Kirana Maya Santika. Perempuan yang berprofesi sebagai tangan kanan seorang Bos besar di sebuah perusahaan yang mendunia. Hampir tiga tahun pekerjaan itu ia tekuni. Hingga tahun ini perempuan itu tengah naik daun. Dengan tekun dan telaten, semua apa yang bosnya perintahkan, ia jalankan sepenuh hati.
"Pak Bos. Seluruh laporan sudah saya kerjakan. Tinggal ditandatangani saja," ujar Kirana seraya menyerahkan setumpuk berkas tebal di meja lelaki yang ia panggil Pak Bos.
"Bagus, terima kasih, May."
"Pak Bos, saya malam ini lembur lagi?"
Merasa ditatap, Bos berpaling dari berkas kerjanya. Menutup selembar kertas berbalut stop map. Berdiri, kemudian menghampiri wanita yang sudah ia percaya.
"Temani saya!"
Kirana tersipu tatkala sepasang iris pekat menatap dirinya lekat.
"Siap, Pak Bos."
"Jangan lupa, nanti makan malam bersama sebagai tanda terima kasih saya atas pekerjaan yang telah kamu lakukan."
"Siap, Pak Bos Kakrataka."
"Masih mau di sini atau keluar?" tanya Pak Bos yang diketahui namanya adalah Kakrataka Askastara.
Tersadar dari lamunan serta sipu malu, Kirana segera berjalan menghampiri pintu satu-satunya di ruangan, sebagai jalan keluar atau pun masuk.
Kirana sempat menyandarkan tubuhnya di balik pintu yang baru ia tutup. Debar hebat amat terasa tatkala embusan napas begitu dekat dan membuai wajahnya. Juga tatap lekat dari sepasang pekat, berhasil membuat jantungnya marathon.
"Kenapa, Mbak Ki?" Orang kantor menyebutnya dengan Mbak Ki. Karena segan pada seorang wanita yang telah menjadi orang terpercaya dari pemimpin perusahaan.
"Tidak apa," jawab Kirana seraya menarik ujung bajunya agar sedikit turun dan lebih rapi.
Perempuan usia 24 tahun itu telah sukses walau karirnya baru dimulai. Ia memiliki segudang prestasi dan segenggam asa yang ia buru dengan selimpah tekadnya.
Jangan salah, di usianya tak pernah sekali pun bermain dengan candaan yang mengarah pada kemunduran. Tak pernah sekali pun dunianya berkisah perihal perbandingan diri dengan orang lain. Tiada habisnya kemunduran yang akan manusia alami tatkala mengartikan bahwa diri tak pernah lebih baik dari orang lainnya.
"Mbak Ki, nanti malam lembur lagi?" Baru saja Kirana mendaratkan pantat di kursi empuk pribadinya, ada seorang karyawan yang mendatangi.
Kiranya sontak mengangguk. "Ada apa memangnya?" tanya Kirana sembari membuka laptop kembali.
"Kemarin saya dengar ada yang punya hubungan spesial sama Pak Bos. Waktu Mbak Ki tid--"
"Ingin mengatakan hal yang tidak bermanfaat? Silakan pergi, pintu masih terbuka!" tegas Kirana tanpa ampun menyentak bawahannya.
"Baik, Mbak. Maaf."
Gadis tegas yang menyimpan sejuta misteri dalam hidupnya tak pernah terungkap sampai masanya tiba. Guguran puing lapuk dalam sekejap membabi buta hingga menutup seluruh permukaan lunak selama belasan tahun silam.
"Ada-ada saja. Dia tidak tahu saja siapa saya," ujar Kirana setelah memastikan karyawan tadi keluar dari ruangan.
Tidak akan Kirana garang tanpa disenggol terlebih dahulu. Tidak akan ada api yang membara jika tidak ada pemantik api.
"May, nanti malam lemburnya di ruangan saya saja. Ada hal yang harus kita diskusikan lebih jauh." Bos Kakrataka masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu lebih dahulu.
Mengejutkan Kirana yang tengah duduk fokus menghadap laptop. "Baik, Pak Bos," sahutnya siap sedia. Kirana paling tidak suka jika bosnya datang, ia tak sigap menyambut dengan ramah dan baik.
"Jadi, siapkan semua yang harus kamu siapkan!" ujar Kakrataka sembari mengambil duduk di sofa empuk yang berseberangan dengan meja kerja Kirana.
"Pak Bos ada kepentingan lain?" tanya Kirana.
"Tidak. Saya hanya ingin duduk sebentar di sini. Apakah salah?"
"Tidak, Pak Bos. Silakan. Saya permisi melanjutkan berkas kerja untuk persiapan malam nanti agar tidak terlalu--"
"Iya, silakan. Saya temani supaya kau tahu waktu istirahat dan waktu bekerja dengan sebaik-baiknya."
Kirana yang dalam posisi berdiri segera menunduk dan membelakangi Kakrataka. Berusaha menyembunyikan raut merona karena merasa dispesialkan oleh atasannya sendiri.
"Mengapa kau berdiri di sana?" tanya Kakrataka.
"Ah, saya ingin mengecek berkas ini, Pak," jawab Kirana seraya mengangkat berkas yang ada di tangannya.
Pembicaraan berhenti. Hanya kecanggungan yang terjadi. Salah satu pihak bergulat dengan pikiran yang terus mengatakan banyak hal aneh. Namun, coba ditepis dengan segala kesibukan yang ada di depan mata.
***
Malam pun tiba. Hampir setiap sudut kota menggelap, tinggal beberapa bangunan menjulang tinggi saja yang masih menghidupkan lampunya. Ada aktivitas yang tidak bisa diganggu gugat walau malam menyapa. Waktu istirahat tiba, tetapi ada yang memaksa untuk membuka mata untuk menikmati asupan malam bersama setumpuk berkas dan juga secangkir kopi panas.
"Permisi, Pak," ujar Kirana seraya mendorong pintu masuk ke dalam ruangan Kakrataka.
"Silakan masuk," balas Kakrataka seraya menatap Kirana lekat macam biasanya.
"Baik, Pak," ucap Kirana seraya tersipu walau tidak ada apa-apa.
Atmosfer di dalam ruangan terasa berbeda. Kirana yang masih berjalan dan menimbulkan bunyi ketukan sepatu nyaring terdengar. Menarik kursi yang berseberangan dengan Kakrataka dan menaruh beberapa berkas, juga tak lupa laptopnya.
"Kita akan selesai pukul berapa, Pak?" tanya Kirana mencairkan suasana.
Kakrataka menaruh berkasnya, kemudian menatap Kirana. "Pukul satu dini hari. Tidak apa, 'kan?" tanyanya.
Kirana mengangguk mantap. "Tidak apa, Pak."
Melebihi rumor paling menegangkan dalam kantor megah dan besar. Kirana merasa debar jantungnya tidak lagi terkendali. Suasana di antara keduanya terasa semakin mendukung. Dengan embusan napas Kakrataka yang terdengar amat dekat, Kirana sedikit mencuri pandang, selain fokus pada berkas yang tengah ia kerjakan.
"Ada yang salah?" tanya Kakrataka, mungkin tahu dengan apa yang Kirana lakukan.
"Tidak, Pak."
Meski teguran tidak hanya sekali didapat, Kirana justru semakin asyik melakukan. Menatap lelaki itu lekat, bahkan terang-terangan berusaha menyenggol kaki Kakrataka dan lelaki itu hanya membalasnya dengan senyum. Mengira bahwa Kirana hanya tidak sengaja, mungkin.
"Pak, bolehkah saya bertanya sesuatu?" tanya Kirana setelah keheningan membuat dirinya merasa semakin gila.
Kakrataka berdiri dan berjalan, kemudian berhenti tepat di belakang Kirana. Membungkuk, menatap pada bagian yang Kirana tunjuk. Sedangkan, gadis itu justru diam, tak bergeming. Menetralkan debar jantungnya yang tengah berlarian tanpa kendali.
"Paham yang barusan saya jelaskan?" tanya Kakrataka.
"Apa, Pak?" Kirana mengulang karena sama sekali tidak mencermati. Sepasang iris coklatnya terus menatap pahatan sempurna atas ciptaan-Nya, sampai lupa apa tujuan awalnya di sana.
"Kamu paham dengan yang saya jelaskan?" Kakrataka semakin membungkuk dan wajah mereka berdua hanya berjarak satu jengkal saja.
Kirana dengan bodoh menutup mata seraya membatin, meminta pada jantung supaya tetap baik-baik saja.
"Ah, bolehkah jika Pak Bos mengulangnya kembali? Saya sedikit kurang jelas dengan penjelasan yang tadi. Mata saya begitu berat untuk terbuka," elak Kirana. Walau mungkin raut merah merona itu tak lagi mampu untuk disembunyikan.
"Kamu mau?"