapkan potongan kue ke mulutku. Aku pun dengan senang hati menerimanya.

"Emmm ... enak ... gue mau ambil sendiri ah." Aku mengambil piring kemudian mengisinya dengan kue yang begitu menggoda ini.

"Huh dasar! Tadi ngomongin gue," umpat Difi.

Setelah selesai mengambil kue-kue yang aku mau, aku dan Difi beranjak mencari tempat duduk yang pas buat makan kue ini. Dan ketemu juga tempatnya, di pojok ruangan.

Di sela-sela aku memakan kue sama Difi, tiba-tiba terlihat Rey berjalan tergesa-gesa menuju tante Mariska. Sepertinya ada hal genting yang mau diutarakan. Rey kemudian mengajak tante Mariska masuk ke salah satu kamar, dan entah apa yang akan mereka bicarakan.

Selang beberapa menit kemudian, tante Mariska dan Rey keluar dari kamar itu. Raut wajah Tante Mariska terlihat gelisah, dan sesekali pandangannya menyisir seluruh ruangan. Sepertinya ia tengah mencari seseorang. Sementara itu wajah Rey terlihat frustasi, ia beberapa kali mengacak rambutnya.

Buset deh, calon pengantin bukannya keliatan seneng ini malah keliatan frustasi, boleh nggak sih aku tertawa jahat?

Tanpa sadar aku dan Rey bertemu pandang, buru-buru aku mengalihkan pandangan ke kue yang sedang aku makan. Rey masuk kembali ke dalam kamar itu. Sedangkan tante Mariska berjalan menghampiri mama.

Mama diajak tante Mariska ke salah satu sudut ruangan. Aku masih memperhatikan dari sini, sesekali menimpali ucapan Difi. Entah apa yang dibicarakan tante Mariska sama Mama, aku jadi penasaran deh, kaya penting banget gitu.

Mama sepertinya sedang menenangkan tante Mariska, dan mungkin memberi solusi. Maklum mereka telah bersahabat, semenjak kami jadi tetangga.

Tidak tahu kenapa, tiba-tiba tante Mariska tersenyum senang, seolah-olah telah menemukan jalan keluar dari persoalannya. Ia kembali menyisir pandang ke segala penjuru, dan tibalah saatnya ia melihatku di sini yang sedang menyantap kue. Duh, jadi ketahuan kan, kalau nyicipi kue yang bahkan acaranya pun belum dimulai. Malu euy ... ketahuan tuan rumah. Ada panci nggak sih, buat nutupin muka?

Tante Mariska berjalan menghampiriku dan Difi, tak lupa senyumnya masih terkembang. Jangan-jangan dia mau negur aku sama Difi gara-gara makan kue sebelum waktunya. Duh gawat nih.

"Key, ayo ikut tante." Aku yang sudah meletakkan piring berisi kue yang tadi kumakan pun heran dengan sikap tante Mariska yang tiba-tiba menyuruhku untuk mengikutinya. Apalagi sekarang tante Mariska udah memegang tanganku.

"Kemana tante?" tanyaku. Sungguh aku takut kalau-kalau tante Mariska memarahiku karena aku makan kue duluan.

"Sudah ikut tante saja ayo, Mama kamu udah setuju kok." Hah! setuju? Setuju apaan ya? Menghukumku? Oh No!

"Emmm ... setuju apa tante?" Aku coba bertanya. Bisa aku duga kalau Difi juga keheranan.

"Sudah ayo." Tangan tante Mariska sudah setengah menyeretku.

"Tap--."

"Nggak ada penolakan!" Dan tante Mariska pun akhirnya menyeretku. Nggak bisanya dia bersikap memaksa seperti ini. Ada apa sih sebenarnya? Terus aku mau diajak kemana?

Bersambung