Chereads / Majikanku Cinta Lamaku / Chapter 25 - Target Korban Jalan Pondok Putih

Chapter 25 - Target Korban Jalan Pondok Putih

"Astaga, Wiyana. Lo bisa nggak, sih? Nggak bikin gue kesel sehari aja!"

Alea menggerutu begitu melihat wajah temannya muncul dari pintu, Wiyana hanya bisa memutar bola matanya jengah.

Dia pikir, dirinya akan disambut meriah. Tapi, baru masuk malah sudah diomeli.

Yang benar saja, tak mau terlalu mengambil pusing gerutuan sahabatnya itu.

Akhirnya Wiyana masuk, duduk di samping Alea sembari melemparkan secarik keras yang masih ia lipat kepada Alea.

"Bacakan buat gue, gue mau makan. Laper banget," keluhnya.

Seperti tak ada lelahnya, alih alih bersantai karena baru pulang. Wiyana malah kembali berdiri menuju dapur yang jaraknya sangat dekat dengan ruang tengah.

"Apaan, nih?" tanya Alea terheran heran, sembari membuka kertas dengan dahinya yang berkerut.

"Dari Haidar."

Alea mendelik, dia jelas kaget. Dan dengan itu, Alea bangkit mendekati Wiyana yang kala itu tengah santai menyuapkan nasi ke mulutnya.

"Lo bercanda, ya?"

"Enggak, ishhh."

Seperti biasa, Alea bukan tipe gadis yang akan mudah percaya dengan sekali ucapan saja.

Maka, Wiyana menjelaskan dengan amat sangat sabar. Bagaimana bisa dia mendapatkan secarik kertas itu dari Haidar, ya memang terdengar sangat mustahil mendapatkan secarik kertas dari seorang Haidar kini.

Tapi, itulah kenyataannya. Wiyana sebenarnya bisa saja membaca isinya saat di perjalanan pulang tadi, tapi. Wiyana menahannya.

Ia hanya tak ingin syok dengan apa isi di dalamnya, katakanlah Wiyana lebay. Dia memang seperti itu.

Selesai bercerita panjang lebar, baru Alea manggut manggut paham. Dia ingin tak percaya, tapi rasanya kali ini Wiyana memang tidak sedang berbohong.

"Jadi, lo bakal kerja di rumahnya?"

"Hmmm, dari pagi sampai malam. Dari awal Ken sekolah sampai tidur," katanya memperjelas.

Alea yang mendengar itu menyipitkan matanya, dia seperti menaruh rasa curiga pada Wiyana.

"Lo, kok. Mau? Memangnya lo yakin bisa? Lo bakal kerja di rumah Haidar, loh. Ha.i.dar!" ucap Alea menekankan setiap huruf pada nama Haidar itu.

Diputarnya bola matanya jengah, ayolah. Apakah Alea harus selalu bertanya hal hal yang tak pantas seperti itu berkali kali, jika. Wiyana sudah setuju akan bekerja, bukankah artinya dia sudah tahu apa resiko yang akan dia dihadapi.

"Lo tinggal dukung gue aja, sih. Apa susahnya coba?"

"Nggak susah memang, tapi. Kan, bakal sia sia aja usaha lo dua belas tahun buat lupain dia," tegur Alea kembali mengingatkan Wiyana bagaimana susahnya gadis itu mati matian melupakan sosok Haidar.

Wiyana diam, dia bahkan berhenti mengunyah. Sialnya dia jadi ikut memikirkan apa yang Alea katakan, perlahan ia letakkan sendoknya ke pinggiran piring.

Terdengar helaan napas panjang dari Wiyana, Alea ada benarnya.

"Lo bener, tapiĀ  ... ada Ken membuat gue terpaksa buat kerja di sana."

Kilasan wajah sedih Ken menganggu pikiran Wiyana, jika Wiyana tersiksa selama dua belas tahun guna melupakan Haidar.

Maka, Ken di sana yang sejak kecil harus kuat mental dalam menghadapi papanya yang kejam.

"Wi, Ken itu anaknya Haidar sama Dinda. Memangnya lo rela? Lo nggak sakit hati apa setiap liat muka Ken?"

Wiyana memenjamkan matanya sejenak, dia menggeleng. Wiyana merasa tak sanggup untuk mendengarkan setiap kalimat yang akan keluar dari bibir Alea.

Maka, Wiyana bangkit. Selera makanya sudah menghilang, tak lupa Wiyana mengambil kembali kertas yang entah apa isinya dari tangan Alea.

"Gue lagi berusaha untuk lupain fakta itu, tolong jangan terus usik usaha gue sama pertanyaan kayak gitu," cakapnya frustasi sembari melangkah masuk ke kamar.

Sepeninggalan Wiyana, Alea melirik makanan bersisa di piring Wiyana.

"Maafin gue, Wi. Gue nggak bermaksud sakiti perasaan lo, tapi jalan yang lo pilih itu juga bakal menyakiti lo sendiri," gumam Alea.

Demi Tuhan, tak pernah terlintas di pikiran Alea untuk menyinggung perasaan Wiyana. Apa pun yang Alea lakukan adalah demi kebaikan sahabatnya itu.

Alea bicara seperti itu karena dia tahu sekeras apa Wiyana ingin lupa pada sosok Haidar.

Sementara di kamarnya, Wiyana bersandar pada pintu. Dia menggenggam erat secarik kertas tadi.

Matanya terpejam sembari mengatur napas yang memburu, begitu Wiyana membuka mata. Sontak saja matanya sudah memerah dan pandangnya mengabur sebab air mata sudah menggenang di pelupuknya.

"Gue bisa, gue harus bisa! Ayo Wiyana, inget Ken! Dia butuh lo supaya tau gimana rasanya disayangi."

Wiyana menyentuh dada sebelah kirinya, diam lagi selama beberapa detik.

Baru Wiyana mengusap matanya yang berair, dia sudah memutuskan dan dirinya tidak akan mundur lagi.

Wiyana melangkah maju mendekati ranjang, dia duduk di bibir kasur. Lantas membuka keras itu, di atas kertas bertuliskan besar besar sebuah kalimat.

"PERATURAN PERATURAN YANG HARUS DIPATUHI PARA PEKERJA!"

Wiyana mendengkus, dilihatnya ada begitu banyak peraturannya.

Karena dia gadis yang teliti, Wiyana membaca satu per satu peraturan sesuai urutan dengan amat sangat sabar.

Dan, begitu sampai pada peraturan di urutan paling akhir Wiyana menyipitkan matanya.

"Ken tidak boleh dan tidak diizinkan bertemu dengan mamanya?" ejanya membaca kalimat yang sangat membingungkan baginya.

"Tapi, kenapa? Apa karena mereka udah cerai? Tapi, bukannya Ken dan Dinda adalah ibu dan anak?"

Tak ada yang menjawab, Wiyana. Kebingungannya itu akan bertahan sampai nanti ada yang menjawab dirinya.

Dia yakin ada yang salah pada Haidar dan Ken, Wiyana akan cari tahu apa yang sebenernya terjadi. Dan, yang paling parahnya bagaimana bisa Haidar tidak mengenali dirinya.

"WIYANA, ALLARD NYARIIN LO!" teriak Alea menggelegar dari luar kamar.

Dahinya berkerut, Wiyana tak merasa ada temu janji hari ini dengan Allard. Lalu, kenapa pria tampan itu datang?

Tak ingin membuang buang waktu, Wiyana dengan sigap keluar tak lupa dia menyimpan surat dari Haidar itu.

Begitu dia sampai di teras, Allard berbalik. Pria itu mendekat, wajah cemas tak bisa Allard sembunyikan.

"Kenapa?"

"Tadi lo ngapain di jalan Pondok Putih?"

Wiyana menyipitkan matanya, menaruh rasa curiga pada teman prianya itu.

"Dari mana lo tau, gue ada di sana tadi?"

"Gue lacak ponsel lo, gue tadi mau temui lo. Karena ada masalah penting," ungkapnya.

"Masalah apa?"

"Gue minta tolong, jangan pernah pergi ke jalan Pondok Putih itu lagi," ucap Allard terus terang.

Wajah Wiyana jelas langsung mengerut, apa yang Allard maksud.

"Kenapa? Kenapa gue nggak boleh ke sana lagi?"

"Udah beberapa hari terjadi penculikan secara beruntun di sana, dan targetnya selalu perempuan."

Wiyana diam sejenak, mencerna kalimat itu. Dan, detik berikutnya. Dia malah tertawa renyah dan tak tahan untuk menutupi rasa geli itu.

"Kok, lo ketawa sih?"

"Aduh, maksud lo. Gue bakal diculik gitu kalau gue pergi ke sana? Ahahahah yang bener aja, dong. Gue masih baik baik aja sampai sekarang kok," cercanya.

"Wiyana, lo nggak bisa anggap ini sepele."

Tawa Wiyana berhenti, dia menatap Allard dengan serius sembari berkata.

"Tapi, mulai besok gue bakal kerja di rumah besar yang ada di jalan itu."

***