Lisan memang mudah saja mengucapkan kalimat-kalimat harapan yang nyatanya bahkan jauh dari keadaan sesungguhnya. Jika minggu kemarin Lintang berkata ingin bertahan, sekarang justru berkebalikan—ia menyerah.
Biarkan saja nanti saudaranya meledek dia habis-habisan, karena Lintang sudah tidak kuat tinggal di asrama. Bukan hanya asrama sebenarnya, lingkungan sekolah pun ia merasa tidak nyaman. Tapi untuk saat ini, biarkan lintang pergi dari asrama saja.
Dan satu hal yang dikhawatirkan pun terjadi, tentang pandangan orang lain terhadap dirinya. Entah sudah ke berapa kalinya Lintang mendapat pandangan tak enak dari orang-orang sekitar. Terkadang Lintang benci perasaannya yang terlampau peka seperti ini.
"Mau ke kantin nggak? Ayo bareng kita."
Lintang mengalihkan fokusnya terhadap buku kepada dua orang yang kini berada di depan mejanya. "Gue?"
"Ya iyalah, jelas-jelas gue di depan lo."
"A-ah iya, boleh deh." Lintang tersenyum kikuk, lantas segera membereskan catatan-catatan miliknya yang masih berantakan di meja, padahal ini sudah jam istirahat.
Sedikit kaget, karena biasanya tidak ada yang mengajak Lintang untuk ke kantin bersama, ia juga jarang pergi membeli makanan. Waktunya lebih sering dihabiskan di kelas, ia lebih senang menorehkan tinta pena pada kertas membentuk tulisan yang berasal dari dalam imajinasinya sendiri.
Tapi sekarang tiba-tiba ada yang mengajaknya keluar, Lintang masih belum terbiasa. Maka ia membiarkan kedua orang itu berjalan lebih dulu, biar ia mengikuti di belakang.
"Lo Lintang 'kan?" salah satunya melirik pada Lintang.
"Iya bener, dan lo berdua ... Aurel sama Olivia?"
"Iya, tapi Oliv aja manggilnya, biar nggak kepanjangan."
"Ahahaha oke."
Tanpa sadar, mereka akhirnya jalan beriringan sambil diselilingi beberapa obrolan ringan. Tidak tahu kenapa, Lintang langsung merasa nyaman dengan mereka. Mungkin karena sedikitnya Lintang tahu bahwa keduanya juga tergolong anak yang pasif di kelas, sama seperti dirinya.
Lintang juga ingat pernah satu kelompok bersama mereka saat pelajaran Kewirausahaan. Karena respon tak mengenakkan dari anggota kelompok bahasa beberapa minggu lalu, Lintang memilih mencari kelompok lain dan berakhir bersama mereka berdua.
Dan sekarang justru mereka kembali bersama di luar pelajaran, sungguh suatu hal yang sangat tidak pernah Lintang duga sebelumnya.
"Mau pada pesen apa?"
"Bakso aja deh gue."
"Samain aja kalo gitu."
"Yaudah biar gue yang pesen, lo berdua tunggu di situ." Aurel menunjuk satu tempat yang masih kosong sebelum akhirnya menjauh dari mereka untuk memesan makanan, sedangkan Lintang dan Oliv berjalan ke tempat yang baru saja ditunjuk oleh Aurel.
Lintang masih sedikit canggung, tapi ia berusaha menutupi itu semua.
"Lo jarang ke kantin ya?" tanya Oliv.
"Ya gitu deh, males aja gue."
"Nggak laper emang?"
"Tergantung, kalau laper juga ke kantin kok."
Aurel datang tak lama kemudian dengan nampan berisi 3 mangkuk bakso serta 3 gelas es teh di tangannya. "Ini dia pesanan datang."
Lintang hanya menanggapi candaan itu dengan kekehan pelannya. Untuk sesaat, mereka fokus terhadap masing-masing mangkuk di hadapannya, tapi tentu sesekali tak lepas dari obrolan.
"Lo pada ngerasa nyaman nggak sih di kelas? Kok gue ngerasanya anak-anak yang lain tuh pada gimana gitu," ujar Aurel.
"Kita beda kali sama mereka, kalau lo tanya nyaman apa enggak, ya jelas jawabannya enggak." Oliv menjawab santai seraya menyeruput kuah yang masih hangat itu.
"Kalau lo gimana, Lin?" Aurel beralih pada Lintang.
"Gue ... sama aja kayak Oliv sih."
Aurel menghela, ia meletakkan sendok serta garpunya di mangkuk lalu menopangkan tangan pada dagu. "Asli deh, gue sebenernya nggak nyaman banget, kayak seolah atensi kita tuh nggak dianggep."
"Bukan seolah lagi kali, emang nyatanya begitu 'kan? Tiap tugas kelompok aja nggak ada yang mau milih kita." Oliv tersenyum sinis mengatakannya.
"Ya itu makanya."
"Tapi kita bisa apa sih? Kedudukan mereka jauh di atas dari kita. Selain pasrah mau gimana lagi emangnya?"
Lintang hanya bisa menyimak pembicaraan keduanya tanpa berminat mengeluarkan pendapat serta keluh kesahnya yang hampir sama seperti mereka.
Tentang anak-anak di kelasnya, Lintang juga bisa merasakan itu semua sesuai apa yang dikatakan oleh Aurel. Mereka seolah tidak sudi mengajak orang seperti Aurel, Oliv, serta dirinya yang berbeda jauh dengan mereka untuk berteman.
Lintang cenderung pasif di kelas, ia sudah dikenal sebagai anak yang paling pendiam di sana. Ini bukan pertama kalinya, bahkan sejak sekolah dasar pun Lintang memang pendiam dan juga pemalu.
Saat seharusnya Lintang merubah sifatnya itu sedikit demi sedikit, namun jika lingkungan sekitar tak memberinya kesempatan juga harus apa? Lintang ingin berubah apabila semua orang yang dikenalnya itu bisa menghargai Lintang, setidaknya hanya untuk sekadar menghargai kehadirannya. Karena sesungguhnya, Lintang juga sangat ingin dianggap ada.
Sesulit itu, ya? Lintang sungguh tidak bisa menebak bagaimana sudut pandang orang lain terhadap dirinya.
Tanpa terasa, bel sudah berbunyi kembali, menandakan jam istirahat telah usai dan semua murid harus segera masuk ke kelas untuk melanjutkan mata pelajaran. Begitu pula dengan Lintang, Aurel, dan Oliv. Mereka segera bangkit dan pergi dari kantin menuju kelas yang mana merupakan tempat tidak nyaman bagi ketiganya.
•••
Ini jadwal ketiga Lintang di organisasi, tapi ia lagi-lagi absen karena harus membereskan barang-barangnya di asrama dan segera pulang ke rumah.
Sekarang Lintang merasakan jengkel luar biasa, sebab ketika baru saja ia sampai rumah dengan banyak barang bawaannya tersebut, bukannya dibantu atau disambut kembali, ia justru ditertawai oleh saudaranya sendiri.
"Gue bilang juga apa, kalau nggak betah ya udah nggak betah aja, pakai sok-sok an bertahan-bertahan segala, pulang juga 'kan lo ujung-ujungnya mah."
"Biarin aja kenapa sih, seenggaknya 'kan gue udah mencoba buat bertahan dulu."
Saudaranya itu semakin tergelak mendengar jawaban Lintang. "Bertahan lo nggak membuahkan hasil, sia-sia doang yang ada. Makanya lain kali kalau gue bilangin nurut aja."
"Lah, kan lo sendiri yang bilang terserah gue, jadi ya udah, ini pilihan gue, suka nggak suka itu bukan urusan lo."
Daripada semakin memperlebar pembicaraan, Lintang memilih langsung pergi tanpa mau mendengar kalimat balasan dari saudaranya lagi.
Lintang sudah menduga ini sebelumnya. Saudaranya itu pasti akan mencemooh keputusan yang sudah ia ambil. Karena itu lah ia sedikit takut jika dihadapkan dengan sebuah pilihan, sebab apapun keputusan yang ia pilih, pasti selalu saja mendapat pandangan tak enak dari orang-orang sekitar.
Apa Lintang sebegitu salahnya sampai ia harus mendengar kalimat-kalimat itu dari orang lain? Kalimat yang hanya menyakiti hatinya, yang pada akhirnya membuat ia membenci semua orang, tak peduli siapa pun itu, bahkan termasuk keluarga kandungnya sendiri.