"Hati-hati Jane, kau ingin perang saudara?"
Orang yang berucap itu adalah Martin yang tengah terlihat kesal. Ia tak suka lihat 'rekannya' diserang oleh dua musuh tak tahu sistem ini.
Payah, main serang berdua.
Tatapan tersebut semula lurus, yang kemudian berganti mencemooh. Tak lupa ia tarik Lyra untuk mendekat.
Shit, Jane harus terjebak situasi begitu?
Martin Jinan?
Lyra dapat rekan paling bagus dalam sejarah list.
"Jangan ikut campur, ini urusan aku dan adikku."
"Ck." Martin bedecak.
"Kalau kau tak bersikap buruk, aku pasti tak akan ikut campur. Sayangnya depan mataku sendiri kau hendak menampar adik sendiri. Aku gak akan diam lho lihat istriku dihakimi oleh keluarganya. Miris keluarga itu hanya sebatas nama. Kalian menjijikan."
Lyra menunduk dalam. Apa harus begini?
Tak mau!
Wahai tenang, dimanakah 'Anda...?'
Gak boleh, Lyra harus lakukan sesuatu nih. Ia harus cepat. Biar Lyra yang putuskan hal tersebut.
"Gak masalah Martin. Ayo kita ke atas. Maaf Kak, bukan ngusir tapi lebih baik kalian pulang. Atau ingin menginap?"
Diam-diam Lyra meringis. Apa sih yang ia lakukan itu?
Mansion bukan milik sendiri, tapi sudah bertingkah seperti tuan rumah. Setelah ini pasti akan diserang Martin.
Sok nawar, padahal tadi hampir jadi bulan-bulanan sang kakak dan orang yang sialnya kakak ipar.
Genggaman Martin menguat, nah, itu artinya apa?
Sebelum Martin ngomong, senyum bertengger manis di wajahnya.
"Meski aku gak rela, but no problem. Itu bagus, punya istri berhati malaikat memang harus sabar."
Eh, itu kode kalau Lyra salah?
Atau...?
Perempuan itu sontak beralih ke Martin yang balas menatapnya. Aneh, euforia yang menguasai buat kepala pusing.
Denes sangat ingin berdecih, sayang sekali ia harus lebih berhati-hati.
"Tidak, terima kasih. Jangan pikir setelah ini kita berakhir, Tuan dan Nona Jinan. Ini baru permulaan."
Martin angkat bahu acuh sebagai respon untuk ucapan Denes. Sejak dulu kedua orang tersebut memang tak akur.
"Ayo pulang."
Masih Jane sempatkan lihat Lyra tajam untuk terakhir kalinya. Ia sangat kesal, hati dongkol.
Setelah kepergian dua devil berbentuk manusia, Lyra lihat Martin ragu-ragu. Sudah siap untuk disemprot. Habis, tadi buat salah.
Basmi kebodohan!
"Maaf," cicit orang tersebut pelan.
Lyra tak habis pikir, kenapa malah jadi begini?
Ekspresi Martin datar, sayang sekali menurut Lyra berbanding terbalik dengan deretan kalimat orang tersebut.
Begini nih.
"Siap-siap, walau ini bukan malam pertama kita, aku masih ingin menagih jatah. Aku candu dengan lubang sempitmu."
Holy shit, vulgar!!!
Tak direm lagi. Filter?
Walau bukan mobil harusnya paham keadaanlah.
Bukannya memerah, Lyra justru mencak-mencak. Martin minta jatah atau gelud?
Rasanya kepengen Lyra hentak kepalanya ke dinding biar waras dikit. Bisa bayangkan setelah dengar kalimat vulgar seorang perempuan angkat dagu tinggi-tinggi?
Nah, itu yang Lyra lakukan.
"Oke, siapa takut. Ingat, setelah ini kamu harus buka hati untukku. Aku gak peduli, mau aku terlihat bak orang tak tahu diri ataupun tak tahu malu, wanita murahan, yang urat malunya sudah putus. Aku butuh adil untuk setiap hembusan napas."
Jangan berpikir ocehan Lyra berhenti sampai sana, orang tersebut masih lanjut. Selama pita suara masih berfungsi, air liur belum kering, Lyra bertekad ngoceh sampai dia puas.
Oke, lanjut.
"Dasar, ingin balas dendam pun ada risiko. Kita harus membicarakannya. Kamu harus menjamin kenyamanan, keamanan dan privasiku. Hah... sepertinya aku harus bilang selamat tinggal ke hidup tenang."
Tak henti-hentinya Lyra mengeluh, merangkap ke ngoceh. Martin muak, tiba-tiba ia memojokkan perempuan tersebut sehingga mereka saling berhadapan, jarak sebatas hitungan centi.
Terlalu dekat, Lyra pikir sekarang gawat darurat. Napas Martin sampai terasa.
"Lepas, tunggu sampai kamar gih, dasar gak sabaran," alibi Lyra.
Entahlah, gak paham.
Hilang sudah titel polos Lyra. Sejak jadi jahat, poros berpikir orang tersebut jauh bergeser.
Untung gak gila.
Secepat itu?
Tak mungkin. Respon Martin justru semakin dekatkan wajahnya. Saat itu, hidung keduanya saling bersentuhan.
Gawat darurat.
"Maaf, aku hanya bercanda. Tolong jangan begini, kau membuatku takut," cicit Lyra pelan.
Keringat dingin muncul di sela-sela wajah Lyra. Martin terlihat seperti orang yang ingin menerkamnya hidup-hidup. Padahal setahunya, orang jelek mah gak menggairahkan. Entah kenapa orang-orang itu tertarik pada Lyra.
Bagian mana yang menarik?
Hello, Lyra sadar kok Denes juga 'tertarik.' Walaupun cuma sekedar 'menjelajahi.'
Martin menyeringai sebagai bentuk balasan bahwa ia suka terhadap respon Lyra. Dari segi wajah, Lyra memang buat Martin lifeel, hanya karena beberapa eksperimen yang buat Martin sedikit banyak cukup tertarik.
Lyra berteriak tertahan saat Martin menggendong layaknya tengah bawa karung beras. Hello, Lyra tak nyaman diposisi itu!
Hua, rasanya kepengen nangis saking gugupnya.
Sedari tadi batin Lyra berperang antara pukul, lawan, atau tidak. Ia tak tahu harus lakukan hal seperti apalagi.
Haruskah berakhir sekarang?
Eh bukan, maksudnya 'mulai.'
Set me free?
Bruk.
"Aduh, aku mau hapus makeup. Menyingkir," ujar Lyra, ia ingin pergi dari bawah kunkungan Martin.
Ia yang jelek pun akan diserang, apalagi cantik. Yang ada habis, ujung-ujungnya gak bisa jalan sebab 'itu' sampai subuh.
Ya Tuhan, Lyra tak sanggup memikirkannya.
"No problem, aku mau kamu."
Lyra refleks dorong Martin dari atas tubuhnya saat orang tersebut akan mencium. Aduh, kok malah dorong sih!?
Gak ada tindakan lain!?
Sudahlah, tak tutup kemungkinan Martin ngamuk.
"Maaf, janji setelah hapus makeup dan bersih-bersih aku akan tunaikan kewajiban sebagai istri. Biasanya aku jarang mandi, tapi demi kamu aku akan melakukan itu."
Secepat yang Lyra bisa, ia langsung lari ke kamar mandi. Terbirit-birit, bak dikejar anjing. Akibat tak awas, Lyra tak sengaja menginjak gaun yang modelnya bikin susah lahir batin.
Alhasil kecelakaan tak elit pun terjadi. Lyra nyungsep.
"Sial," ujar Lyra refleks.
Saat sadar, orang itu pun langsung tutup mulut pakai tangan.
Kualat nih, makanya jatuh.
Sret.
"Aaa!"
Mata kedua orang itu pun saling bertemu pandang. Tak lama setelahnya Lyra tersadar. Itu adalah posisi paling intim dan menakutkan dalam hidupnya.
Tangan mengalung ke leher lelaki, jarak wajah dekat, mata saling beradu, dan keadaan digendong.
Pas ingin mandi. So, bakal 'main' sambil bersih-bersih badankah?
Glek.
Lyra telan ludah susah payah. Semua terasa terlalu tiba-tiba, sekarang ia sudah jadi istri orang.
"Mandi bersama terdengar bagus."
Tuh kan.
"Aku..."
Belum sempat Lyra berucap, Martin sudah lebih dulu membawa tubuhnya ke tempat tujuan awal. Lyra jelek lho!
Kenapa buat Martin yang kece badai, tampan, keren sang punya tubuh sispack bergairah?
Ataukah hanya bereksperimen?
Mereka kan gak saling cinta.
Lyra bingung hubungan macam apa yang mereka jalani. Suami istri lewat, pacaran gak nyampai dan cinta masih dalam proses.
Masuk hubungan apa itu?
Saling menguntungkan?
Friend with benefit?
Berhubung mereka bukan teman diganti mitra with benefit?
Lyra adalah rekan balas dendam Martin.
Tahu ah, gak paham.
Sampai kamar mandi...?
*****