Chereads / Gelap untuk Cahaya / Chapter 3 - Pulang atau Bertahan

Chapter 3 - Pulang atau Bertahan

"Lintang, ada yang mau ketemu tuh, kayaknya orang tuamu."

Lintang mengernyit heran kala satu temannya masuk ke kamar dan menyampaikan hal itu. Ini baru satu minggu dan orang tuanya sudah mengunjunginya di asrama? Astaga, Lintang merasa seperti anak kecil yang masih perlu pengawasan mereka.

"Ah, iya, makasih. Aku ke depan sekarang."

"Oke."

Dan benar saja, kedua orang tuanya datang ke sini. Lintang segera menyalami tangan mereka dan mengajak mereka duduk pada kursi yang memang disediakan untuk para tamu.

"Mau ngapain ke sini?" tanya Lintang.

"Ini mamah bawain baju sama perlengkapan-perlengkapan kamu yang lainnya."

Lintang bisa melihat tas berukuran sedang yang dibawa oleh mereka, kemudian ia mengambilnya. "Harusnya nggak perlu repot-repot sampai ke sini segala."

"Nggak apa-apalah, sekalian nengokin kamu," jawab sang ibu seraya mengusap puncak kepala anaknya itu. "Kamu baik-baik aja kan?"

Lintang mengangguk. "Aku baik-baik aja kok. Kalian nggak usah khawatir."

"Syukurlah kalau begitu," sahut sang ayah. "Tapi betah 'kan di sini?"

Lintang tidak menjawab, ia hanya tersenyum samar, berharap bahwa mereka dapat menangkap sinyal yang dipancarkan oleh kedua bola matanya.

"Enggak, pah. Aku nggak betah di sini." Namun Lintang hanya mampu mengungkapkan itu dalam hatinya saja.

•••

"Kak, boleh izin pulang dulu? Mau ngambil seragam olahraga soalnya, nanti sore balik lagi kok."

Ini hari minggu, hari dimana bebas tidak ada kegiatan apa-apa, baik di sekolah maupun di asrama, tapi bukan berarti bisa keluar masuk dengan seenaknya. Lintang berusaha mencari alasan untuk keluar, ia ingin pulang ke rumah.

"Beneran? Jam 4 harus udah ada di asrama lagi loh."

"Iya kak, siap!"

Lintang tersenyum sumringah, ia tak menyangka akan semudah itu mendapat izin, padahal tadinya ia mengira tidak akan diizinkan, tapi syukurlah. Lintang masuk ke kamarnya lantas segera bersiap-siap. Saat sudah selesai dan hendak melangkah keluar, ia berpapasan dengan teman seangkatannya.

"Loh, mau kemana?"

"Pulang, mau ngambil seragam dulu di rumah."

"Yah, padahal tadinya gue juga mau pulang, nyokap gue lagi sakit, tapi kalo gini caranya mah nggak bakal diizinin."

"Hah, serius? Coba aja bilang dulu, pasti diizinin kok."

"Udahlah nggak apa-apa, lo tau sendiri nggak boleh ada yang keluar banyak-banyak di waktu yang sama. Tadi gue liat kak Tasya sama kak Rei juga keluar. Nggak apa-apa kok, lo aja yang pulang."

"Eh, t-tapi ...."

Lintang jadi merasa bersalah, peraturannya memang seperti itu. Anak asrama tidak diperkenankan keluar secara bersamaan. Di satu sisi Lintang ingin mengalah karena temannya itu tampak menyesal tidak bisa pulang hari ini, terlebih alasannya begitu penting di banding dirinya, tapi di sisi lain, ia juga sangat ingin pulang. Lintang jadi bingung sendiri.

"Beneran lo nggak apa-apa?"

"Iya, gue bisa jenguk besok, sekalian mau izin nggak masuk sekolah juga."

"Serius? Kalau mau sekarang juga nggak apa-apa, gue temenin lo buat izin, yakin deh pasti diizinin."

"Nggak usah, Lin, serius."

"Ah, oke deh. Kalau gitu ... gue pulang dulu ya."

"Yoi, hati-hati."

•••

Sebenarnya alasan Lintang untuk mengambil seragam bukan hanya alasan semata, ia memang benar membutuhkan seragam itu, tapi alasan lainnya adalah untuk membicarakan sesuatu dengan ibunya.

"Di asrama jadi susah belajarnya mah, nggak pernah konsen," ungkap Lintang saat ibunya menanyainya perihal bagaimana hidup di asrama, yang notabenenya jauh dari orang tua dan merupakan suatu pengalaman baru bagi Lintang.

"Iya pasti, itu udah resiko, tapi 'kan ini pilihan kamu sendiri."

Lintang menekuk dan menaikkan kedua kakinya pada sofa yang sedang ia duduki, ia meletakkan tangannya di atas lutut, lalu menopang wajahnya yang terlihat sayu.

"Kalau memang mau berhenti, mamah nggak akan larang, semua keputusan ada di kamu, Lintang."

Sang ibu bangkit dan meninggalkan Lintang yang semakin dilanda kebingungan. Ia tidak tahu harus memilih yang mana. Pada saat Lintang mengatakan ingin tinggal di asrama, orang tuanya tampak antusias karena itu adalah inisiatif Lintang sendiri untuk berubah menjadi mandiri dengan tinggal jauh dari keluarga. Namun kenyataannya sekarang Lintang merasa tidak nyaman dan hendak memilih kembali tinggal di rumah saja.

Hidup dalam banyak peraturan bukan hal yang cocok bagi Lintang, karena sedari kecil ia terbiasa bebas. Kedua orang tuanya tak pernah mengekang tentang sesuatu hal.

Tapi sungguh Lintang tidak tahu keputusan mana yang akan ia ambil.

"Lagian sih lo sok-sok an mau tinggal di asrama, dikira enak apa ya. Apalagi orang kayak lo, gue udah yakin dari awal sih lo nggak bakal betah, biasanya apa-apa disediain, apapun yang lo mau diturutin, sekarang susah sendiri 'kan jadinya?"

Lintang terus saja termenung tanpa memedulikan ocehan saudaranya yang tiba-tiba muncul itu.

"Nggak usah nyiksa diri lo sendiri dengan alasan pengen belajar mandiri. Halah, apaan! Nanti juga lo bakal mandiri dengan sendirinya tanpa harus susah-susah kayak gini."

Lintang menghela napas kesal, ia mendongak dan menatap pada saudaranya itu. "Jadi menurut lo, gue harus keluar dari asrama gitu?"

"Ya itu sih terserah lo."

Jika begitu, sepertinya Lintang memang harus keluar. Namun, bagaimana dengan pandangan teman-temannya nanti? Apakah Lintang akan dicap sebagai anak rumahan yang tidak bisa jauh dari keluarga? Padahal belum genap 2 minggu, tapi ia sudah selemah ini?

Ah, tidak! Lintang harus kuat, ia harus bertahan sekali lagi.

"Gue bakal tetep di sana dulu, siapa tau gue cuma belum terbiasa aja 'kan?"

"Lo mau membiasakan diri sampe berapa lama? Lo aja sulit bersosialisasi."

Kalimat yang tercetus dari mulut saudaranya itu membuat Lintang terbungkam sesaat. Tetapi tak lama, ia kembali menjawab, "Ya gue nggak tau, pokoknya gue nggak mau nyerah dulu."

"Dasar keras kepala, awas aja kalo belum 1 minggu dari sekarang lo udah ngerengek-rengek minta pulang."

"Ya emangnya kenapa sih?" Lintang berdiri sambil menghentakkan kakinya, merasa jengah dengan lawan bicaranya saat ini. "Harusnya orang kayak lo juga di asrama aja, biar tau etika!"

"Dih, dibilangin juga malah ngelunjak, jadi siapa tuh yang nggak tau etika, hah?"

"Terserah." Lintang berlalu pergi ke kamarnya, ini sudah pukul 3 dan Lintang harus segera bersiap-siap kembali sebelum terlambat pulang ke asrama atau nantinya ia akan terkena hukuman lagi.

Sebelum bersiap-siap, ia menatap pantulan dirinya dalam cermin, matanya memerah akibat menahan tangis karena perdebatan tadi. Tapi akhirnya ia luruh juga, segala sesak yang ia rasakan dalam 2 minggu ini perlahan keluar meskipun tidak benar-benar menghilang.

"Udah cukup Lintang, lo harusnya nggak boleh lemah lagi. Cukup 10 tahun lo menderita, lo harus berubah."

Suaranya bergetar, ia kembali menangis.