Chereads / Gelap untuk Cahaya / Chapter 1 - Hari Pertama

Gelap untuk Cahaya

🇮🇩lionlible
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 6.4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Hari Pertama

"Mana perlengkapan kamu?"

"Maaf, pak. Saya belum sempat beli itu semua."

"Nggak ada satupun?"

Yang ditanya hanya menggeleng. Perempuan itu merasa bersalah lantaran tidak mengikuti peraturan sang guru. Di mana seharusnya membawa peralatan khusus untuk mengikuti pelajaran produktif jurusan kelasnya.

Namun, karena perintah tersebut disampaikan dengan sangat mendadak kemarin lusa, maka ia sama sekali tidak tahu harus bagaimana menyiapkannya.

Pasalnya ia tinggal diasrama sekolah, tidak mudah baginya agar bisa keluar dari lingkungan yang penjagaannya begitu ketat. Ditambah keluarganya tinggal lumayan jauh, sehingga tidak dapat meminta bantuan.

Beruntung, sang guru memaklumi. Hari ini adalah proses kegiatan belajar mengajar pertama dimulai. Walau sekolah sudah aktif sejak dua hari sebelumnya pasca orientasi tapi selama hari itu masih bebas karena hanya sekedar pengenalan, pembentukan organisasi kelas, serta pembagian jadwal.

"Sekarang kita mulai dari pembelajaran dasar terlebih dulu. Silahkan buka buku paketnya dan perhatikan."

Meskipun gadis itu sudah dimaafkan atas kesalahannya, namun ia tetap sedikit malu. Setelah pandangannya mengelilingi seluruh penjuru kelas, ia tahu hanya dirinya lah yang bermasalah di hari pertama pelajaran. Membuat ia menghela nafas pasrah dan akhirnya menimbulkan rasa tidak percaya diri.

Diam-diam ia merutuk dalam hati.

"Akuntansi dan Operasi Bisnis." Guru yang sedang duduk di bangkunya itu mulai menyebut judul dari bab pertama yang akan murid-muridnya pelajari. "Ada yang tahu pengertian tentang Akuntansi?" tanyanya mengundang keheningan.

Kemudian dia melanjutkan, "Akuntansi itu sering disebut sebagai bahasa bisnis atau business language. Lebih tepatnya sebagai bahasa pengambilan keputusan. Semakin seseorang menguasai bahasa ini, maka akan semakin baik pula orang tersebut menangani berbagai aspek keuangan dalam kehidupannya."

Penjelasan itu sama sekali tidak masuk dalam kepala gadis yang hanya diam menunduk. Berhasil mendapat jurusan Akuntansi, ia pikir awalnya akan menyenangkan karena memang ia begitu menyukai angka. Namun nyatanya sekarang, minatnya hilang begitu saja.

Mau tak mau, ia harus tetap menjalani. Maka dari itu, ia berusaha keras untuk fokus terhadap materi yang diberikan.

"Definisi Akuntansi dirumuskan menjadi 2 sudut pandang. Yang pertama dari pengguna jasa Akuntansi, yang kedua dari proses kegiatannya. Untuk penjelasan lebih lanjut, kalian bisa baca pada halaman 3."

Sesuai apa yang dikatakan oleh gurunya, semua murid lantas membuka halaman tersebut dan segera membaca beberapa menit.

"Selanjutnya proses Akuntansi." Perhatian mereka kembali terarah ke depan. "Sebagai suatu sistem informasi keuangan, Akuntansi merupakan sebuah proses dari 3 aktivitas. Yaitu, pengidentifikasian, pencatatan, dan komunikasi."

Sembari menjelaskan, sang guru juga menuliskan kata yang diucapkannya.

Sekeras apapun ia mengikuti, tetap saja tak bisa semudah itu. Materi terus berlanjut dengan sangat lamban dan membosankan—menurutnya. Ia berharap agar segera berlalu dan berganti mata pelajaran.

"2 jam ke depan, kalian tulis dan rangkum bab pertama yang ada di buku itu. Kalau ada yang mau ditanyakan, silahkan."

•••

Jam istirahat berlangsung, namun gadis itu enggan keluar kelas. Bisa dikatakan, ia sulit bersosialisasi. Bahkan dengan teman sebangkunya sendiri.

Yang dilakukannya sekarang hanya diam seraya menelungkupkan wajah pada lipatan tangannya di meja. Ia berniat tidur kalau saja sebuah suara tidak menyapa indera pendengaran dari arah luar sana.

"Lintang, ke kantin, yuk!"

Dua orang gadis memasuki kelasnya. Mereka merupakan anak jurusan sebelah. Salah satunya adalah teman Lintang yang sudah kenal dari awal masa orientasi.

"Ayok!"

Ya— setidaknya ia merasa punya teman disekolah ini. Lintang lebih nyaman pergi bersama mereka ketimbang teman kelasnya sendiri.

Dengan langkah yang ceria, mereka bertiga jalan beriringan diselingi obrolan ringan. Sampai tiba di kantin, terlihat banyak sekali orangnya dan semua meja sudah terisi penuh. Terpaksa mereka hanya membeli makanan dan minuman saja lalu setelah itu mencari tempat lain yang sekiranya sepi.

Pilihan terakhir hanya balkon dekat tangga yang tersedia kursi panjang di sana.

"Gimana masuk Administrasi?" Lintang bertanya begitu mereka mulai menempati kursi itu dan melahap makanan yang dibeli tadi.

"Ya ... gitu deh. Nggak tau juga." Temannya menjawab.

Yang satu lagi—Kania namanya—mengangguk menyetujui. "Tapi kalau buat pelajaran hari ini, mayan sih," katanya. "Lumayan bikin pusing."

"Hahaha, bener lo, baru pertama udah bikin pusing gini, gimana nanti ke depannya ya?"

Lintang tersenyum menanggapi. Dirinya sendiri juga tidak tahu bagaimana nasibnya di kelas itu. Entah akan terus menutup diri atau memaksa berubah.

Sebenarnya ini bukan kali pertama ia seperti itu. Sejak kecil Lintang memang mempunyai kepribadian yang tertutup pada awalnya. Ketika ia merasa tidak nyaman dengan sekitar, ia akan menghindar dan mengabaikan apapun. Tidak peduli dikata sebagai anak yang pendiam, cuek, dan sebagainya.

Dan ketika Lintang sudah merasa 'sedikit' nyaman, maka ia akan bersikap seperti anak pada umumnya. Bertingkah konyol, banyak tersenyum, tak jarang juga menjadi tempat berbagi.

Namun, sikapnya yang seperti itu hanya ditunjukkan kepada temannya yang sudah benar-benar dekat dan ia percaya. Tidak semudah itu untuk mendapat kepercayaan dari seorang gadis bernama Lintang.

Karena pengalamannya sedari kecil itu, membuat Lintang mempunyai hati yang dapat dibilang 'tidak bersih'.

Lintang suka membenci seseorang dan itu mungkin bisa saja selamanya. Lintang juga sangat susah untuk memaafkan orang-orang yang sudah melukai hatinya walaupun hanya karena masalah sepele.

Hati Lintang itu begitu lemah. Jika sudah tidak kuat, ia akan menangis dalam diam. Tidak ada yang tahu satupun sisi lain dari dirinya yang seperti itu, bahkan keluarganya. Lintang tidak pernah mengatakan apa yang ia rasakan kepada siapapun. Ia hanya mampu memendam terus menerus.

Setiap Lintang menangis, ia mengharapkan seseorang berada di sisinya, yang mengerti perasaannya, merangkul serta menguatkan ia untuk setiap masalah yang ada.

Namun, bagi Lintang, itu hanya sebuah kemustahilan yang ia harapkan, tidak lebih dari sekedar bayangan.

•••

"Tugas untuk menjawab soal ini dikerjakan secara berkelompok ya, masing-masing anggotanya 5-7 orang. Kalian tentukan sendiri aja."

Setelah mendengar perintah dari guru Bahasa tersebut, kelas menjadi gaduh. Karena masih dalam proses pengenalan, mereka memutuskan untuk berkelompok sesuai baris tempat duduk. Lintang segera merapat pada kelompoknya lantas mulai berdiskusi.

Namun ia tidak sepenuhnya bergabung bersama mereka. Lintang cenderung menunduk sambil membaca-baca buku paket miliknya. Selama beberapa menit kegiatan masih berjalan lancar. Sampai akhirnya, salah satu anak dari kelompok Lintang itu menggertak dia karena hanya diam saja, bahkan tak segan merampas dan melempar kembali bukunya cukup kasar.

"Ngapain sih lo sebenernya? Diem aja, bantuin juga enggak."

Lintang sedikit tersentak, bahkan tangannya pun sampai gemetaran dan hatinya serasa ingin menangis saat itu juga. Namun Lintang tak mampu berbuat apa-apa, sekadar menjawab pun ia tak berani.

Nyali kecil, mental lemah, begitulah definisi dirinya.

"Coba jawab nomer 3 nih, nggak mau tau cari pokoknya."

Dengan takut-takut, Lintang mengambil bukunya lagi dan segera mencari jawaban, meski dalam hatinya ia merutuki diri sendiri. "Emang nggak punya harga diri banget ya gue, mau aja di suruh-suruh gini. Mending kalau mintanya baik-baik."

Sejak saat itu, Lintang menandai gadis yang telah menyakitinya sebagai orang yang paling ia benci di kelas ini.

"Ini deh jawabannya," ujar Lintang dengan sangat pelan sambil menunjukkan satu poin kalimat yang ia yakini memang jawaban yang benar.

Gadis yang tadi menatapnya sinis. "Bener nggak lo?"

Lintang mengangguk kaku.

Ia pikir, setelah berhasil mendapat jawaban dari soal tersebut, hati teman—ah ralat, anak itu—sedikit terbuka. Tetapi ternyata salah besar.

"Ini aja nih jawabannya, ayo tulis!" serunya pada anak lain di depannya. Mengabaikan Lintang yang lagi-lagi hatinya sedikit tercelos karena atensinya seolah tak dianggap.

Lintang muak. Sungguh.

"Waktunya habis. Selesai nggak selesai, kumpulkan aja."

Menyadari tinggal 1 soal belum terjawab, Lintang tetap diam walaupun ia tahu jawabannya. Percuma saja, kan? Jadi ia mencoba tidak peduli akan teman sekelompoknya yang sekarang grasak-grusuk menulis jawaban asal.

Selesainya tugas kelompok itu, dengan cepat Lintang menuju tempatnya sendiri sambil terus menahan tangis. Ia tak boleh lemah hanya karena ini. Ingat, ini baru minggu pertama cerita sekolahnya di masa SMK.

Ah, Lintang tidak siap untuk 3 tahun ke depan.