Lyra tak habis pikir, kenapa sih tiba-tiba terdampar di posisi yang mana ia tak tahu bersikap benar?
Hey, Lyra habis ditipu nikah. Lalu sekarang bertukar jadi princess dalam waktu singkat?
It's impossible!
Kalaupun ada, Lyra harus buat story khusus untuknya dengan judul di buruk rupa hoky besar, atau bunga layu yang tiba-tiba tertiup angin kemudian nyangkut di genteng rumah?
Bunga dandelion lho, yang benihnya bisa tumbuh dimanapun.
Diam-diam Martin tersenyum. Bisa ia rasakan tubuh orang yang ia peluk menegang. Suhu tubuh yang jauh dari kata normal. Bagus sekali. Imut dan menarik.
"Kalau ingin makan ya makan saja. Aku gak ganggu kok."
Dasar, rasanya Lyra sangat ingin mendorong Martin sampai terjungkal. Namun apalah daya, pelukan orang tersebut sangat kuat.
Hiks.
"Lepas, aku gak nyaman makan seperti ini. Memangnya pacarmu tadi sudah pergi?"
Martin sontak terkekeh. Sudah ia duga Lyra adalah orang yang beda dari perempuan kebanyakan. Saat perempuan lain marah calon suami dekat ke orang lain, ia justru cuek.
Orang ini mati rasa, bodoh yang merangkap ke dungu atau memang cuek?
Tak masuk akal.
"Dia bukan pacar aku sayang. Harus ku akui dia memang salah satu perempuan koleksiku sih."
Sengaja Martin menyebut kalimat 'perempuan koleksi' jelas dan penuh penekanan. Ia ingin tahu respon calon the little wifenya yang satu ini.
Sret.
Wow, Martin dibuat kaget oleh respon Lyra. Dalam sekali gerak orang tersebut berhasil lepas pelukannya.
Padahal kuat lho.
"Ku bilang lepas atau aku akan membuatmu menyesal," ujar orang tersebut marah.
Yang sialnya terlihat imut.
"Mau makan kok susahnya minta ampun," tambahnya lagi.
Hal yang buat Martin kaget adalah, sang calon istri mencium kilat bibirnya. Sudah dibilang orang tersebut aneh?
Yup, ini buktinya.
"Wah aku terkesan, kamu memang sesuatu," ujar Martin yang hendak peluk Lyra kembali.
Ia gemas!
"Berhenti disana. Kamu bilang akan menikahiku. Masing-masing kita tak tahu yang terjadi kedepannya. Untuk itu jangan meremehkanku. Aku bisa buat kamu nyesal walau kamu orang besar sekalipun."
Inilah intinya. Si perempuan cupu Lyra mulai mengeluarkan taring.
Hal yang sering terjadi saat pihak tersakiti berjuang. Keadilan adalah milik semua orang. Terlebih untuk orang yang ingin memperjuangkan hak untuk ia sendiri. Sudah biasa saat seseorang lelah dan muak.
Maklum.
Seperti biasa, Martin angkat bahu acuh. Ia tak anggap itu adalah perkara besar.
"Oke, aku pun percaya ke kekuasaan karma. Tak perlu kamu jelaskan, sayang."
Setelahnya hening, tak ada yang berniat lakukan apapun. Lyra terlihat fokus makan sedangkan Martin memperhatikan orang tersebut.
Lagi-lagi orang ini bersikap binal, tak terjadi apa-apa walau Martin memperhatikan seperti menonton film. Tak berkedip sedikitpun.
"Kalau aku hamil, kamu ingin bertanggung jawab, maksudku, mencintaiku apa adanya?"
Setelah Lyra bilang itu, keduanya pun saling berpandangan intens. Walau dirinya jelek, cuek atau bagaimanapun, Lyra tetap ingin tahu respon Martin, langsung dari mulut orang tersebut.
Sebuah hal penting. Jawaban Martin menjadi penentu langkah selanjutnya yang akan Lyra ambil.
Soal jawaban, apa yang Martin beri?
***
Lyra tatap lurus pantulan dirinya di cermin. Ia tak habis pikir, apa memang benar bayangan tersebut adalah ia?
Belum sampai seminggu Lyra ditipu nikah, sekarang sudah main pakai setelan nikah lagi. Euforia yang terasa membuat orang tersebut takut.
Akankah ia baik?
Benar-benar menikah?
Ngomong-ngomong, family Lyra sudah dikasih kabar belum?
Tak mungkin kan pernikahan meriah langsung siap hanya dalam waktu semalam?
Persiapan konsep, catering, tata ruang, dan hal-hal lain sebagainya tak mungkin langsung jadi.
Walau orang tersebut kaya sekalipun. Uang bukan jin yang sekali berkedip langsung ada. Lalu tenaga manusia terbatas, bukan robot.
Ceklek.
Mata belo Lyra bertatapan langsung ke manik tajam Martin. Orang tersebut sudah siap, memakai baju formal yaitu tuxedo. Lihat, orang tersebut sangat menawan.
Pegang Lyra biar gak ambyar.
Lyra tak pantas untuk orang sesempurna itu.
"Ibu, Ayah, kak Jane ikut diundang? Aku gak mau nikah tanpa keluarga. Rasanya semacam kawin lari. Atau aku gak punya keluarga, padahal kan punya," ujar orang tersebut.
Lantas tak lama setelahnya sebuah jawaban pun terdengar.
Wajah Martin terlihat santai. Komuk-komuk tipe gak pernah berpikir sulit tuh. Entahlah, Lyra tak terlalu yakin terhadap hal itu.
"Ada kok sayang, kamu gak perlu khawatir. Sekarang ayo kita turun, acara akan dimulai sebentar lagi."
Lyra menahan napas. Benarkah ia melakukan hal tersebut?
Ia sungguh akan menikah?
Berganti status?
Walau bukan perawan lagi sih. Well, ia menikah sama orang yang telah mengambil keperawanannya!
Dunia dongeng yang macam apa itu?
Tak lama kemudian Lyra pun ngomong. Lebih tepatnya pada diri sendiri.
"Saat akan menikah ke Denes aku pukul kepala sendiri, dan rasanya sakit. Nah sekarang, kalau sakit berarti aku gak mimpi, aku benar-benar menikah? Kamu tidak membodohiku kan?"
Suara Lyra terdengar sangat lirih. Ia hanya ingin pergi dari hal menyebalkan tersebut. Lebih sakit ditipu ketimbang harapan palsu. Derajat dua hal tersebut beda. Sangat jauh.
Baik makna tersirat, tersurat maupun proses.
Grep.
Lyra terpejam saat Martin memeluk erat tubuhnya. Nyaman. Saat seperti ini, Lyra teringat perjanjian nikah yang berusaha menguntungkan kedua belah pihak.
Semua yang terjadi tersebut nyata.
Martin bilang, ia ingin buka hati untuk Lyra. Sekarang Martin terang-terangan sebut bahwa dirinya tertarik ke Lyra yang sebentar lagi sandang nama belakang 'Jinan.'
Perlu digarisbawahi, baru sebatas tertarik, belum kagum yang bisa berlanjut ke tahap suka. Nah, yang terakhir adalah cinta.
Hubungan mereka masih saklek.
Dalam pelukan itu Martin tenggelamkan dirinya di ceruk leher Lyra. Mencoba menghafal wangi khas si calon pengantin.
"Trust me, aku tahu hubungan awal kita kurang bagus, namun tak menutup kemungkinan kita berjodoh. Jangan paksa aku bilang hal romantis, bermakna dan dalam. Aku tak bisa lakukan hal tersebut."
Lyra terkekeh.
Kalau setelah hubungan pernikahan berjalan namun nyatanya tidak muncul cinta, maka pihak manapun boleh memutuskan berpisah.
Ini bukan kosekuensi saat tujuan pernikahan tak tercapai, lebih untuk kenyamanan pribadi masing-masing.
Nah pertanyaannya adalah, kalau si pihak perempuan atau laki-laki yang jatuh cinta, salah satu, bukan dua-duanya, alias dengan kata lain cinta bertepuk sebelah tangan. Langkah lanjut yang akan diambil?
Jawabannya adalah, maaf, harus berusaha keras. Siap-siap untuk cinta tak terbalas, bertepuk sebelah tangan atau yang lebih buruk, ditinggal.
Apa coba yang kurang?
Pernikahan semi tak terhormat. Gak nyambung. Sayangnya Lyra pikir, itu adalah pilihan terbaik untuknya.
Martin adalah yang terbaik, untuk saat ini. Setidaknya orang itu yang ambil hal yang sangat dijaga Lyra untuk suaminya nanti.
Nikah?
*****